Pertama kali versi cetak buku itu dihadiahkan Syekh Samir Said kepada saya, dia mengingatkan, “Buku ini tipis, tapi muatannya menyimpulkan hampir semua aspek penting tentang isu Palestina.” Wah, ini bukan rekomendasi dari orang biasa. Syekh Samir aktivis kemanusiaan Palestina yang sudah lama malang melintang di bidangnya, bahkan menjadi instruktur training-training kePalestinaan. Sepintas buku yang berjudul Haqquna fii Filasthiin (Hak Kita di Palestina) ini memang tergolong tipis. Hanya terdiri dari 144 halaman. Itu sudah termasuk daftar 68 sumber referensi plus biografi singkat penulis. Ukuran buku juga kecil karena menggunakan kertas A5.

Sebenarnya saya sudah baca buku itu sebelumnya. Dapat gratis versi pdf dari internet. Entah siapa yang dulu mengenalkan buku itu. Hanya saja versi pdf itu mengaburkan ke saya tentang dimensi bukunya. Wajar, sebab di layar screen semua buku ukurannya sama. Seluas layar screen gadget masing-masing. Namun saya tetap menerima versi cetak itu dengan sangat suka cita. Maklum, saya termasuk generasi “kolonial” yang diam-diam masih menyimpan rindu terhadap bau khas kertas buku cetak.

Penulis buku Haqquna fii Filasthiin ini memang tokoh dunia dan aktivis perdamaian terkemuka di Kota Suci Baitul Maqdis atau Al Quds dan Palestina. Dia adalah Syekh Dr. Ikrimah Said Shabri, mantan Grand Mufti of Jerusalem and Palestine dan saat ini imam dan khatib Masjidil Aqsa. Kebetulan juga dia putra dari imam dan khatib Masjidil Aqsa sebelumnya, Syekh Said Shabri. Amanah imam shalat dan khatib Jumat itu jatuh ke tangannya bukan karena warisan. Dia lulus setelah ikut bersaing bersama putra-putra terbaik Baitul Maqdis lainnya.

Pengalaman serta keilmuan penulis pasti berkontribusi besar pada bobot buku ini. Mungkin karena alasan itu sehingga dua lembaga ilmiah dari dua kota bersejarah bekerja sama menerbitkan buku ini. Yayasan Mimbarul Aqsa al-Dauliyah yang berbasis di Istanbul dan Hay’ah Islamiyah ‘Ulya (Komisi Tinggi Islam) di Baitul Maqdis.

Pada bagian depan buku, ada kata pengantar dan taqrizh. Kata pengantar dari penulis sendiri, Dr. Ikrimah. Di situ dia menjelaskan bahwa cetakan 2020 ini sebenarnya merupakan cetakan buku yang ketujuh. Pertama kali buku ini dicetak pada tahun 1978. Nah, naskah yang telah direvisi ini eksklusif diberikan kepada Yayasan Mimbarul Aqsa ad-Dauliyah sebagai bentuk apresiasi atas kiprah yayasan ini untuk kemanusiaan. Sedangkan taqrizh diberikan oleh Prof. Mehmed Gormez, President of Institute of Islamic Thought dan pernah menjabat sebagai Head of Turkish Religious Affairs hingga tahun 2017.

Sebagai buku yang padat, banyak wisdom yang dimuat buku ini. Saya hanya menggaris bawahi dua poin.  Pertama, klaim bahwa Palestina merupakan tanah tak bertuan, setidaknya sebelum era imperialisme Eropa dan jelas eksodus Yahudi. Buku populis 21 Lessons for the 21th Century merekam anggapan luas itu sebagai berikut. “In the early twentieth century a favourite Zionist slogan spoke of the return of ‘a people without a land [the Jews] to a land without a people [Palestine].’ The existence of the local Arab population was conveniently ignored. In 1969 Israeli prime minister Golda Meir famously said that there is no Palestinian people and never was. Such views are very common in Israel even today, despite decades of armed conflicts against something that doesn’t exist.”

Dari keterangan itu, ternyata bahwa klaim Palestina sebagai a land without a people (tanah tak bertuan) telah dan terus direproduksi di kalangan pendudukan illegal hingga hari ini. Situasi miris yang tentu akan semakin menambah jarak terhadap cita-cita perdamaian di kawasan.

Terkait hal ini, Dr. Ikrimah mencatat bahwa suku Yabus merupakan suku yang pertama mendiami sekaligus mendirikan kota Al Quds. Sejarah ini terjadi sebelum tahun 7500 SM. Suku Yabus merupakan cabang dari Kan’an di Jazirah Arab. Perpindahan dan perjalanan suku-suku Jazirah ke kawasan Syam merupakan hal yang sangat biasa terjadi di zaman itu. Suku Yabus inilah yang kemudian menetap di Palestina dan menjadi bagian tak terpisahkan dari Palestina sepanjang sejarah.

“Sepanjang sejarahnya, negeri ini dilalui oleh banyak bangsa dan suku. Hanya saja, suku Yabus bertahan tinggal dan tidak pernah meninggalkan Palestina. Kelak, bersama suku Yabus yang mukim di Palestina adalah suku-suku Arab Kan’an yang lain. Mereka inilah yang terlibat banyak perang melawan bangsa atau negara yang coba menganeksasi negeri ini. Namun suku-suku Arab ini pantang menyerah. Mereka memang pernah kalah, tapi mereka tidak pernah tunduk pada kekuatan penjajah. Pharaoh, Yahudi, Assyrian, Babylon, Byzantium, dan Romawi adalah bangsa-bangsa yang tercatat pernah menyerang atau menjajah negeri ini. Hingga terjadi alfathul ‘umari (pembebasan oleh Khalifah Umar bin Khattab) tahun 15 H./636 M. . . . yang disambut oleh penduduk asli Palestina yang nota bene anak cucu Kan’an.”

Jadi, Palestina dalam catatan sejarah tidak pernah menjadi tanah tak bertuan, sejak pertama kali jadi tempat tinggal suku Yabus dan Kan’an. Palestina memang pernah melewati periode kolonialisme, tapi itu tidak pernah membuat atau berhasil menjadikan penduduk asli meninggalkan negerinya. Estafet kaum beriman tauhid terhadap Baitul Maqdis yang dilanjutkan oleh Khilafah Islam sejak Umar bin Khattab hanya mengafirmasi identitas Islam dan Arab terhadap Alquds dan Palestina.

Kedua, isu adanya Haikal Sulaiman terpendam milik Yahudi yang lokasinya adalah Masjidil Aqsa saat ini. Di buku ini, Dr. Ikrimah meluruskan isu itu dan mengingatkannya sebagai khurafat belaka. Tidak ada keterangan sejarah otentik yang menyebut tentang lokasi Haikal Sulaiman. Yang ada justru kontroversi tentang tempat Haikal, yang sejatinya tidak sedikit pun menyinggung lokasi Masjidil Aqsa sama sekali. Ikrimah selanjutnya mengutip, antara lain, kajian Israel Finkelstein, arkeolog dari Tel Aviv University. Ilmuan Israel ini menyimpulkan bahwa Yahudi tidak punya kaitan sama sekali dengan Baitul Maqdis serta tidak ada bukti sejarah atau arkeologi yang menjelaskan eksistensi Haikal Sulaiman.

Dari sisi lain, Ikrimah menambahkan, prinsip ajaran Islam melarang mengganggu rumah ibadah penganut agama lain. Baik dalam kondisi perang apalagi dalam kondisi damai. Dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam shalat di Masjidil Aqsa. Maka, tidak mungkin Nabi shalat di rumah ibadah ummat agama lain yang pasti berakibat menggangu mereka. Andai di lokasi Masjidil Aqsa terdapat rumah ibadah penganut Yahudi, Nabi mustahil melakukan ibadah di sana.

Penerapan prinsip damai yang melindungi rumah ibadah agama lain itu lanjut dipraktekkan di masa Khulafa Rasyidun. Termasuk ketika Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu membebaskan Alaqsa dan Baitul Maqdis. Dia biarkan gereja-geraja Nasrani apa adanya sehingga terjaga kelestariannya hingga hari ini. Andai penganut agama Yahudi punya rumah ibadah di Baitul Maqdis saat itu, tentu Umar sendiri yang akan memberikan jaminan keamanan baginya. Termasuk dalam hal ini Haikal Sulaiman, jika benar-benar ada.

Membaca buku ini seperti mereview banyak daurah, diskursus serta peristiwa. Krisis perdamaian di Palestina mungkin memang memaksa ulama dan aktivis di sana untuk tidak banyak membuang waktu dalam narasi yang bukan priorotas. Kondisi yang menambah bobot hidup dan mejadikannya berkah, seperti juga yang telah Al-Qur’an isyaratkan lima belas abad silam.

Wallahu a’la wa a’lam…

 

Oleh: Ust. Ilham Jaya R

(Kandidat Doktor Almadinah International University Malaysia, Ketua DPW WI DKI Jakarta & Depok, dan Direktur Basaer Asia Publishing)

Artikulli paraprakPahala Mengumrahkan Kedua Orang Tua, Sanak Saudara Ataupun Orang Lain
Artikulli tjetërInnalillah, Sesepuh Wahdah Islamiyah KH. Mansur Salim Berpulang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini