Kebahagiaan suami serta rasa tenang dan kenyamanannya ketika berada dalam naungan istana yang diratui oleh diri seorang wanita muslimah terkhusus seorang murabbiyah atau mutarabbiyah adalah satu cita dan tujuan pernikahan yang mesti tercapai, karena ia menikahi dirinya demi mendapatkan hal tersebut:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (QS Ar-Rum: 21)
Sebaliknya, cita-cita utama seorang wanita ketika menerima lamaran sang suami adalah ingin berada dalam dekapan dan cinta seorang raja yang senantiasa membahagiakan dan menjaga perasaan dirinya:
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ
Artinya: “Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS Ar-Rum: 21)
Tujuan pernikahan ini akan sempurna bila mereka berdua adalah dua insan saleh yang terus memperbaiki diri dan memiliki semangat belajar agama, tarbiyah dan dakwah.
Seorang suami yang mendapatkan istri salehah hendaknya banyak bersyukur kepada Allah Ta’ala karena telah memiliki bidadari yang terbaik dunia akhirat. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
الدُّنْيَا مَتاَعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
Artinya: “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim: 1467)
Juga bersabda:
أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ؟ اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهَ
Artinya: “Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki? yaitu istri salehah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan menaatinya, dan bila ia pergi sang istri ini akan menjaga dirinya.” (HR Abu Daud: 1417, shahih)
Dan bila sang istri salehah tersebut adalah seorang yang peduli dengan dakwah, tarbiyah dan ilmu seperti dirinya maka itu adalah sebuah nikmat paling sempurna lagi berkah.
Namun, kesibukan sang istri sebagai ratu bagi istana suaminya dan sebagai daiyah, atau penuntut ilmu, murabbiyah atau mutarabbiyah hendaknya menjadi motivasi bagi istri untuk memaksimalkan perhatian terhadap suami dan putra-putrinya, juga bagi suami dalam bersabar merelakan beberapa waktu sang istri untuk aktifitas tersebut.
Tapi tentunya dalam banyak kasus, sebagian suami biasanya kurang bisa bersabar dengan aktifitas dakwah atau tarbiyah atau ta’lim sang istri yang kadang melalaikan hak-hak dirinya dan anak-anaknya.
Sebab itu, seorang istri yang berstatus seperti ini hendaknya menyeimbangkan atau mensinkronkan berbagai aktifitas kewajibannya antara di rumah dan di luar rumah, agar ia tidak melalaikan berbagai kewajiban tersebut, serta bisa mewujudkannya dengan baik.
Di antara trik sinkronisasi tersebut adalah:
1)-Hendaknya selalu memohon ridha suami dan memahamkan urgennya aktifitas dakwah atau tarbiyah atau ilmu yang ia ikuti. Ridha suami akan memberikan banyak keberkahan dalam berbagai aktifitasnya, juga akan menjadikan suami bisa bersabar bila ada sedikit keterlambatan sang istri dalam menunaikan pekerjaan rumahnya. Bahkan bila ia curhat terhadap sang suami terkait dengan kondisi aktifitasnya, maka sangat baik karena sang suami akan merasa dirinya dijadikan sebagai sandaran dalam berbagai aktifitas dirinya baik dalam rumah ataupun di luar, namun bila ada problem yang bersifat rahasia atau bersangkutan dengan aib orang lain, maka ia cukup menceritakan problemnya tanpa harus menyebut person tertentu.
2)-Memenej waktu dan menggunakan waktu luangnya dengan baik. Kunci terbesar dalam mensinkronkan aktifitas dalam rumah dan luar rumah adalah terletak pada kemahiran atau kecekatan dirinya dalam mengatur waktu dan mengisi waktu-waktu luangnya dengan mengerjakan berbagai kewajiban terhadap suami, anak-anak dan rumahnya. Biasanya ibu rumah tangga banyak memiliki waktu luang tertentu, namun bagi ibu sekaligus da’iyah, ia harus lebih cekatan dalam mengisinya, mengerjakan kewajiban dengan baik dan sesegera mungkin tanpa ada penundaan. Semakin ia banyak menunda, maka aktifitas dirinya akan kian menumpuk dan akan menyebabkan banyak kewajiban yang terlalaikan.
3)-Ia harus sudah menyelesaikan berbagai kewajiban rumahnya sebelum keluar mengerjakan aktifitas tersebut. Sehingga, ketika ia keluar beraktifitas rumah sudah tertata rapi, dan sang suami atau anak-anaknya merasakan kenyamanan karena semua yang mereka perlukan berupa pakaian, makanan atau hal lainnya telah siap sedia. Praktik seperti ini tidak hanya akan membuat suami dan anak-anak semakin ridha dan bangga terhadap dirinya sebagai istri, ibu dan pejuang dakwah atau tarbiyah, juga akan meningkatkan ketekunan dan profesionalismenya dalam aktifitas dakwah, tarbiyah atau ilmu.
4)-Ia tidak boleh mengambil tugas terlalu banyak dalam ranah tersebut, apalagi kalau ia memiliki banyak anak dan tidak ada yang membantunya mendidik dan memperhatikan mereka. Tugas-tugas yang ia emban harus diseimbangkan dengan kewajibannya di rumah. Bila ia diberikan tugas yang melebihi kadarnya, ia hendaknya meminta agar tugas tersebut dibagi ke da’iyah-da’iyah yang lain. Pembagian tugas sesuai porsi dan kadar ini sangat baik manfaatnya dalam berbagai aktifitas tarbiyah, dakwah atau ta’lim.
5)-Bila seorang wanita da’iyah merasa bahwa anak-anaknya butuh bimbingan yang terus menerus atau perlu ada yang mengurusnya ketika ia beraktifitas di luar rumah, maka sangat dianjurkan baginya untuk mengambil pembantu untuk menggantikan tugas rumah tersebut, sebagaimana dalam fatwa Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah: “Bila seorang wanita itu memang memiliki skill untuk berdakwah dengan ilmu agama yang ia miliki dan metode yang baik, maka wajib bagi dirinya untuk berusaha mendakwahi saudari-saudarinya seiman, karena pendakwah wanita (zaman sekarang) sangat sedikit, di samping dakwah ini adalah fardhu kifayah. Pada zaman ini, fitnah begitu menjamur, sedangkan jumlah para aktifis dakwah dari kalangan wanita tidak bisa cukup untuk mendakwahi komunitas wanita. Jadi, yang lebih utama baginya adalah berdakwah kepada Allah, dan (boleh baginya) mewakilkan wanita yang ia percayai kesalehan dan amanahnya untuk memelihara putra-putrinya ketika ia keluar berdakwah.” (Dari buku: Mawaaqif Mudhiiah fi Hayaati Al-Imam Ibni Baz)
[Sumber: Di Mihrab Tarbiyah]