Jangan Ajari Kami Tentang Toleransi
Toleransi, sebuah kata yang sering didengung-dengungkan oleh kaum liberal dalam menyikapi perbedaan antar umat beragama, mereka berpendapat inilah kata yang akan menjadi solusi atas berbagai ketegangan yang terjadi antar umat beragama baik di Indonesia maupun di dunia, tetapi sayang kata toleransi ini hanya dipaksakan oleh mereka kepada umat Islam, seakan-akan umat Islam sajalah yang perlu bertoleransi kepada agama lain.
Toleransi, sebuah kata yang sering didengung-dengungkan oleh kaum liberal dalam menyikapi perbedaan antar umat beragama, mereka berpendapat inilah kata yang akan menjadi solusi atas berbagai ketegangan yang terjadi antar umat beragama baik di Indonesia maupun di dunia, tetapi sayang kata toleransi ini hanya dipaksakan oleh mereka kepada umat Islam, seakan-akan umat Islam sajalah yang perlu bertoleransi kepada agama lain.
Toleransi Dalam Sidang
Kamis lalu (13/11) Majelis umum PBB menggelar dialog antaragama. Sidang menyerukan agar semua anggota menghargai hak asasi warga dunia soal anutan agama. Dialog yang diprakarsai Saudi Arabia itu mengeluarkan deklarasi. Isinya antara lain menyerukan dorongan pada budaya toleransi dan saling pengertian antara berbagai penganut agama dan kepercayaan.
“Negara-negara peserta menegaskan penolakan mereka atas penggunaan agama guna membenarkan pembunuhan orang tak bersalah dan tindakan terorisme yang bertentangan secara langsung dengan komitmen semua agama terhadap perdamaian, keadilan dan kesetaraan,” demikian salah satu bunyi deklarasi dari hasil pertemuan tersebut sebagaimana yang dibacakan oleh Sekjen PBB Ban Ki-moon.
Dalam sidang tersebut tidak hanya diwarnai harapan-harapan agar dunia yang dihuni berbagai agama dan kepercayaan itu menciptakan toleransi dan perdamaian tapi juga dihujani berbagai serangan kritikan pedas yang ditujukan kepada negara-negara Barat. Presiden Majelis Umum PBB Migel d’Escoto Brockmann menyebut pemicu tindakan-tindakan kekerasan itu sebagai “ketamakan yang ditumbuhsuburkan” di negara-negara Barat. Sementara Raja Abdullah II dari Yordania mengkritik kebijakan Barat dimana ketidak pedulian telah menempatkan Islam dalam “ketidakadilan”.
Toleransi Di Lapangan
Terlepas dari sidang tersebut, tampak dengan kasat mata negara-negara Barat yang otoriter dan rakus itulah sesungguhnya yang menjadi pemicu utama berbagai macam tindakan-tindakan perlawanan di seluruh sudut-sudut bumi. Ironisnya aksi perlawanan itu dicap sebagai tindakan terorisme. Itul sebabnya para pejuang Hamas, Mujahidin Thaliban, Mujahidin Iraq telah dicap sebagai kelompok teroris yang harus ditumpas sampai keakar-akarnya. Padahal apa yang salah dari mereka? Bukankah mereka hanya ingin mengambil miliknya yang dirampas? Mereka hanya ingin bebas menentukan nasib bangsa mereka sendiri? Jadi apa yang salah dari mereka?
Yang lebih ironis adalah gempuran AS ke Irak sama sekali tidak dianggap sebagai aksi terorisme. Serangan yang membinasakan ribuan rakyat sipil itu dianggap sah atas nama mencari senjata pemusnah massal. Padahal senjata mematikan itu juga dimiliki Korea Utara, India, Prancis, bahkan Israel ‘anak kesayangan’ AS, juga memilikinya. Kenapa Irak harus diinvasi? Jadi toleransi macam apa yang ingin dicapai dalam sidang Majelis Umum PBB tersebut.
Sikap AS yang membela Negara Zionis Israel adalah harga mati yang yang tidak bisa ditawar. Sepanjang sejarahnya, semua Presiden AS yang pernah menghuni gedung putih adalah pembela setia Israel. Tidak terkecuali seorang Obama yang dianggap sebagai pemimpin baru AS yang akan memberikan angin segar di dunia Islam. Dan siapa saja yang komitmen mengadakan perlawanan langsung kepada ‘anak emas’ AS tersebut akan dicap sebagai teroris.
Realita Toleransi Di Indonesia
Di lain sisi kaum Muslimin dilarang menerapkan agamanya secara total. Upaya penegakan syari’at Islam misalnya, dianggap sebagai bahaya laten yang harus diwaspadai dan mengancam keutuhan NKRI. Padahal syariat adalah penyangga utama kekuatan aqidah dan moral ummat Islam. Tanpa syariat ummat hanya menjadi penganut-penganut Islam yang rapuh dan rentan dari berbagai ancaman pengeroposan aqidah dan moral. Ada beberapa kebijakan perundang-undangan yang langsung dituding sebagai upaya mendirikan Negara Islam.
Contoh sederhana ketika Rancangan Undang-undang Pendidikan diajukan ke DPR, maka kita saksikan penolakan yang luar biasa dari ummat tertentu. Padahal isi RUU tersebut sesuatu yang sangat wajar alias logis. Salah satu di antaranya adalah hak setiap warga negara mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang diyakini, terutama anak-anak kaum Muslimin yang sekolah di sekolah-sekolah Kristen.
Begitu juga saat Rancangan Undang-undang Pornografi yang ditolak keras oleh banyak pihak, padahal RUU tersebut dirancang dengan tujuan mengawasi bangsa ini dari berbagai kerusakan moral. Namun sayang, tidak sedikit anak bangsa memang menghendaki runtuhnya moral bangsa yang mayoritas Muslim ini dengan menolak RUU tersebut. Yang tak kalah serunya berbagai perda moral yang banyak diterapkan di beberapa daerah dituding sebagai upaya menghidupkan Piagam Jakarta. Pertayaannya, mana toleransi mereka?
Toleransi dan Kristenisasi
Kristenisasi di Indonesia dilakukan dalam berbagai bentuknya, tergantung situasi dan kondisi. Tidak dipungkiri bahwa misi ini pasti menghadapi tantangan dari ummat Islam sebab misi ini adalah nama lain dari pemurtadan. Sebagai sesama warga Indonesia masalah hubungan antar agama, khususnya Islam dan Kristen telah menjadi bahan diskusi dan perbincangan kedua belah pihak dan sampai sekarang belum ada titik temunya.
Baik Islam maupun Kristen di Indonesia setuju dengan gagasan toleransi hidup beragama. Tapi bagaimana implementasi toleransi tersebut? Bagi Dr. M. Natsir, tokoh Dewan Dakwah Islamiyah toleransi artinya ko-eksistensi damai, yang ditandai dengan pembatasan usaha gerak penyebaran agama terhadap orang yang sudah memeluk agama. Ini dilakukan demi menjaga penghormatan terhadap identitas agama tersebut dan juga menghormati ummat beragama yang sudah menganut agama tertentu. Sebaliknya bagi ummat Kristen, memilih dan berpindah agama adalah hak setiap manusia. Karena penyebaran agama Kristen kepada seluruh manusia termasuk kepada yang sudah beragama adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar.
Jadi sikap merendah ummat Islam ini sama sekali tidak bisa diterima oleh para misionaris. Anehnya, jika ada rumah ibadah Kristen yang ‘digusur’ di tengan perkampungan Muslim segera saja dituduh sebagai sikap intoleran dari ummat Islam. Permintaan ummat Islam agar misi Kristenisasi tidak menyentuh mereka yang sudah beragama tidak pernah digubris sama sekali. Jadi siapa sesungguhnya yang tidak toleran?
Walhasil, sikap ‘pengertian dan toleran’ yang sering di gagas dalam berbagai forum tidak pernah betul-betul dipraktekkan dalam dunia nyata, bahkan cenderung bermakna ganda. Ummat Islam harus menjaga perasaan ummat beramaga lain, akan tetapi buat mereka jika prinsip toleransi bertentangan dengan kepentingan mereka segera saja mendapatkan penolakan yang bertubi-tubi. Dan memang Barat pada umumnya tidak bisa melarang semua bentuk ekspresi walau itu menyangkut hal yang mungkin menyakitkan penganut agama lain. Benar apa yang dikatakan oleh PM Turki Recep Tayyip Erdogan, “Krisis kartun yang dipicu oleh Denmark terlalu propokatif untuk dikatakan sebagai bentuk kebebasan berekspresi.
Kesimpulannya Barat dan konco-konconyalah yang harus belajar bagaimana bertoleransi yang benar. Adapun ummat Islam ajaran agama mereka mengajarkan toleransi dengan lengkap dan dipraktekkan dengan indah sepanjang sejarah. Jadi jangan ajari kami tentang toleransi. Wallahu a’lam bis shawab.
Abu Majdah Albugis (wimakassar.org)