Iman, Taqwa, dan Furqan

Date:

Iman, Taqwa, dan Furqan

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Qs. Al-Anfal:29)

“Merealisasikan ketakwaan kepada Allah merupakan alamat kebahagiaan dan tanda keberuntungan”. Demikian Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy mengawali penafsirannya terhadap ayat ini dalam Kitabnya Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiril Kalamil Mannan. Oleh karena itu Allah memberikan balasan berupa karunia yang banyak di dunia dan akhirat bagi orang yang bertakwa. Dalam ayat ini Allah sebutkan empat diantaranya, yakni (1) Furqan, (2) Penghapusan Keburukan, (3) Pengampunan [Dosa], dan (4) Pahala yang Besar. Penjelasan dari masing-masing keempat poin ini akan diuraikan sebagai berikut. Namun sebelumnya akan diuraikan secara singkat terlebih dahulu apa itu makna Taqwa.

Beragam definisi takwa yang disebutkan oleh para ulama. Meskipun beragam definisi yang mereka tidak bertentangan satu sama lain. Karena semua definisi yang mereka kemukakan mewakili dan mencakup substansi dan hakikat takwa itu sendiri. Namun karena keterbatasan halaman, dalam tulisan ini hanya akan dikutip makna takwa yang dikemukakan oleh Tabi’in yang mulia Thalq bin Habib rahimahullah. Beliau mengatakan bahwa takwa itu adalah, “engkau mengamalkan ketaatan kepada Allah berdasarkan (panduan) cahaya (petunjuk) Allah karena mengharap pahala[Nya] Allah, dan engkau meninggalkan apa yang dilarang Allah berdasarkan cahaya Allah karena takut kepada adzab Allah”.

Jadi makna dan hakikat takwa menurut Thalq bin habib adalah mentaati perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya berdasarkan cahaya (petunjuk) Allah dan dimotifasi oleh apa yang dijanjikan oleh Allah berupa pahala dan siksa. Artinya dalam melakukan ketaatan dan meninggalkan maksiat harus didorong oleh semangat meraih pahala Allah dan menghindari adzab-Nya serta harus berdasarkan ilmu.

furqon2

Pertama, Furqan
Allah Ta’ala menjanjikan furqan kepada orang-orang bertakwa. Allah berfirman, “Jika kalian bertakwa kepada Allah, Dia akan berikan furqan kepada kalian”. Furqan mengandung beberapa makna. Ada beberapa makna furqan yang dikemukakan para Mufassir, mulai dari Mufassir kalangan Sahabat seperti Ibnu Abbas, Tabi’in, Atbaut Tabi’in, para ulama salaf lainnya seperti Ibnu Katsir sampai Ulama kontemporer seperti Syekh ad Sa’diy, Buya Hamka dan Wahbah Az Zuhaili.

Berdasarkan penelusuran penulis ada sepuluh makna Furqan yang disebutkan para Mufassir, yakni (1) Makhraj (jalan keluar). Menurut Imam Mujahid maksudnya jalan keluar di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut Asy Syaukani jalan keluar dari fitnah syubhat. (2) Najah (Keselamatan), menurut Asy Syaukani selanat dari yang ditakuti. (3) Nashr (pertolongan), (4) Fashl bainal haqq wal batil (Pemilah antara Haq dan batil), (5) Cahaya, (6) Ilmu nafi’, (7) Tsabatul Qulub (keteguhan hati) (8) Quwatul bashirah (Kekuatan mata hati), (9) Hidayah (petunjuk), dan (10) Bayan[an] (penjelasan).

Dari kesepuluh makna di atas yang paling masyhur di kalangan Mufassir adalah makna yang keempat yang merupakan pendapat Muhammad bin Ishaq rahimahullah, sebagaimana dikuatkan oleh Imam Ibnu Katsir, Syekh As Sa’diy, Buya Hamka dan yang lainnya. Menurut Ibn Katsir makna furqan sebagai pemilah antara haq dan batil lebih umum dari makna yang lainnya sekaligus mencakup seluruh makna tersebut. Karena, “Siapa yang bertakwa kepada Allah dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka ia akan diberi taufiq untuk mengenali yang haq dan batil, sehingga hal tersebut menjadi sebab ia memperoleh pertolongan dan keselamatan, serta jalan keluar dari berbagai urusan dunia dan (menjadi sebab) kebahagiaanya pada hari kiamat dan penghapusan kesalahan-kesalahannya,”. (Tafsir Ibn Katsir, 2/1227).

Semakna dengan Ibn Katsir, Syekh Abdurrahman bin Nashir As sa’di mengatakan tentang makna furqan, “Ia adalah ilmu dan petunjuk yang dengannya pemiliknya mampu membedakan antara hidayah dengan kesesatan, haq dengan batil, halal dengan haram, serta antara orang bahagia dengan yang sengsara”. (Taisir KarimirRahman fi Tafsir Kalamil Mannan, hlm.319).

Senada dengan Ibn Katsir dan Syekh As Sa’diy, Mufassir Nusantara Buya Hamka juga menafsirkan kata furqan dalam ayat ini dengan “kesanggupan membedakan mana yang buruk denngan yang baik, yang mudharat dengan yang manfaat, yang hak dengan yang batil”. (Tafsir Al Azhar, 9/297). Menariknya Buya mengaitkan furqan yang merupakan buah dari takwa dengan iman. “Sebab itu al Furqan adalah buah dari takwa, dan takwa dalah akibat dari iman”, jelasnya. “Bertambah iman, bertambahlah tinggi takwa, maka bertambah halus pulalah kekuatan Al Furqan dalam jiwa kita”, lanjutnya.

Kedua & Ketiga, Penghapusan Keburukan dan Pengampunan
“Dan Dia akan hapuskan keburukan-keburukan kalian dan mengampuni kalian”. Inilah balasan kedua dan ketiga bagi orang bertakwa dalam ayat ini. Takfir as Sayyiat (penghapusan keburukan) dan maghfirah (ampunan). Kedua kata ini memiliki makna yang hampir sama. Bahkan dapat saling mewakili. Artinya jika dikatakan takfir as sayyiat maka yang dimaksud adalah penghapusan kesalahan dan pengampunan dosa. Demikian pula sebaliknya, jika dikatakan maghfirah maka yang dimaksud pengampuan dosa dan penghapusa kesalahan. Tetapi, jika disebutkan secara bersamaan, maka yang dimaksud dengan takfiussayyiat adalah penghapusan dosa-dosa kecil. Sedangkan maghfiratudz Dzunub maksudnya pengampunan dosa besar.

Dalam kitab Zahratut Tafasir disebutkan bahwa makna takfirussayyiat dalam ayat “yukaffir ‘ankum sayyiatikum” adalah menghilangkan bekas-bekas dosa atau keburukan dalam jiwa. Sebab pada dasarnya maksiat dan keburukan yang dilakukan seseorang mengotori hati dan jiwanya. Jika seorang hamba melakukan dosa, maka ternoktah satu noktah hitam di hatinya. Noktah hitam tersebut terus bertambah sering dengan berulang dan bertambahnya keburukan dan dosa yang dilakukan. Jika ia bertakwa dengan melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan (bertaubat) maka noktah hitam itu terhapus hingga hati menjadi bersih dan bening seperti cermin yang bersih tanpa debu yang melengket padanya.

Setelah penyucian jiwa dari keburukan-keburukan maka yang datang adalah ghufran (ampunan) dan pe[nutup]an dosa, sehingga rahmat Allah yang diperoleh lebih luas. Oleh karena itu Allah menutup ayat ini dengan wallahu dzul fadhlil ‘adzim, karena semua itu merupakan karunia Allah. (Zahratut Tafasir, juz 6, hlm. 3110).

Pengampunan dosa dan penghapusan keburukan sebagai buah dan balasan dari takwa juga diterangkan dalam ayat lain seperti Surah Al-Hadid ayat 28 dan Ath-Thalaq ayat 5.

“Hai orang-orang beriman bertakwalah kepada Allah dan berimanlah pada Rasul-Nya, niscaya Dia akan memberi kalian dua bagian dari Rahmat-Nya, dan memberi kalian cahaya yang kalian berjalan dengannya, dan mengampuni kalian”. (terj.Qs. Al-Hadid:28). Menurut Ibn Katsir surah al Anfal ayat 29 semakna dengan ayat ini.
Dalam surah ath Thalaq ayat 5 Allah Ta’ala menjanjikan, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan hapuskan keburukan-keburukannya”. (terj. Qs. Ath Thalaq:5). Ayat ini menunjukan banyak dan agungnya faedah takwa kepada Allah (Al-Mukhtasar fit Tafsir, hlm. 558).

Keempat, Karunia yang Besar
Ketiga hal yang disebut di atas (furqan, penghapusan keburukan, dan pengampunan dosa) merupakan karunia besar dari Allah. “Dan Allah pemilik karunia yang agung”, menunjukan bahwa karunia Allah lebih luas dan lebih agung ditinjau dari beberapa sisi;

Pertama, Semua yang selain Allah, tidak berkenaan memberi karunia dan kebaikan kecuali bila di dalam hatinya muncul dorongan berbuat baik. Sementara dorongan tersebut tidak muncul melainkan digerakkan dan diciptakan oleh Allah. Sehingga sebenarnya pemberi karunia dan kebaikan adalah Allah yang mendorong dan menggerakan seseorang berbuat baik.

Kedua, Setiap pemmberi kebaikan pada orang lain mengambil manfaat dari kebaikan tersebut baik berupa kompensasi harta, atau pujian, dan sanjungan. Aadapun Allah memberi dan mengaruniai tanpa meminta balasan sedikipun karena Dia adalah Dzat yang maha kaya dan maha sempurna,

Ketiga, setiap pemberi karunia atau kebaikan kepada orang lain, maka yang diberi menjadi objek yang selalu disebut-sebut (diungkit-ungkit) oleh sipemberi, adapun Allah Ta’ala, Dia maha kaya lagi terpuji tidak ada yang merasa terungki[ti] atas karunia-Nya.

Keempat, Setiap karunia orang yang memperolehnya tidak dapat memanfaatkan karunia tersebut melainkan jika ia melihat atau mendengar langsung atau merasakan secara langsung manfaat karunia tersebut. Dari sini nampak bahwa pemberi karunia yang hakiki adalah Allah, dari sini pula nampak kebenaran firman-Nya, “Wallahu dzul fadhlil ‘adzim”. (Jakarta, 19/1/1438 H).
*Tulisan ini sebelumnya dimuat di Majalah Sedekah Plus edisi Shafar/November

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

Kolaborasi WIZ dan ASBISINDO: 139 Anak Yatim dan Dhuafa Dapat Santunan Serta THR

MAKASSAR, wahdah.or.id - LAZNAS WIZ bersama Perkumpulan Bank Syariah...

Pekan Terakhir Ramadan, 750 Paket Iftar Didistribusikan WIZ dan KITA Palestina ke Jalur Gaza

GAZA, wahdah.or.id - Kehidupan masyarakat di Gaza Palestina saat...

Pondok Pesantren Abu Bakar Ash-Shiddiq: Wadah Baru untuk Pendidikan dan Dakwah Islam di Kawasan Bontobahari Bulukumba

BULUKUMBA, wahdah.or.id - Proses pembangunan Pondok Pesantren Abu Bakar...

Mitra Wahdah di Gaza: Terima Kasih Wahdah, Terima Kasih Indonesia

MAKASSAR, wahdah.or.id - Wahdah Islamiyah dan Komite Solidaritas (KITA)...