I’TIKAF
Oleh : Muhammmad Yusran Anshar, Lc
(Dosen Ma’had ‘Aly Wahdah Islamiyah)
I. TA’RIEF (DEFENISI) I’TIKAF
A. Menurut Bahasa
Ditinjau dari segi bahasa, i’tikaf berasal dari kata:
Yaitu berdiam di suatu tempat dan tetap dalam keadaan demikian untuk melakukan sesuatu pekerjaan(1); yang baik maupun yang buruk(2).
Yang menunjukkan bahwa kata i’tikaf juga digunakan untuk sesuatu yang buruk, firman Allah Subhaana Wa Ta’ala:
"Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah (beri’tikaf) kepada berhala ómereka." (QS.Al A’raf :138).
B. Menurut Istilah
Adapun pengertian i’tikaf menurut istilah adalah berdiam di masjid dalam rangka ibadah dari orang yang tertentu, dengan sifat atau cara yang tertentu dan pada waktu yang tertentu (3).
II. DALIL-DALIL DISYARIATKANNYA I’TIKAF
A. Dalil dari Al Qur’an
Firman Allah Shubhaanahu Wa Ta’ala :
“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid.” (QS. Al Baqarah: 187).
Demikian pula firman Allah Shubhaanahu Wa Ta’ala:
“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i`tikaaf, yang ruku` dan yang sujud." (QS. Al Baqarah : 125).
B. Dalil dari As Sunnah
Dalil tentang i’tikaf banyak disebutkan dalam hadits-hadits, diantaranya hadits dari Abu Sa’id Al Khudri , beliau berkata:
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam beri’tikaf di sepuluh awal bulan Ramadhan, kemudian beliau beri’tikaf di sepuluh pertengahan, kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya saya telah beri’tikaf sepuluh awal (bulan Ramadhan) (untuk) mencari malam Lailatul Qadr kemudian saya beri’tikaf sepuluh pertengahan kemudian saya didatangi (malaikat) lalu dikatakan kepadaku: Sesungguhnya malam Lailatul Qadr itu di sepuluh akhir (bulan Ramadhan), karenanya siapa di antara kalian yang mau beri’tikaf, maka hendaknya dia beri’tikaf! Maka beri’tikaflah manusia (para sahabat) beserta beliau …”.(4)
Demikian pula dalam hadits yang lain, ‘Aisyah radhiyallohu ‘anha berkata:
“Adalah Nabi Shallallahu Álaihi Wa Sallam beri’tikaf sepuluh akhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah Shubhaanahu Wa Ta’ala, kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sesudah (wafat) beliau”.(5)
C. Ijma’
Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Mundzir(6) ÑÍãå Çááå dan dinukil oleh Ibnu Qudamah ÑÍãå Çááå serta beliau menyetujuinya (7).
III. HUKUM I’TIKAF
A. Telah sepakat ulama kita bahwa hukum asal dari i’tikaf adalah sunnah, bahkan Imam Ibnu ‘Arabi Al Maliki dan Ibnu Baththal ÑÍãåãÇ Çááå memasukkannya ke dalam sunnah mu’akkadah (yang dikuatkan) karena Rasulullah Shallallahu Álaihi Wa Sallam tidak pernah meninggalkannya selama hidupnya.(8)
Dan hukum asal ini berubah menjadi wajib jika seseorang bernazar untuk melakukannya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Álaihi Wa Sallam :
“Barangsiapa yang bernazar untuk melakukan ketaatan kepada Allah maka hendaknya dia melakukannya”.(9)
Dalam hadits lain disebutkan bahwa Umar menyampaikan kepada Rasulullah Shallallahu Álaihi Wa Sallam bahwa pernah beliau bernazar untuk beri’tikaf satu malam di masjid Haram, maka Rasulullah Shallallahu Álaihi Wa Sallam bersabda:
“Tunaikan nazarmu itu”. (10)
B. Hukum i’tikaf ini berlaku baik untuk muslim ataupun muslimah sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits ‘Aisyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ yang terdahulu (11), dan juga disebutkan dalam hadits Shafiyyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ ketika beliau menziarahi Nabi pada saat i’tikaf :
“Adalah Nabi (beri’tikaf) di masjid dan di sisinya terdapat istri-istri beliau (sedang beri’tikaf pula)…”.(12)
Berkata Syaikh Al Albani ÑÍãå Çááå tentang i’tikaf wanita: “Dan tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut (i’tikaf wanita) sunnah dengan syarat adanya izin dari wali-wali mereka dan amannya dari fitnah serta dari berkhalwat dengan laki-laki, berdasarkan dalil-dalil yang banyak tentang hal tersebut. Sebagaimana pula yang dikenal dalam Kaidah Fiqh : “Menolak mafsadat didahulukan dari pada mengambil maslahat”.(13)
Al Imam Ibnul Mundzir ÑÍãå Çááå berkata: “Perempuan tidak boleh beri’tikaf hingga dia meminta izin kepada suaminya dan jika perempuan itu beri’tikaf tanpa izin maka suaminya boleh mengeluarkannya (dari i’tikaf). Dan jika seorang suami telah mengizinkan (istrinya) lalu mau mencabut izinnya maka hal itu dibolehkan baginya”.(14)
IV. FAIDAH I’TIKAF, HIKMAHNYA DAN FADHILAHNYA
Allah Shubhaana Wa Taála telah menyebutkan dalil disyariatkannya i’tikaf sesudah menyebutkan hal-hal yang berkaitan dengan shaum (puasa), hal ini menunjukkan adanya kaitan yang erat antara i’tikaf dan shaum.
Kalau saja shaum menyuruh seseorang meninggalkan makan dan minum serta hubungan suami istri pada waktu siang hari, maka i’tikaf merupakan shaum dan lebih dari itu. Karena orang yang beri’tikaf berpuasa pada siang harinya dan shalat pada malam harinya serta tetap menghindarkan diri dari hubungan suami istri pada malam hari.
Orang yang berpuasa jika telah berbuka pada waktu malam hari maka halal baginya segala sesuatu termasuk hubungan suami istri, adapun orang yang beri’tikaf maka dia tidak berbuka kecuali dengan hal yang sangat darurat baginya, berupa makanan dan minuman. Oleh karena itu orang yang beri’tikaf sangat mirip dengan malaikat yang berwujud manusia, karena dia terus berdzikir disamping berfikir dan memutuskan dirinya dari kesibukan-kesibukan dunia lalu mengkonsentrasikannya untuk berhubungan dengan Allah .
Dan i’tikaf merupakan hajat seorang manusia—yang sesuai dengan fitrah—dari sekalian ummat yang ada. Karenanya penyembah-penyembah berhalapun melaksanakan i’tikaf terhadap patung-patung mereka sebagaimana yang kita lihat masih dilakukan hingga hari ini oleh orang-orang Budha di tempat peribadatan mereka. Dan Allah Shubhaana Wa Ta’ala menceritakan kepada kita kisah orang-orang musyrik pada zaman Nabi Ibrahim Alaihis Salam :
“(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu beri’tikaf (tekun beribadat) kepadanya?" (QS. Al Anbiya : 52)
Berkata Ibnu Qayyim Al Jauziyah ÑÍãå Çááå tentang hikmah i’tikaf dan hajat muslim terhadapnya : “Ketika baiknya hati dan keistiqomahannya dalam perjalanannya menuju kepada Allah Shubhaana Wa Taála tergantung konsentrasinya kepada Allah, dan menyatukan kembali hati tersebut hanyalah dengan menghadapkan sepenuhnya kepada Allah …, maka Allah mensyariatkan i’tikaf yang maksud dan intinya adalah agar hati ini senantiasa berhubungan dengan Allah, konsentrasi kepada-Nya, berkhalwat dengan-Nya, memutuskan kesibukan dengan manusia dan menjadikannya dengan Allah semata sehingga dzikir dan kecintaan kepada-Nya serta hubungan dengan-Nya merupakan hal yang selalu menjadi tujuannya dan yang terlintas dalam pemikirannya … dan tafakkur terhadap hal-hal yang bisa menyampaikannya kepada keridhaan dan mendekatkannya kepada-Nya, sehingga kesenangannya kepada Allah tidak lagi kepada manusia dan tidak ada yang menjadikannya bahagia kecuali Dia . Maka inilah maksud yang agung dari i’tikaf. (15)
Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hanbali ÑÍãå Çááå berkata, “Makna dan hakikat i’tikaf adalah pemutusan hubungan dari makhluk-makhluk untuk berhubungan dan berkhidmat kepada Al Kholiq, dan setiap ma’rifat seseorang, kecintaan serta kesukaan kepada Allah kuat maka akan melahirkan pemutusan hubungan (kecuali) kepada Allah secara penuh dalam segala keadaan”.(16)
Adapun fadhilahnya maka i’tikaf mempunyai beberapa keutamaan yang tidak terdapat pada ibadah lainnya. Diantaranya sebagai berikut :
1. I’tikaf merupakan wasilah (cara) yang digunakan oleh Nabi untuk mendapatkan malam Lailatul Qadr sebagaimana disebutkan pada hadits Abu Said Al Khudri yang telah lewat.( )
2. Orang yang beri’tikaf akan mendapatkan pahala menunggu datangnya waktu shalat. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah dalam sebuah hadits :
Dari Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda : "Sesungguhnya seseorang tetap terhitung shalat selama shalat menahannya (untuk tetap berada di mesjid)…"
3. I’tikaf juga membuat orang yang melakukannya selalu beruntung atau paling tidak berpeluang besar mendapatkan shaf pertama pada shalat berjama’ah. Dan cukuplah hadits ini menunjukkan keutamaan shaf pertama :
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Ánhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu Álaihi Wa Sallam bersabda : "Andaikan manusia mengetahui keutamaan adzan dan shaf pertama kemudian mereka tidak mampu mendapatkan kecuali setelah berundi, maka tentu mereka akan berundi. Dan seandainya mereka mengetahui keutamaan bercepat-cepat (hadir ke mesjid) maka tentu mereka akan berlomba-lomba dan seandainya mereka mengetahui keutamaan shalat Isya dan Shubuh (secara berjamaah) tentu mereka akan menghadirinya walaupun dengan cara merangkak"
4. I’tikaf juga membiasakan jiwa untuk senang berlama-lama tinggal dalam masjid, dan menggantungkan hatinya pada masjid. Dalam hadits yang sangat masyhur dari shahabat Abu Hurairah Rasulullah bersabda :
ÓóÈúÚóÉñ íõÙöáøõåõãú Çááøóåõ Ýöí Ùöáøöåö íóæúãó áóÇ Ùöáøó ÅöáøóÇ Ùöáøõåõ … æóÑóÌõáñ ÞóáúÈõåõ ãõÚóáøóÞñ Ýöí ÇáúãóÓóÇÌöÏö … ãÊÝÞ Úáíå
"Tujuh golongan yang akan mendapatkan perlindungan dari Allah pada hari yang tidak ada lagi lindungan kecuali lindungan-Nya…(salah seorang diantara mereka) laki-laki yang hatinya terpaut di mesjid-mesjid…"
5. I’tikaf membantu menguatkan seseorang untuk menjalankan shalat dengan khusyu’ dan penuh kenikmatan. Sebab orang yang beri’tikaf telah memutuskan perhatian pada selain Allah, melepaskan segala kesibukan dan segala pemikiran duniawi atau apa saja yang dapat menghilangkan kejernihan hati serta ketentraman jiwanya dengan demikian ia akan mendapatkan keberuntungan dan kemenangan. Firman AllahShubhaana Wa Taála :
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya" (QS. Al Mu’minun : 1–2).
6. Kegunaan lain dari i’tikaf adalah membiasakan hidup sederhana, zuhud dan tidak tamak terhadap dunia yang sering membuat kebanyakan manusia tenggelam dalam kenikmatannya.
7. Keutamaan i’tikaf yang lain adalah bahwa i’tikaf ikut menjaga shaum seseorang dari perbuatan-perbuatan dosa sekecil apapun. Dia juga merupakan sarana untuk menjaga pandangan mata dari melihat hal-hal yang diharamkan serta memelihara telinga dari mendengarkan musik dan nyanyian-nyanyian yang diharamkan.
8. I’tikaf juga berguna untuk mendidik jiwa agar terbiasa berlaku sabar dalam menjalankan amal shaleh serta mendidik berlaku sabar dalam meninggalkan kemaksiatan.
Allah berfirman :
[ ÓæÑÉ ãÑíã : 65 ]
Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka beribadahlah kepada-Nya dan berteguh hatilah (bersabarlah) dalam beribadat kepada-Nya.(QS. Maryam: 65).
9. Orang yang melakukan i’tikaf akan dengan mudah mendirikan shalat fardhu secara kontinu dan berjamaah bahkan dengan i’tikaf memudahkan pelakunya untuk menjalankan shalat lail yang merupakan salah satu ibadah yang sangat berat untuk diamalkan kecuali bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Shubhaana Wa Ta’ala.
10. I’tikaf juga merupakan sarana untuk bermuhasabah; mengetahui sejauh mana kekurangan dan kelemahan yang ada. Dalam hal ini i’tikaf dapat diibaratkan sebagai rumah sakit, tempat seseorang melakukan pengobatan terhadap penyakit jiwanya agar tidak bertambah parah karena sebagaimana jasad, jiwa juga membutuhkan pengobatan jika sakit.
Demikian antara lain keutamaan i’tikaf, semua yang disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak faidah yang ada dalam ibadah i’tikaf. Semoga Allah memberikan pertolongan dan taufiq-Nya agar kita mampu meraih fadhilah-fadhilah tersebut.
V. WAKTUNYA
A. I’tikaf boleh dikerjakan kapan saja, namun lebih ditekankan pada bulan Ramadhan, karena itulah yang sering dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Álaihi Wa Sallam sebagaimana yang disebutkan di hadits ‘Aisyah radhiyallohu anha ( ). Dan lebih utama dikerjakan pada sepuluh akhir Ramadhan untuk mendapatkan Lailatul Qadr sebagaimana yang ditunjukkan hadits Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘Anha tadi.
Adapun dalil bolehnya dikerjakan di luar bulan Ramadhan adalah hadits berikut :
Dari ‘Aisyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ berkata : “Adalah Nabi Shallallahu Álaihi Wa Sallam beri’tikaf sepuluh akhir di bulan Ramadhan … lalu beliau meninggalkan i’tikaf pada bulan itu kemudian beliau (mengqodho’/mengganti) i’tikafnya sepuluh hari di bulan Syawwal”.
B. I’tikaf yang wajib ; dikerjakan sesuai jumlah hari yang telah dinazarkan, sedangkan i’tikaf yang sunnah tidak ada batasan maksimalnya dan hal ini disepakati oleh keempat ulama madzhab. Namun yang diperselisihkan adalah batasan minimalnya, Jumhur ulama berpendapat tidak ada batasan minimal, sedangkan Imam Malik dan selainnya berpendapat bahwa batasan minimalnya satu hari satu malam . Dalil yang dipegangi oleh Jumhur adalah atsar dari Umar dimana beliau mengabarkan kepada Nabi tentang nazar beliau untuk beri’tikaf satu malam di masjid Haram, lalu Rasulullah memerintahkan kepadanya untuk menunaikan nazarnya.
Imam Nawawi ÑÍãå Çááå mengatakan : “Boleh seseorang beri’tikaf sesaat dan waktu yang singkat…”. Adapun dalil yang dipegangi oleh ulama yang mengatakan minimal satu hari satu malam adalah disyariatkannya berpuasa untuk orang yang beri’tikaf dan hal ini (puasa) tidak mungkin terlaksana jika hanya malam saja. Wallahu A’lam.
C. Telah ikhtilaf ulama kita tentang kapan awal masuknya seseorang ke dalam masjid jika berniat untuk beri’tikaf. Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang memulai i’tikaf hendaknya memasuki masjid sebelum matahari terbenam, karena sepuluh akhir maksudnya sepuluh malam akhir yaitu di mulai malam ke-21.
Pendapat yang lain bahwa i’tikaf itu dimulai sesudah shalat shubuh, berdasarkan hadits ‘Aisyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ berikut ini :
“Adalah Nabi Shallallahu Álaihi Wa Sallam jika hendak beri’tikaf, beliau shalat Shubuh kemudian masuk ke tempat i’tikafnya”.
Pendapat ini dipegangi oleh Al Auza’iy, Al Laits dan Ats Tsauri serta dipilih oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dan Al Imam Ash Shon’âni – ÑÍãåã Çááå –
Jumhur ulama telah menta’wil atsar yang shahih ini bahwa yang dimaksud mu’takaf (tempat i’tikaf) adalah bilik khusus yang beliau siapkan untuk beri’tikaf, adapun masuk ke masjid maka sebelum masuk waktu shubuh. Namun Al Imam Ash Shon’ani ÑÍãå Çááå mengatakan ta’wil ini jauh dari kebenaran, karena merupakan kebiasaan Nabi adalah tidak keluar dari rumahnya (untuk ke masjid) kecuali pada saat iqomah.
Dari dua pendapat yang ada maka yang paling dekat dengan dalil adalah pendapat yang kedua, yaitu masuk sesudah shalat shubuh, namun pendapat yang pertama lebih berhati-hati. Wallahu A’lam.
Adapun akhir waktu i’tikaf maka keempat Imam Madzhab sepakat bahwa i’tikaf berakhir saat matahari terbenam pada hari akhir bulan Ramadhan, namun sebagian ulama diantaranya Imam Malik memandang lebih baik untuk tinggal sampai hari ‘Ied dan keluar dari masjid keesokan harinya untuk menuju ke lapangan shalat ‘Ied.
VI. SYARAT-SYARAT I’TIKAF
Orang yang beri’tikaf syaratnya ialah :
1. Seorang muslim
2. Mumayyiz (sudah mampu membedakan yang baik dan buruk).
3. Berakal.
4. Suci dari janabat, haidh, dan nifas.
Keempat syarat ini merupakan syarat yang umum untuk ibadah yang lain seperti shalat, dan ada satu syarat yang diikhtilafkan bagi orang yang mau beri’tikaf di luar Ramadhan yaitu shaum (puasa).
a. Pendapat pertama bahwa shaum merupakan syarat i’tikaf; pendapat ini dipegangi oleh Abu Hanifah, Malik, Al Auza’iy ÑÍãåã Çááå dan disandarkan kepada beberapa sahabat diantaranya ‘Aisyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ dan Abdullah bin ‘Umar . Dalil mereka :
Atsar dari ‘Aisyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ , beliau berkata :
“Dan sunnah bagi yang beri’tikaf berpuasa”.
Keterangan: Jika salah seorang sahabat mengatakan sunnah maka maksud dari sunnah adalah perbuatan atau perkataan Nabi dan (hukumnya marfu’) bukan sunnah menurut pengertian fuqoha.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah ÑÍãå Çááå berkata: “Tidak pernah dinukil bahwa Nabi Shallallahu Álaihi Wa Sallam pernah i’tikaf dalam keadaan berbuka, bahkan ‘Aisyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ berkata: “Tidak ada i’tikaf kecuali berpuasa”. Dan Allah tidak pernah menyebut i’tikaf kecuali beserta shaum dan Rasulullah Shallallahu Álaihi Wa Sallam tidak pernah beri’tikaf kecuali dalam keadaan berpuasa. Karena itu pendapat yang rojih yang sesuai dalil dan merupakan pendapat Jumhur Salaf adalah: Shaum merupakan syarat i’tikaf dan pendapat inilah yang dirojihkan oleh Syaikhul Islam Abul Abbas Ibnu Taimiyah ÑÍãå Çááå “.
b. Pendapat kedua bahwa shaum bukan syarat i’tikaf; pendapat ini dipegangi Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Hasan Al Bashri, Said bin Musayyib, Atho’ bin Abi Rabâh, Umar bin Abdul Aziz ÑÍãåã Çááå dan disandarkan kepada Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud . Dalil mereka:
1) Perkataan Umar yang menyampaikan kepada Nabi Shallallahu Álaihi Wa Sallam bahwa beliau pernah bernazar beri’tikaf satu malam. Lalu Rasulullah Shallallahu Álaihi Wa Sallam memerintahkannya untuk menunaikannya. Dan sebagaimana diketahui bahwa puasa tidak mungkin dilakukan pada waktu malam.
Al Hafizh Ibnu Hajar ÑÍãå Çááå berkata : “Ini menunjukkan bahwa Umar tidak menambah dari nazarnya sedikitpun dan menunjukkan bahwa i’tikafnya tanpa berpuasa serta menunjukkan pula bahwa tidak ada batasan (minimal) yang ditentukan (untuk beri’tikaf)”.
2) Nabi Shallallahu Álaihi Wa Sallam pernah beri’tikaf di bulan Syawwal, dan sebagaimana yang diketahui orang tidak boleh berpuasa di hari pertama bulan Syawwal.
3) Perkataan Ibnu Abbas : “Tidak wajib bagi orang yang beri’tikaf berpuasa kecuali dia menazarkannya”.
Adapun jawaban mereka terhadap dalil pendapat yang pertama:
• Berkata Abu Umar Ibnu Abdil Barr ÑÍãå Çááå tentang atsar ‘Aisyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ : “Tidak seorang pun yang mengatakan pada hadits ‘Aisyah : “Ini Sunnah”, kecuali Abdurrahman bin Ishaq, dan perkataan ini tidaklah shahih kecuali dia perkataan Az Zuhri ". Dengan demikian maka tidaklah dikatakan bahwa perkataan ini hukumnya marfu’ kepada Nabi Shallallahu Álaihi Wa Sallam.
• Ibnu Hajar Al ‘Asqalani ÑÍãå Çááå –ketika menanggapi hujjah yang disebutkan oleh Ibnul Qoyyim yang mensyaratkan berpuasa—, beliau (Al Hafizh) mengatakan: "Disebutkannya i’tikaf sesudah perintah shaum tidaklah menunjukkan bahwa shaum merupakan syarat bagi orang yang beri’tikaf, karena jika kita mengatakan demikian maka harus juga kita katakan bahwa seorang yang shaum mesti juga beri’tikaf namun tidak seorang pun yang berpendapat demikian.
• Ash Shon’ani ÑÍãå Çááå berkata: “Telah ikhtilaf tentang pensyaratan shaum bagi yang i’tikaf dan atsar ‘Aisyah menunjukkan disyariatkannya, dan ada juga hadits-hadits yang menafikannya dan ada juga yang menetapkannya, namun kesemuanya (merupakan pendapat) tidak bisa dijadikan hujjah … dan sekedar perbuatan (fi’il) Nabi tidaklah menjadi hujjah disyariatkannya”. Dan beliau berkata lagi: “Dan ijtihad dalam masalah ini (persyaratan shaum) medannya luas (boleh-boleh saja)”.
• Imam Nawawi ÑÍãå Çááå berkata : “Imam Syafi’i dan pengikutnya berpendapat yang afdhal (utama) i’tikaf dengan berpuasa dan bila ia tidak berpuasa juga boleh”.
VII. RUKUN-RUKUN I’TIKAF
1. Niat, karena tidak sah suatu amalan melainkan dengan niat.
Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat dan seseorang akan mendapatkan (pahala) sesuai dengan yang diniatkannya…”
2. Tempatnya harus di masjid. Dalilnya firman Allah :
“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid”(QS. Al Baqarah: 187).
Berkata Ibnu Hajar Al ‘Asqalani ÑÍãå Çááå ketika menjelaskan kenapa ayat ini dijadikan dalil tentang keharusan masjid dijadikan tempat untuk beri’tikaf: “Seandainya (i’tikaf itu) sah dikerjakan di selain masjid, tentu tidak dikhususkan pengharaman bercampur di masjid, karena jima’ itu membatalkan i’tikaf menurut ijma’ (walaupun bukan di masjid). Maka diketahuilah dari penyebutan masjid bahwa maksudnya adalah i’tikaf itu tidak sah pelaksanaannya kecuali di masjid-masjid”.
Keharusan beri’tikaf di masjid ini berlaku pula untuk wanita, dalam hal ini merupakan pendapat Jumhur Ulama bahwa wanita tidak sah beri’tikaf di masjid rumahnya karena tempat itu tidaklah dikatakan masjid lagi pula keterangan yang shahih menerangkan bahwa istri-istri Nabi melakukan i’tikaf di masjid Nabawi.
Al Imam An Nawawi ÑÍãå Çááå menuturkan: “I’tikaf tidak sah kecuali di masjid, karena Nabi dan istri-istri beliau serta para sahabat hanya beri’tikaf di masjid, padahal sangat sulit bagi seseorang untuk selalu berdiam di masjid. Jika seandainya i’tikaf boleh dikerjakan di rumah tentu mereka pernah melaksanakannya di rumah walaupun hanya sekali terutama bagi wanita yang hajat mereka untuk i’tikaf di rumah lebih besar”.
Al Hafizh Ibnu Hajar ÑÍãå Çááå menjelaskan tentang i’tikaf istri-istri Nabi di masjid: “Hal ini menunjukkan disyariatkannya i’tikaf di masjid, karena seandainya tidak, tentu para istri-istri Nabi akan beri’tikaf di rumah-rumah mereka karena mereka telah diperintahkan untuk berlindung atau berdiam di rumah”.
VIII. MASJID YANG SAH DIPAKAI BUAT I’TIKAF
Telah dijelaskan di atas bahwa tidak sah i’tikaf kecuali jika dikerjakan di masjid, kemudian para ulama berikhtilaf tentang sifat masjid yang boleh digunakan untuk i’tikaf atas 6 (enam) pendapat :
Pertama: I’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja walaupun tidak dilaksanakan shalat berjama’ah padanya; ini pendapat Imam Malik , Asy Syafi’i , Al Bukhari , Al Baghowi , dan lain-lain ÑÍãåã Çááå.
Dalil mereka adalah keumuman ayat 187 surah Al Baqarah, namun demikian jika selama beri’tikaf ada hari Jum’atnya, maka Imam Malik ÑÍãå Çááå mensyaratkan di masjid Jami’ (masjid yang digunakan shalat Jum’at di dalamnya), sedang Imam Syafi’i ÑÍãå Çááå menganggap hal tersebut (mesjid Jami’) bukan syarat namun lebih disukai dan dia harus keluar dari tempat i’tikafnya pada hari Jum’at untuk melaksanakan shalat Jum’at.
Kedua: I’tikaf tidak sah kecuali di masjid Jami’; ini adalah pendapat Imam Az Zuhri dan Hammâd ÑÍãåãÇ Çááå. Dalilnya adalah perkataan ‘Aisyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ :
“Tidak ada i’tikaf kecuali di masjid Jami’".
Namun riwayat ini mempunyai dua cacat, yaitu :
1. Perkataan masjid Jami’ merupakan riwayat yang syadz (ganjil) karena diriwayatkan oleh Abdurrahman saja lalu bertentangan dengan riwayat Ibnu Juraij sebagaimana di sunan Ad Dâraquthni dan riwayat ‘Uqail bin Kholid sebagaimana di sunan Al Baihaqi yang keduanya menyebut: ãÓÌÏ ÌãÇÚÉ (masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah).
2. Imam Ad Dâraquthni ÑÍãå Çááå berkata: “Dikatakan bahwa ini bukanlah sabda Nabi namun perkataan Az Zuhri” . Dan Imam Al Baihaqi ÑÍãå Çááå menyatakan : “Sepertinya ini adalah perkataan rawi sesudah ‘Aisyah”.
Ketiga: I’tikaf tidak sah kecuali di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah padanya, ini adalah madzhab Abu Hanîfah dan Imam Ahmad serta perkataan Hasan Al Bashri dan ‘Urwah bin Zubair ÑÍãåã Çááå . Dalil mereka adalah atsar ‘Aisyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ terdahulu yaitu riwayat Ad Dâraquthni dan Al Baihaqi yang menyebut:
“Tidak ada i’tikaf kecuali di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah”.
Dan inilah perkataan yang pertengahan dan paling dekat dengan kebenaran terutama jika kita mengatakan shalat berjama’ah hukumnya wajib ‘ain bagi kaum laki-laki. Ibnu Qudamah ÑÍãå Çááå menjelaskan:“Disyaratkannya i’tikaf di masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah, karena shalat jama’ah itu wajib, dan ketika seseorang beri’tikaf di masjid yang tidak dilaksanakan shalat jama’ah akan mengakibatkan salah satu dari dua hal:
1. Meninggalkan shalat jama’ah yang merupakan kewajiban,
2. Keluar untuk shalat di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah dan hal ini akan sering berulang padahal masih mungkin untuk menghindarinya, dan sering keluar dari tempat i’tikaf itu bertentangan dengan maksud/tujuan i’tikaf …”.
Jika seseorang i’tikaf di masjid jama’ah yang tidak dilaksanakan shalat Jum’at maka wajib atasnya untuk keluar shalat Jum’at dan i’tikafnya tidak batal karena dia keluar disebabkan udzur yang dibenarkan syariat dan hal tersebut hanya sekali dalam sepekan, dan ini merupakan pendapat Abu Hanîfah, Said bin Jubair, Hasan Al Bashri, Ibrahim An Nakha’iy, Imam Ahmad, Ibnul Mundzir, Dâwud Azh Zhohiri, Ibnu Qudâmah, dan lain-lain ÑÍãåã Çááå .
Keempat: I’tikaf tidak sah kecuali di masjid Haram dan masjid Nabawi, dan ini adalah pendapat Atho’ bin Abi Rabah ÑÍãå Çááå.
Kelima: I’tikaf tidak sah kecuali di masjid Nabawi saja, dan ini adalah pendapat Said bin Musayyib ÑÍãå Çááå.
Keenam: I’tikaf tidak shah kecuali di tiga masjid, dan ini adalah pendapat shahabat Hudzaifah dan dipilih oleh Syaikh Al Albani ÑÍãå Çááå. Dalilnya adalah apa yang beliau riwayatkan marfu’ kepada Nabi :
“Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid: masjid Haram, masjid Nabawi dan masjid Al Aqsho”.
Penjelasan Ulama terhadap hadits ini:
1. Telah diikhtilafkan apakah hadits ini marfu’ (perkataan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) ataukah mauquf (perkataan Hudzaifah ), namun yang shahih adalah mauquf, karena Imam Abdurrazzâq di kitabnya Mushannaf dan Ath Thabrani di Al Mu’jam Al Kabir meriwayatkan secara mauquf dan kedua riwayat ini lebih baik keadaan sanadnya dari riwayat Ath Thahawi di atas..
2. Diantara hal yang menunjukkan kelemahan kabar Hudzaifah ini adalah sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud tidak menerima riwayat Hudzaifah ini bahkan menolaknya. Seandainya ini hadits marfu’ maka tidak mungkin Abdullah bin Mas’ud menolaknya, sebab beliau adalah termasuk diantara sahabat yang paling teguh memegang sunnah dan termasuk fuqoha sahabat, lalu beliau berfatwa bertentangan dengan riwayat Hudzaifah .Ibnu Mas’ud berkata kepada Hudzaifah : “Mungkin kamu lupa lalu orang-orang mengingatnya atau kamu salah dan mereka benar”. Ini menunjukkan bahwa Ibnu Mas’ud meragukan perkataan Hudzaifah tersebut dan menganggapnya telah menggabungkan dengan hadits :
“Tidak boleh mengadakan perjalanan (untuk mencari berkah) kecuali ke tiga masjid …”.
Imam Asy Syaukani ÑÍãå Çááå berkata : “Perkataan Abdullah bin Mas’ud menunjukkan bahwa beliau tidak menganggap ini hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, juga menunjukkan bahwa beliau menyelisihinya dan menganggap boleh beri’tikaf di setiap masjid, andaikan itu adalah hadits tentu Abdullah bin Mas’ud tidak menyelisihinya”.
3. Matan (redaksi) hadits ini ada ikhtilaf (perbedaan) dan syak (keraguan). Dalam riwayat Said bin Manshur ÑÍãå Çááå , Hudzaifah berkata : “Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid” atau “…kecuali di masjid jama’ah”.
Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm ÑÍãå Çááå menjelaskan : “Keraguan ini dari Hudzaifah atau rawi sesudahnya dan tidak mungkin dari Rasulullah . Seandainya ini adalah sabda Nabi tentu Allah akan memeliharanya untuk kita dan tidak diriwayatkan secara ragu, karena itulah kita yakini bahwa yang benar adalah Nabi tidak pernah bersabda demikian”.
4. Al Imam Abu Ja’far Ath Thahawi ÑÍãå Çááå mengatakan hadits ini mansûkh (hukumnya sudah dihapus) dan yang menâsikhnya (yang menghapusnya) adalah QS. Al Baqarah : 187, karena ayat ini menyebutkan masjid secara umum (tanpa ada pengkhususan) dan adalah kaum muslimin telah beri’tikaf di masjid-masjid di negeri mereka masing-masing.
5. Hadits ini kalaupun dianggap shahih maka sekedar menunjukkan keutamaan dan kesempurnaan sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Tidak (sempurna) iman seseorang yang tidak amanah”.
6. Seandainya hadits ini shahih, maka tidak mungkin ummat Islam bersepakat untuk meninggalkan dari mengamalkannya dan tidak seorang pun dari para imam yang mengambil zhohir hadits tersebut kecuali Hudzaifah . Kalau ada yang mengatakan bahwa hadits ini dipegangi pula oleh Said bin Musayyib dan Atho’ ÑÍãåãÇ Çááå maka dijawab bahwa penukilan dari Said bin Musayyib ÑÍãå Çááå masih diikhtilafkan, karena Ibnu Hajar Al ‘Asqalani ÑÍãå Çááå mengatakan bahwa Said bin Musayyib ÑÍãå Çááå hanya mengkhususkan masjid Nabawi (lihat pendapat kelima di atas). Adapun Atho’ ÑÍãå Çááå maka beliau tidak menyebut masjid Al Aqsho, seandainya beliau berpegang pada hadits tersebut tentu beliau akan menyebutkannya pula. Karena itu diketahui bahwa perkataan Atho’ ÑÍãå Çááå adalah sekedar fatwa dan ijtihad beliau bukan berpegang pada hadits Hudzaifah .
Itulah beberapa jawaban ulama kita terhadap dalil pendapat yang keenam tentang masalah masjid yang dipakai untuk i’tikaf. Sebagai kesimpulan dari keenam pendapat yang ada maka yang dekat dengan kebenaran adalah pendapat kedua dan ketiga. Dan tentu saja kalau selama beri’tikaf ada hari Jum’at maka lebih utama jika dilaksanakan di masjid Jami’. Wallahu A’lam.
IX. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN I’TIKAF
1. Jima’ (bersetubuh/ bersenggama).
Dalilnya firman Allah Shubhaanahu Wa Taála :
“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid”(Al Baqarah : 187)
Dan tidak mengapa menyentuh istri tanpa disertai dengan syahwat . Adapun menciumnya dan menyentuhnya disertai dengan syahwat maka itupun diharamkan, namun diikhtilafkan apakah membatalkan atau tidak. Imam Malik ÑÍãå Çááå mengatakan batal sedangkan yang lain mengatakan tidak membatalkan kecuali jika keluar mani.
2. Murtad atau melakukan perbuatan syirik besar
Dalilnya firman Allah :
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”(QS. Az Zumar : 65)
3. Hilang akal
4. Haidh
5. Nifas
6. Keluar dari masjid tanpa hajat yang dibolehkan, walaupun hanya keluar sebentar. Keluar dari masjid membatalkan i’tikaf karena tinggal di masjid adalah rukun i’tikaf.
X. HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN SEWAKTU I’TIKÂ F
1. Keluar untuk suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan.
Dalilnya hadits :
Dari ‘Aisyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ berkata : “Dan adalah Rasulullah sedang beri’tikaf di masjid, lalu beliau memasukkan kepalanya maka saya menyisirnya dan adalah beliau tidak masuk ke rumah kecuali karena hajat seorang manusia”.
Imam Az Zuhri ÑÍãå Çááå menafsirkan hajat insan (kebutuhan yang manusiawi) sebagai kencing dan buang air besar, dan kedua hal ini merupakan ijma’ tentang bolehnya keluar masjid disebabkan kedua hal tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mundzir ÑÍãå Çááå.
Imam Malik ÑÍãå Çááå berkata : “Tidaklah seseorang dikatakan beri’tikaf hingga dia meninggalkan hal-hal yang harus dia tinggalkan seperti menjenguk orang sakit, shalat jenazah, dan masuk ke rumah kecuali dengan adanya hajat insan”. Dan beliau juga mengatakan seandainya keluar itu boleh bagi orang yang beri’tikaf tentu menjenguk orang sakit dan shalat jenazah serta mengantarkannya tidak dilarang.
Asy Syaikh Al ‘Utsaimin ÑÍãå Çááå telah merinci masalah ini, beliau berkata, “Jika orang yang i’tikaf keluar dengan sebagian anggota tubuhnya maka itu tidak mengapa sebagaimana disebutkan pada hadits ‘Aisyah tadi dan jika keluar dengan seluruh anggota tubuhnya maka itu terbagi tiga:
a. Keluarnya untuk urusan yang tidak dapat dielakkan secara tabi’at dan syari’at, seperti membuang hajat (kencing dan buang air besar), berwudhu yang wajib, mandi yang wajib, makan dan minum. Maka untuk hal-hal ini dibolehkan keluar selama tidak mungkin dikerjakan di masjid, namun jika bisa dikerjakan di masjid maka tidak boleh keluar, seperti adanya kamar mandi di masjid, atau ada yang menyediakan baginya makan dan minum, karena saat itu tidak ada lagi keperluan untuk keluar.
b. Keluar dalam urusan ketaatan, namun tidak wajib.
Contoh: mengunjungi orang sakit, menghadiri jenazah, dan yang semisalnya. Maka seperti ini tidak dibolehkan keluar, kecuali dia telah bersyarat sebelum memulai i’tikaf, misalnya ada seorang yang sakit lalu dia mau menjenguknya dan khawatir akan kematiannya, maka dia mensyaratkan hal tersebut sebelum memulai i’tikaf, maka hal tersebut tidak mengapa.
c. Keluar untuk urusan yang menafikan maksud i’tikaf.
Contoh: keluar untuk berjual beli, berjima’, atau bersenang-senang dengan istrinya atau yang semacamnya. Maka hal ini tidak boleh walaupun dia telah mensyaratkan hal tersebut sebelum memulai i’tikaf, karena perbuatan seperti ini bertentangan dan menafikan makna i’tikaf.
Dan barangsiapa keluar karena hajat yang tidak dapat dielakkan (hajat insan) maka tidak boleh baginya mengerjakan yang lain kecuali hal tersebut. Ibnu Qayyim ÑÍãå Çááå mengatakan : “Adalah Nabi jika keluar karena hajat, beliau melewati orang yang sakit di perjalanan namun beliau tidak menghampirinya dan dia tidak pula menanyakan tentang keadaannya”.
2. Menyisir rambut dan merapikannya, sebagaimana yang diceritakan di hadits ‘Aisyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ yang tadi.
Kata Al Khaththabi ÑÍãå Çááå mengomentari hadits tersebut : “Dan yang semakna dengan hal itu adalah mencukur rambut, memotong kuku, dan membersihkan badan dari kotoran dan daki”.
3. Membawa kasur dan perlengkapan lainnya ke masjid.
4. Menerima tamu dan mengantarkannya hingga ke pintu masjid.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Husain :
“Adalah Shofiyyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ – istri Nabi – mengabarkan kepadanya bahwa dia (Shofiyyah) menziarahi NabiShallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang sedang beri’tikaf pada sepuluh akhir Ramadhan, lalu Shofiyyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ berbicara di sisinya beberapa lama kemudian bangkit untuk pulang dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga berdiri untuk mengantarnya hingga di pintu masjid …”.
5. Dan dibolehkan makan dan minum di dalam masjid dengan tetap memelihara dan menjaga kebersihan dan kemuliaan masjid. Wallahul Muwaffiq.
IX. ADAB-ADAB I’TIKAF
Ada beberapa adab yang hendaknya seseorang yang beri’tikaf memperhatikannya dan berusaha untuk melaksanakannya sesuai dengan kesanggupan baik di waktu siang ataupun malam.
Diantara adab-adab tersebut adalah :
1. Disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf memperbanyak ibadah-ibadah sunnah, seperti shalat, membaca Al Qur’an, berdzikir, membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, berdo’a dan ibadah-ibadah lainnya yang mendekatkan dirinya kepada Allah .
2. Termasuk juga dalam hal ini disunnahkan menuntut ilmu, membaca/menelaah kitab-kitab tafsir dan hadits, membaca riwayat para Nabi dan orang-orang yang shalih, serta mempelajari kitab-kitab aqidah dan fiqh.
3. Disunnahkan juga bagi orang yang beri’tikaf untuk membuat bilik-bilik di masjid untuk digunakan berkhalwat sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi , terutama jika ada wanita yang ikut beri’tikaf, maka wajib atas wanita untuk membuat bilik-bilik tersebut agar terhindar dari ikhtilat (bercampur) dan saling pandang-memandang dengan lawan jenis. Namun hendaknya bilik-bilik tersebut dibuat di tempat yang tidak mengganggu bagi orang yang melaksanakan shalat berjama’ah, juga tidak boleh saling bermegah-megahan atau saling berbangga-banggaan dengan bilik yang dibuat, karena Nabi pernah meninggalkan beri’tikaf di bulan Ramadhan ketika melihat istri-istri beliau saling berlomba dan bermegah-megahan dengan bilik yang mereka buat.
4. Hendaknya seorang yang beri’tikaf meninggalkan perdebatan dan pertengkaran walaupun dia berada di pihak yang benar, sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Saya menjamin rumah di bagian bawah surga bagi yang meninggalkan pertengkaran/ perdebatan walaupun dia benar …”.
5. Juga bagi orang yang beri’tikaf hendaknya menghindari dari mengumpat, berghibah, dan berkata-kata yang kotor, karena hal-hal tersebut terlarang di luar i’tikaf maka pelarangannya bertambah pada saat i’tikaf.
6. Secara umum seluruh perbuatan dan perkataan yang tidak bermanfaat hendaknya ditinggalkan, karena semua perkataan dan perbuatan yang dosa serta tidak bermanfaat tidak mencerminkan kepribadian seorang muslim dan mukmin yang baik dan perbuatab semacam itu akan mengurangi pahala beri’tikaf, Allah berfirman (artinya), “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna” (QS. Al Mu’minun : 1-3)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Diantara kebaikan Islam seseorang (dia) meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi dirinya”.
Namun tidak boleh pula seseorang yang i’tikaf bernazar untuk tidak berbicara sama sekali, karena hal tersebut bukanlah perbuatan kebaikan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits bahwa Abu Israil bernazar untuk terus berdiri (di terik matahari), tidak akan duduk, tidak mau bernaung, dan tidak mau berbicara serta akan terus berpuasa, maka Nabi bersabda kepada para sahabat :
“Suruhlah ia berbicara, bernaung, duduk, dan hendaknya ia meneruskan puasanya”.
Inilah beberapa adab yang hendaknya diperhatikan bagi orang yang beri’tikaf, agar i’tikafnya benar-benar berwujud taqarrub kepada Allah dan jangan menjadikan tempat (masjid) sebagai tempat untuk melaksanakan kebiasan-kebiasannya yang buruk, sehingga i’tikafnya tidak ubahnya seperti orang yang berpindah tempat saja.
Berkata Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah ÑÍãå Çááå sesudah beliau menyebutkan adab-adab Nabi dalam beri’tikaf : “Keseluruh (adab-adab) ini dilakukan untuk mendapatkan tujuan dan ruh dari i’tikaf tersebut, kebalikan dari apa yang dilakukan oleh orang-orang yang jahil dengan menjadikan tempat i’tikaf sebagai tempat pertemuan keluarga/ teman-teman dan sebagai tempat untuk menerima orang-orang yang mau berziarah kepadanya, lalu mulailah mereka ngomong dan ngobrol kesana-kemari, dan i’tikaf seperti itu adalah suatu warna (model) dan i’tikaf Nabi mempunyai warna (model) yang lain, Wallahul Muwaffiq”.
XII. BEBERAPA MASALAH YANG BERKAITAN DENGAN I’TIKAF
1. Barangsiapa yang telah berniat dan telah memulai i’tikaf lalu membatalkannya maka disunnatkan baginya untuk mengqodho’nya (menggantinya) jika i’tikafnya sunnat. Adapun i’tikaf yang wajib maka wajib pula untuk mengqodho’nya.
2. Barangsiapa yang bernazar untuk i’tikaf di salah satu dari 3 masjid (masjid Haram, Nabawi, dan Aqsho’) maka wajib atasnya untuk menunaikannya sesuai dengan nazarnya, namun jika dia beri’tikaf di masjid yang lebih afdhal dari yang dia nazarkan maka itu boleh.
Adapun jika bernazar di salah satu masjid selain ketiga masjid tersebut maka tidak wajib atasnya i’tikaf di masjid tersebut bahkan dibolehkan baginya beri’tikaf di masjid mana saja.
3. Dibolehkan bagi wanita yang istihadhah untuk beri’tikaf.
4. Barangsiapa yang bercampur dengan istrinya padahal dia beri’tikaf maka batallah i’tikafnya dan dia harus memulainya kembali namun tidak wajib atasnya kaffarah (membayar denda) karena tidak ada dalil yang memerintahkannya.
XIII. PENUTUP DAN KESIMPULAN
Inilah akhir dari risalah i’tikaf yang merupakan Silsilah Risalah Ramadhan II, dan berikut ini beberapa kesimpulan tentang i’tikaf :
1. I’tikaf adalah berdiam di masjid secara terus-menerus untuk melaksanakan ibadah.
2. I’tikaf adalah ibadah yang disyari’atkan berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’.
3. Hukum i’tikaf sunnah dan sebagian menganggap sunnah muakkadah dan dia menjadi wajib ketika dinazarkan. Dan hukum ini berlaku pula untuk wanita dengan tetap memperhatikan beberapa syarat.
4. Hikmah disyari’atkannya i’tikaf adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan membersihkan hati dari hal-hal yang menghalangi seorang hamba dari berhubungan dengan-Nya.
5. Salah satu faidah i’tikaf adalah wasilah yang paling utama untuk mendapatkan Lailatul Qadr.
6. Sunnah mengerjakan i’tikaf di bulan Ramadhan dan afdhal pada sepuluh akhir di bulan tersebut, namun boleh saja dikerjakan di luar Ramadhan.
7. Tidak ada batasan maksimal ataupun minimal untuk beri’tikaf.
8. Awal masuknya seseorang ke mu’takaf (tempat i’tikaf) adalah sesudah shalat shubuh, adapun masuk ke masjid maka Jumhur Ulama melihat sebaiknya sebelum terbenamnya matahari pada malam harinya.
9. I’tikaf mempunyai syarat-syarat, rukun-rukun, dan adab-adab yang harus diperhatikan.
10. I’tikaf dikerjakan di masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah dan lebih afdhal di masjid Jami’ (masjid yang dilaksanakan shalat Jum’at padanya).
Kemudian orang yang berniat untuk beri’tikaf hendaknya melihat maslahat dan mudharat. Jika dia adalah seorang pemuda yang sangat dibutuhkan oleh orang tuanya maka hendaknya dia mendahulukan hak orang tuanya karena hal tersebut wajib, namun jika dia diizinkan untuk beri’tikaf maka itulah yang utama. Demikian pula dengan orang yang bekerja di bidang jasa dan kepentingan masyarakat umum hendaknya mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan pribadi dan sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang diniatkan oleh hamba-hamba-Nya.
Adapun bagi mereka yang Allah muliakan dengan memberikan kesempatan untuk beri’tikaf di tahun ini hendaknya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, raihlah hikmah dan faidah i’tikaf, perhatikanlah adab-adabnya serta jauhkanlah dari hal-hal yang terlarang dan janganlah menjadi orang yang i’tikafnya tidak ubahnya dari sekedar berpindah tempat tidur saja. Mudah-mudahan dengan i’tikaf ini anda bisa mendapatkan malam yang lebih mulia dari seribu bulan : “Lailatul Qadr”. Amin Ya Robbal ‘Alamin.
Dan bagi yang menginginkan penjelasan tentang Lailatul Qadr, Insya Allah akan kami sebutkan pada “Risalah Ramadhan III”.
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmu ash sholihaat.
DAFTAR MAROJI’
1. Lisanul ‘Arab, Al Allamah Ibnul Manzhur.
2. An Nihayah Fii Gharib Al Hadits, Al Hafizh Ibnul Atsir.
3. Al Muwaththo’, Al Imam Malik bin Anas.
4. Al Umm, Al Imam Asy Syafi’i
5. Al Mughni, Al Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi
6. Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd Al Qurthubi
7. Fathul Bari, Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani.
8. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Al Imam Ibnu Katsir.
9. Ma’alim At Tanzil, Al Imam Al Baghawi.
10. Za’adul Ma’ad, Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah.
11. Shohih Ibnu Khuzaimah, Al Imam Muhammad bin Ishaq Ibn Khuzaimah
12. Subul As Salam, Al Imam Ash Shon’ani.
13. Al Fatawa Al Kubro, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
14. Al Minhâj Fii Syarh Shohih Muslim, Al Imam An Nawawi.
15. Al Ijma’, Al Imam Ibnul Mundzir.
16. Al Adzkâr, Al Imam An Nawawi.
17. At Tamhid Limâ Fil Muwaththa Minal Ma’âni wal Masânîd , Al Imam Ibnu Abdil Barr
18. Misykâtul Mashobih, Al Imam At Tibridzy.
19. Nailul Authar, Al Imam Asy Syaukani.
20. Fiqhus Sunnah, Asy Syaikh Sayyid Sabiq.
21. Taisir Al Karim Ar Rahman, Al Allamah As Sa’di.
22. Majâlis Syahri Ramadhan, Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin.
23. Fatawa Ash Shiyam, Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin.
24. Taudhihul Ahkâm, Asy Syaikh Abdullah Al Bassâm
25. Taisir Al ‘Allâm, Asy Syaikh Abdullah Al Bassâm
26. Ramadhaniyyat, Asy Syaikh ‘Athiyah Salim
27. Qiyam Ramadhan, Al Muhaddits Al Albani.
28. Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, DR. Wahbah Az Zuhaili
29. Shifatu Shaum An Nabi Fii Ramadhan, Asy Syaikh Ali bin Hasan dan Asy Syaikh Salim Al Hilaly.
30. Al Inshaf Fii Ahkam Al I’tikaf, Asy Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al Halabi.
31. Daf’ul I’tisaaf ‘An Mahalli Al I’tikaaf, Asy Syaikh Jasim bin Sulaiman Ad Dausari.
32. Hakikat Al I’tikaf, Asy Syaikh Muhammad bin Muhammad Al Mukhtar Asy Syinqithi (kaset).