Aku dan Wahdah Islamiyah

(I’m an Actor, Yesterday… and Forever After)

Cuplikan naskah peserta lomba menulis Wahdah Islamiyah 2016 

Oleh : Abu Yazid

Tarbiyah malam itu berlangsung hingga cukup larut. Tema diskusi yang menarik, penyampaian murabbi yang mengena serta suasana yang hangat antara peserta tarbiyah menjadikan waktu terasa cepat berlalu. Pembahasan malam itu adalah problematika umat, dimulai dari mengisahkan kondisi para salaful ummah hingga kondisi umat Islam saat ini. Betapa umat Islam saat ini sangat jauh dari kondisi ideal, baik secara personal maupun kemasyarakatan, juga dalam hal ibadah maupun mu’amalah. Satu demi satu permasalahan dan solusi dikupas bersama, yang kemudian melahirkan visi dan misi dakwah yang harus segera ditunaikan dalam rangka membangun umat yang ideal. Tugas dakwah yang besar ini harus dijalankan bersama secara beriringan dalam sebuah ikatan yang kuat. Amanah manusia sebagai khalifah di muka bumi tidak bisa disia-siakan dengan tidak mengambil peran dalam dakwah ini. Jika tubuh tak lelah, tentu seluruh malam itu berlalu dalam keindahan taman surga,  melepas dahaga ruhani yang kian waktu kian haus akan tetes demi tetes ilmu.

Imam Ahmad bin hambal mengatakan : “Manusia sangat membutuhkan ilmu, melebihi kebutuhannya terhadap roti dan air. Karena ilmu dibutuhkan oleh manusia setiap saat. Sedangkan roti dan air dibutuhkan manusia sekali atau dua kali dalam sehari.” {Al-Adabusy Syari’yah, II : 111}

Benarlah apa yg telah dikatakan imam ahmad. Iman, ibadah dan amal soleh sangat kita butuhkan di setiap hembusan nafas kita, karena ia merupakan hakikat diciptakannya manusia. Maka makanan ruhani untuk meningkatkannya jauh lebih dibutuhkan daripada makanan bagi jasad. Terutama di zaman ini, dimana iman sangat mudah terkikis bahkan tergerus oleh badai fitnah dunia yang sangat besar dan tak henti-hentinya menjerumuskan manusia kepada kehinaan dan memalingkannya dari jalan Allah. Duduk bersama para penuntut ilmu menjadi hal yang sangat mendesak sekaligus berat dilakukan, lebih-lebih mampu istiqomah diatasnya. Halaqah tarbiyah merupakan salah satu sarana untuk dapat berdiri tegap di tengah gempuran fitnah. Al-Qur’an, Hadits serta materi keislaman hingga permasalahan umat, semua dibahas secara berkesinambungan dalam sebuah kurikulum yang sistematis serta sesuai dengan kebutuhan umat Islam.

Rasa syukur tak henti-hentinya mengalir dalam hati seorang pemuda bernama Tsabit (nama samaran) atas hidayah yang telah Allah anugerahkan. Teman-teman yang soleh dan amanah dakwah merupakan karunia besar Allah baginya, sebagai sarana istiqomah diatas iman dan amal soleh. Tidak semua manusia mendapatkannya, mungkin hanya sedikit dibandingkan manusia yang gelap hatinya akan fitnah dunia. Rasanya belum lama Tsabit hijrah di jalan dakwah, bahkan mungkin dulu tak terfikir dalam benaknya bahwa kelak… hatinya akan tertawan pada sebuah jalan indah bernama dakwah. Demikianlah Allah maha membolak-balikkan hati, Allah pancarkan sinar hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki.

Kisah ini bermula ketika beberapa tahun yang lalu, saat Tsabit masih berada di “dunia lain”, bukan alam ghaib lho… namun berada dalam komunitas lain yang bukan merupakan komunitas dakwah. Alih-alih dakwah, yang melaksanakan shalat saja sulit ditemui bak mutiara di tengah lumpur lapindo… lebay ah, but it’s real. Tsabit termasuk yang termuda diantara “teman-teman duduk” yang rata-rata mahasiswa semester pertengahan hingga mahasiswa semester akhir, yang entah sudah berapa tahun nama mereka masih terdaftar sebagai mahasiswa, hehe… karena memang saat itu masih banyak ditemukan mahasiswa dengan jumlah semester yang mereka sendiri lupa angkanya. Saat itu kurang lebih Tsabit masih kelas 2 atau 3 aliyah di sebuah pondok pesantren, yaah… walaupun kegiatan sehari-hari Tsabit jauh dari yang disebut dengan santri (kata orang-orang sih… namanya juga remaja yang mencari jati diri, ehem). Pada usia tersebut yang kira-kira 17-18 tahun, teman2 yang Tsabit anggap senior justru menjuluki Tsabit yang masih belia dengan “Seniman Masa Depan”, hihihi… hingga tertulis kisah ini, julukan itu selalu membuat bibirnya tak bisa menahan tawa kecil atau sekedar tersenyum.

Panggung seni, itulah dunia Tsabit saat itu, bagaimana dengan teman-teman duduk Tsabit? Para seniman tentunya. Di usia tersebut Tsabit sudah menjadi pengajar seni teater, kadang jadi aktor bahkan sutradara baik pada pementasan kecil hingga pementasan besar. Hemmm… sering juga bermain pantomim di panggung atau di jalanan yang kalau diingat bagaimana wajah Tsabit dulu ketika bermain, membuat kepalanya sendiri spontan bergeleng sambil mentertawakan diri sendiri dalam hati. Tidak hanya dalam bidang teater, kemampuan bermusik Tsabit juga cukup diperhitungkan, Berada pada posisi pemain gitar dan vokal, Tsabit memimpin sebuah band bersama teman-temannya, terkadang bersama teman-teman diluar bandnya bermain musik traditional sebagai wujud cinta tanah airnya. Dentuman musik Metallica dan Dream Theater menjadi konsumsinya sehari-hari sebagai grup band yang paling ia gandrungi, terkadang ia putar musik instrumental ketika mencari inspirasi atau sekedar relaksasi, sangat jauh jarak antara hatinya dengan Al-Qur’an. Demikianlah musik dan Al-Qur’an dalam hati seorang muslim, bagai air dan minyak yang tak akan pernah menyatu secara harmoni, selalu ada yang dikalahkan antara keduanya. Tsabit juga hobi menulis puisi dengan tema-tema sosial bak WS.Rendra, dan tentunya juga sangat senang menulis naskah drama karena latar belakang teaternya. Memiliki kemampuan teater, musik, sastra dan kadang menggambar membuat Tsabit dijuluki “seniman masa depan” karena memiliki skill yang cukup lengkap dalam berkesenian di usia yang relatif muda, namun seni teater tetap menjadi yang paling dominan dan menonjol. Pondok pesantren yang terletak di tengah perkotaan tidak bisa membelenggu kebebasan Tsabit, Ia selalu berhasil keluar malam untuk berkesenian di “dunia luar”, bagaimana caranya? rahasia dong, hehe… bukan untuk ditiru. Hampir setiap malam Tsabit berproses kesenian bersama para seniman muda atau yang sudah senior di beberapa kampus, jelas salah satunya kampus jurusan seni yang ternama di Yogyakarta, yang pernah juga Tsabit menjadi aktor maupun sutradara di panggung teater kampus tersebut. Daaan… dia sendiri hingga saat ini nggak percaya, kalau saat itu untuk berkesenian, Tsabit bela-belain mengayuh sepeda onthel kesayangannya berkilo-kilo meter. Padahal mendatangi kajian yang dekat dan saat ini sudah ada motor saja sering banyak alasan, Allahumma Ihdinasshiroothol Mustaqim… Entah semangat yang bagaimana yang ia miliki saat itu sehingga lelah kaki dan tubuhnya tak terasa. Kondisi tersebut terus berlanjut hingga Tsabit lulus Aliyah dan memasuki bangku kuliah. Di bangku kuliah, Tsabit langsung menonjol di komunitas teater kampus dimana ia kuliah. Demikianlah kondisi Tsabit, hingga suatu hari Allah memiliki kehendak lain.

Setelah lulus Aliyah dari sebuah pondok pesantren yang ternama, Tsabit dikenal di masyarakat sebagai “jebolan pesantren” yang artinya memiliki ilmu agama melebihi masyarakat secara umum. Amanah-amanah dakwah yang ia sendiri tak pernah memikirkannya seperti mengantri di depan matanya. Dimulai dari mengajar TPA, yang… hemm okelah masih terasa mudah dilakukannya. Sepulang kuliah, Tsabit mengajar TPA diteruskan dengan berkesenian di malam hari. Sebuah kondisi yang sedikit demi sedikit mengenalkan Tsabit dengan orang-orang yang berjuang di jalan dakwah. Interaksinya dengan pengurus masjid dan aktifis remaja masjid sedikit demi sedikit membuka hatinya dan menyadarkannya akan posisinya sebagai “jebolan pesantren” yang  seharusnya memiliki nilai lebih dalam dakwah di tengah masyarakat. Mulailah kondisi hatinya bergejolak tentang apa yang telah ia lalui selama ini. Tsabit mulai berfikir, apa yang sebenarnya ia cari selama ini dengan seluruh pengorbanan yang telah dilakukan?. Hingga saat itu berlangsung, Tsabit masih berkesenian baik teater maupun bermusik, namun apa yang ia lakukan mulai terasa hampa. Tidak seperti kondisi sebelumnya yang jiwanya menyatu dengan kesenian, ruhnya terasa menjadi lebih hidup ketika berada diatas panggung atau memegang alat musik di tangannya, relung hatinya dipenuhi cinta terhadap seni. Namun sekali lagi, demikianlah Allah berkehendak, sedikit demi sedikit Allah isi hatinya dengan cinta-Nya. Barangkali… Sang Ibunda yang berdoa dengan penuh kesabaran, menjadi salah satu penyebab utama kebaikan yang Allah kehendaki atas diri Tsabit. Sedikit tambahan, Tsabit adalah anak yatim yang Allah panggil ayahnya ketika Tsabit duduk di kelas 3 tsanawiyah, tepatnya di hari pertama ujian akhir sekolah. Sebuah kondisi yang sangat berat baginya, disaat pikirannya terfokus pada kelulusan tsanawiyah, saat itu pula goncangan besar menerpa dirinya. Ayah yang selama hidupnya menyayanginya, telah Allah panggil untuk selama-lamanya. Kesabaran dan ketabahan ibunda, menjadikan Tsabit tidak terlarut dalam kesedihannya yang mendalam. Sejak itulah sang ibu menjadi “single fighter” bagi ketiga anaknya, Tsabit masih memiliki adik yang saat itu masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak.

Kembali lagi pada kisah Tsabit, sejak saat itu sedikit-demi sedikit namun pasti Allah mengubah arah hidupnya, sebagaimana sebuah mobil yang tersesat jauh, kemudian sedikit demi sedikit setir berputar menuju jalan yang benar. Peperangan batin dalam diri Tsabit semakin besar, reputasi yang selama ini dibangun di dunia seni semakin terasa tak berarti baginya. Ibadah yang biasa dilakukan sekedarnya, tiba-tiba berubah menjadi kebutuhan ruhaninya sehari-hari. Hatinya mulai terisi dengan secercah cahaya hidayah, kemudian tergerak lisannya… bergetar bibirnya seraya mengadu kepada Allah.

Duhai… Dzat yang menggenggam hati…

Telah lama rasanya… Dada ini kosong dari asma-Mu…

Lisan ini kering akan dzikir dan lantunan ayat-ayat-Mu…

Kening ini jauh dari bersimpuh sujud merendahkan diri dihadapan-Mu…

Betapa kesombongan ini…. bagai dinding tebal, yang menjadi hijab antara hamba dan Rabbnya…

Yaa Rahman… Yaa Rahiim… Namun cinta-Mu sangatlah dekat

Sentuhannya… bagai embun di pagi hari yang sejuk… Lembut… nan suci…

Yang tanpa disadari… hati telah terselimuti…

Sungguh keindahan ini hanya percikan kecil dari kenikmatan surgawi

Yaa muqallibal quluub… tsabbit qalbi ‘ala diinik

Wahai dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati ini diatas din-Mu

Gandeng tangan ini… Bimbing diri ini diatas jalan menuju surga-Mu

Kondisi hati Tsabit masih sangatlah labil. Kecintaannya terhadap dunia seni terkadang kembali utuh, terkadang berkurang. Cinta untuk sang Rabb… terkadang muncul namun masih sering dilalaikan. Sungguh dahsyat bisikan syaithan bagi hati yang amat lemah imannya. Bahkan, saat itu Tsabit masih menerima peran utama pada sebuah pementasan sebuah drama Jawa-Melayu yang mengisahkan dua sejoli lelaki Jawa dan wanita Melayu yang sedang memadu kasih, namun terpisah oleh samudra dikarenakan sang lelaki bertugas sebagai seorang tentara. Hampir setiap malam Tsabit berlatih untuk drama yang akan dia mainkan. Hal tersebut seakan mengikis kembali iman yang sedikit-demi sedikit terbangun. Sebuah musibah, yang sedikit demi sedikit mengembalikan kecintaan Tsabit terhadap dunia panggung. Namun… Allah berkehendak lain, Allah tidak membiarkan cinta hamba-Nya musnah setelah ia mulai tumbuh dengan indah.

Di suatu pagi yang cerah, disaat mungkin sebagian orang masih tertidur, dan sebagian lagi sibuk mempersiapkan dirinya untuk beraktifitas. Tsabit sedang bersantai dan merebahkan dirinya di atas kasur lipat yang digelarnya diatas lantai, sambil membuka satu persatu pesan singkat yang menumpuk di handphone kecilnya. Tiba-tiba…tubuhnya terasa bergerak, kasur dan lantai yang ia tiduri berguncang. Suara teriakan dan hiruk pikuk kepanikan manusia tiba-tiba memecahkan keheningan pagi, Linduuu…!!! Linduuu…!!! semua orang berlarian berhamburan keluar dari rumah masing-masing dengan berbagai keadaannya. Berkumpul menyaksikan kemahabesaran kekuasaan Allah, sebuah gempa yang cukup besar mengguncang bumi Yogyakarta. Guncangan terasa semakin kencang, terlihat genteng berjatuhan, tembok-tembok retak bahkan berjatuhan. 57 detik gempa berlangsung… hanya 57 detik saja Allah gerakan tanah ini, sudah cukup untuk meluluh lantakkan banyak bangunan megah dan merenggut ribuan jiwa. Tak lama setelah gempa reda, tiba-tiba kepanikan kembali terjadi, Tsunami… tsunami… air sudah dekat…, seketika orang2 kembali berhamburan, ada yang langsung mengendarai kendaraan yang dimiliki sejauh-jauhnya, namun ada juga yang tetap tenang memastikan kebenaran berita tersebut. Benar saja, ternyata berita tsunami tersebut merupakan ulah orang-orang tak bertanggung jawab untuk menimbulkan kekacauan, satu cara bagi orang-orang yang mengambil kesempatan di tengah kepanikan manusia untuk berbuat kejahatan.

Lalu bagaimana dengan Tsabit? Ternyata guncangan yang terjadi di dalam hatinya jauh lebih dahsyat. Ketika semua orang berteriak-teriak “gempa” dan “tsunami”, ada sesuatu yang merasuk ke dalam fikiran Tsabit, yaitu sebuah fase perjalanan manusia bernama “kematian”… ya, sebuah diorama kematian tiba-tiba menguasai alam pikirannya. Sebuah bayangan, yang kemudian menghasilkan sebuah pertanyaan besar, tentang apa yang akan dia persembahkan kepada Allah jika pada saat itu sang Khalik berkehendak mengambil nyawanya di tengah bencana tersebut. Teriakan serta hiruk pikuk manusia tak dihiraukannya bagai angin lalu saja, bayangan-bayangan itu berputar-putar di kepalanya, mengguncang hatinya dan menundukkan jiwanya serendah-rendahnya di hadapan Allah yang maha besar. Kali ini, jalan menuju Allah terlihat lurus didepan mata hatinya, segala macam kecintaan yang melalaikan dari wajah Allah mendadak musnah dari hadapannya.

Rabbanaa… maa khalaqta haadza bathila…

Engkau jadikan musibah ini sebuah anugerah bagi orang yang bersyukur,

Serta mau menggunakan akalnya untuk bertadabbur…

Engkau datangkan musibah dunia…

Agar manusia terselamatkan dari musibah yang menimpa agamanya…

Sungguh cinta-Mu sangatlah luas bagi seluruh alam semesta

Maka alasan apalagi yang membuat hati tidak kembali

Rabbanaa… faghfirlana dzunuubanaa, wa kaffir ‘annaa sayyiaatinaa…

Wa tawaffanaa ma’al abroor

Wahai Rabb…

Ampunilah dosa-dosa kami, hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami…

Dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang berbakti

Rabbanaa… Wa Laa Tukhzina yaumal qiyaamah

Wahai Rabb kami… Dan janganlah engkau hinakan kami pada hari kiamat nanti

Beberapa bulan berlalu setelah Jogja dilanda gempa, sebuah peristiwa yang tidak hanya mengguncang bumi namun juga mengguncang jiwa manusia, Tsabit salah satunya. Sejak peristiwa itu, kondisi Tsabit benar-benar berubah. Tsabit mulai berproses untuk mendedikasikan hidupnya di jalan Allah. Aktifitasnya mulai banyak diisi dengan kegiatan masjid dan pengajian, hingga tidak lama kemudian Allah menganugerahkan amanah baru baginya, sebagai ketua Remaja Masjid. Tsabit tidak lagi melirik kegiatan-kegiatan kesenian yang bertaburan di sekitarnya, mulai dari proses pementasan drama Jawa-Melayu yang ia tinggalkan dengan pengunduran dirinya, hingga menolak beberapa permintaan bergabung di beberapa pementasan. Memang cukup berat, bagaimanapun ia harus menjaga perasaan teman-temannya. Namun ia sangat yakin, Allah-lah yang akan memperbaiki hubungan sesama manusia ketika manusia memperbaiki hubungan dengan Rabbnya. Hari-harinya diisinya dengan berkumpul dengan teman-teman remaja masjid, sedikit demi sedikit terbuka wawasannya mengenai dunia dakwah yang membuatnya bertanya pada diri sendiri, “Hey, Where have you been ? kemana saja kau selama ini??”

 Suatu hari, diajaklah Tsabit ke sebuah pengajian oleh temannya sesama aktifis masjid, sebut saja namanya Amin. Baginya ini sesuatu yang baru, dan entah mengapa keinginannya untuk hadir sangat kuat. Disamping pemateri yang sudah dikenalnya dengan baik, ada semacam daya tarik lain yang membuatnya bersemangat untuk hadir. Pengajian ahad pagi di Masjid Kampus UGM, pengajian tafsir Al-Qur’an yang kemudian melabuhkan dirinya kedalam sebuah barisan dakwah. Penyampaian ustadz yang begitu menarik, santun dan mengena, menjadi kesan tersendiri baginya. Tsabit befikir, “bukankah beliau dulu mengajar di kelasku? Mengapa rasa ini tak ada waktu beliau mengajar di kelas?” Aah… memang Ilmu Allah tidak dapat menembus hati yang tertutupi oleh banyak noda, betapa pentingnya tazkiyatun nafs sebelum menuntut ilmu agama. Sesal yang amat mendalam ia rasakan, karena dahulu ia sering tidur di kelas ketika ustadz menyampaikan pelajaran, dan kini Allah pertemukan kembali pada majlis yang berbeda, serta kondisi hati yang berbeda. Pemateri pengajian pagi itu merupakan salah satu guru yang mengajar ketika Tsabit masih di pesantren, dan kini kembali menjadi guru baginya di pesantren kehidupan.

 Sejak pengajian pagi itu, Tsabit sangat rajin mendatangi hampir setiap jadwal pengajian yang diisi oleh sang ustadz dan beberapa kajian ustadz lain di sekitarnya. Dengan latar belakang almamaternya, tidak sulit bagi Tsabit untuk dekat dengan ustadz, kemudian mengenal dakwah beliau. Sedikit demi sedikit Tsabit belajar lewat kajian demi kajian yang dia hadiri, hingga pada saatnya…Allah kembali mengenalkan sebuah tahapan selanjutnya. Seiring semakin banyaknya interaksi Tsabit dengan sang ustadz dan mengenal beberapa murid-murid beliau, ia kemudian tahu bahwa sang ustadz memiliki sebuah majlis yang disebut halaqah. Oh ya, Bagaimana ya kabar Amin yang pertama kali mengajak Tsabit pengajian? Katanya sih ngaji di tempat lain dan tsabit sudah jarang bertemu dengannya karena “suatu hal”, ah sudahlah…paling tidak lewat beliau Tsabit ditunjukkan sebuah jalan, semoga ikatan iman tetap terus terjaga. Allah kembali memudahkan jalan Tsabit dalam berproses, tak lama kemudian salah satu teman pengajian mengajak Tsabit untuk membentuk sebuah halaqah baru yang akan diisi oleh salah seorang murid “sang ustadz”, kali ini sebut saja nama temannya adalah Ahmad. Tidak membutuhkan waktu lama untuk mengumpulkan orang dan terbentuk satu kelompok halaqah yang waktu itu kurang lebih berisi 14 orang. Dari halaqah ini kemudian Tsabit mengenal istilah “murabbi” dan “mutarabbi”. Pada perkenalan pertama, murabbi mengenalkan bahwa halaqah tersebut dikelola dibawah yayasan Al-Madinah yang merupakan yayasan yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan dan sosial. Tsabit sangat terkesan dengan pembawaan murabbi yang tegas, sangat sesuai dengan kebutuhan Tsabit yang saat itu membutuhkan semacam banyak “cambukan”.

Seiring berjalannya waktu, dinamika halaqah berlangsung secara alamiah, ada yang menghilang tanpa pamit, ada yang mengundurkan diri karena malu jarang menghafal, ada juga peserta baru yang bergabung. Ahmad, sosok yang menjadi penggerak awal halaqah tersebut termasuk yang menghilang tanpa jejak, Allahu Musta’an. Keadaan seperti itu cukup mempengaruhi kondisi hati Tsabit dan teman-temannya, namun dengan izin Allah Tsabit menjadi salah satu yang terjaga istiqomahnya. Ia tidak mau kelemahan temannya menjadi pengaruh dalam hidupnya, Tsabit teringat bahwa sebelumnya dia adalah seorang aktor. Seorang aktor harus memiliki karakter kuat yang melekat dalam dirinya ketika berakting, bukan malah terbawa peran pemain lain sehingga merusak perannya sendiri. Latar belakang tersebut sedikit banyak menjadi motivasi baginya agar ia harus tetap menjaga karakternya, menjaga keistiqomahannya.

Halaqah Tarbiyah telah banyak mengubahnya, integrasi antara Al-Qur’an, Adab dan materi diniyah yang berkesinambungan, dengan izin Allah mampu membentuk karakternya baik dalam menentukan visi dan misi secara personal maupun dalam perannya berdakwah di masyarakat. Waktu terus berjalan, semakin banyak sahabat yang saling menguatkan dalam melangkah bersama di jalan dakwah. Seiring perkembangan dirinya, amanah dakwahpun senantiasa hadir baik secara struktural maupun kultural di masyarakat. Secara struktural, Tsabit mendapatkan amanah sebagai Departemen Dakwah di Yayasan Al-madinah. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 2009, barisan ini bergabung dengan salah satu Organisasi Islam yang sedang berkembang yaitu Wahdah Islamiyah yang memulai perjuangan dakwahnya di Indonesia Timur, tepatnya di Makassar Sulawesi Selatan. DPC Wahdah Islamiyah Yogyakarta, merupakan sebuah rintisan Wahdah Islamiyah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagi Tsabit, ini merupakan babak baru dalam hidupnya, jiwanya bagai terlahir kembali dengan semangat baru. Bersama sahabat seperjuangan, ia menatap masa depan peradaban dengan kobaran keyakinan di dalam dada. Dengan gerakan Dakwah dan Tarbiyahnya, Wahdah Islamiyah diharapkan mampu memperkaya dakwah Islam di Indonesia dalam mewujudkan Indonesia yang bersatu dan damai sebagai implementasi dari karakter Islam yang Rahmatan lil ‘Alamin.

Tsabit, seorang pemuda dengan jalan hidupnya yang cukup berliku, kemudian menambatkan hati pada sebuah jalan cinta. Jalan itu dinamakan dakwah, sebuah jalan yang ditempuh para nabi, sahabat, dan seluruh orang soleh. Perjuangan itu terus berlanjut, siapa saja yang tergerak hati untuk menyambut tongkat estafetnya? Kemudian dengan sekuat tenaga berlari bersama. Tsabit… senantiasa berdoa dan berjuang, serta telah ia tancapkan azzamnya dalam-dalam untuk berjuang di jalan-Nya. Bukan hal yang mudah, sementara fitnah selalu mengintai diantara bayang-bayangnya. Jerat-jerat penyimpangan terkadang mencengkram erat pada pergelangan tangannya. Namun ia selalu mengingat, dialah sendiri yang kelak bertanggung jawab atas semua perbuatan di hadapan Rabbnya. Jika dulu ia adalah aktor diatas panggung hiburan, maka hari ini dan seterusnya ia tetaplah seorang aktor di panggung drama pada setiap episode demi episode kehidupannya. Seorang aktor harus memiliki kekuatan dalam mempertahankan karakternya, yaitu “Karakter Iman”. Dengan mengepal erat tangannya, kuatkan keyakinannya, ia tegaskan sebuah kalimat “I’m an Actor… Yesterday, and forever after”. Berat… namun ia yakin kesabaran ini tidaklah lama… untuk menuju jannah-Nya selamanya.

Artikulli paraprakMusabaqah Menghafal Al Qur’an dan Hadits Tingkat Asia Pasifik Kembali Digelar
Artikulli tjetërHukum Software Bajakan Dalam Islam

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini