Iman dan Cinta Rasul
Mencintai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan bagian dari iman. Bahkan termasuk prasyarat meraih kesempurnaan iman. Artinya tidak akan sempurna keimanan seseorang hingga ia menempatkan cinta Rasul sebagai cinta tertinggi. Takkan sempurna Iman seorang hamba sebelum menjadikan Rasul sebagai sosok yang paling ia cintai melebih kecintaan pada segala sesuatu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tegaskan hal ini melalui sabdanya;
والذي نفسي بيده لايؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من نفسه وماله وولده والناس أجمعين”. [البخاري[
“Demi Dzat yang jiwaku berada di Tanga-Nya, tidak beriman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya melibihi (cintanya) pada diri, harta, dan anaknya, serta seluruh manusia” (HR. Bukhari).
Hadits di atas menunjukan bahwa bukti iman adalah mencintai nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mebilihi kecintan terhadap diri, harta, anak serta apa dan siapapun dari kalangan manusia. Orang beriman yang sejati selalu menempatkan cinta kepada Rasul pada posisi cinta tertinggi. Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebut cinta kepada Rasul sebagai kewajiban yang harus ditunaikan setiap Muslim terhadap Rasul. Sebab hal itu merupakan hak beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana ditunjukan oleh firman Allah Ta’ala dalam surah At-Taubah ayat 24;
﴿ قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لًا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ ﴾ (سورة التوبة، الآية 24).
Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS: At-Taubah Ayat: 24)
“Ayat yang mulia ini merupakan dalil paling agung yang menunjukan wajibnya mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendahulukan kecintaan pada keduanya atas segala sesuatu”, demikian dikatakan Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam kitab Tafsirnya Taisir Karimirrahman fi Tafsir Kalamil Mannan (hlm.332).
Selain itu, menurut Syekh As Sa’di, “Ayat ini juga menunjukkan ancaman keras (wa’id syadid) dan celaan yang keras terhadap orang yang lebih mencintai hal-hal yang disebutkan dalam ayat tersebut (ayah, anak, saudara, istri-suami, harta kekayaan, aset bisnis, rumah) dari Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya”. (hlm.332).
Perkatan Syekh As-Sa’di di atas senada dengan pendapat ahli Tafsir lainnya karena tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama tentang maksud ayat tersebut. “Dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan wajibnya mencintai Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama dalam masalah ini. Dan yang demikian itu harus lebih didahulukan di atas segala sesuatu yang dicintai”, jelas Imam Al-Qurthubi.
Bahkan takkan pernah sempurna iman seorang hamba selama ia masih lebih mencintai dirinya, anak, dan orang tuanya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Amirul Mu’minin Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; Wahai Rasulullah; sungguh, engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu, kecuali diriku (artinya Umar masih lebih mencintai dirinya dari Nabi. Tapi beliau masih lebih mencintai Nabi dari orang lain). “Tidak”, kata Rasul. “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya (demi Allah), (anda tidak beriman) hingga aku lebih kau kamu cintai dari dirimu”, lanjut Rasul. “Sekarang engkau sungguh lebih aku cintai dari diriku”, kata Umar. Nabi mengatakan, “Sekarang (telah benar cintamu padaku) wahai Umar”.
Kecintaan pada Rasul akan menjadi sebab berkumpul bersama beliau di surga kelak. Karena setiap orang akan dikumpulkan bersama yang dicintainya. Seorang pria datang kepada Nabi bertanya tentang ‘kapan’ kiamat. Tapi Rasulullah balik bertanya kepada pria itu. “Apa yang anda siapkan untuknya?” “Tidak ada apa-apa, kecuali cintaku kepada Allah dan Rasul-Nya”, jawab pria itu. “anda akan bersama dengan yang anda cintai”, janji Rasul.
Ini merupakan keutamaan yang agung. Kita dapat dikumpulkan bersama Nabi di surga meski tidak mampu beramal seperti beliau. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan, beliau sangat bahagia dan senang mendengar, “setiap orang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya”. “saya tidak dapat beramal seperti Rasulullah, Abu Bakar dan Umar”, aku Anas.”Tapi dengan cintaku pada mereka, aku berharap dapat dikumpulkan bersama mereka di surga nanti”, harapnya. Hal yang sama diungkapkan pula oleh Imam Syafi’i rahimahullah. Beliau mengatakan;
Aku mencintai para shalihin, meski aku tidak termasuk (bagian) dari mereka
Semoga dengan cintaku pada mereka, aku peroleh syafa’at
Jika manusia sealim dan se-shaleh Anas bin Malik dan Imam Syafi’i masih berharap syafa’at melaui cinta pada orang Shaleh, maka orang sekelas kita lebih butuh lagi. Oleh karena itu, mari tumbuhsuburkan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabanya serta orang-orang shaleh lainnya.
Lalu dengan Apa dan Bagaimana Membuktikan Cinta Kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Diantaranya;
Pertama; Membenarkan (tashdiq) berita dan informasi yang Nabi kabarkan.
Kedua, Mentaati perintahnya,
Ketiga, Meniggalkan larangannya,
Keempat, Tidak beribadah kepada Allah melainkan dengan mengikuti syariat dan sunnahnya.
Keempat poin tersebut tercakup dalam Ittiba’ (mengikuti) dan iqtida (meneladani) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Ditulis kembali dari tulisan yang pernah dipublish di: http://wahdah.or.id/kewajiban-mencintai-rasulullah-shallalahu-aaihi-wa-sallam, pada tanggal 9/1/2015. /)