Dahulu sebelum Ts’ai lun menemukan kertas pada awal abad ke-2, orang-orang biasa menggunakan kulit binatang, papirus, bambu, pelepah pohon, dan kain sebagai media tulis. Media-media tulis tersebut tentu tidak efektif dan pasti sangat merepotkan para penulis maupun orang yang membawanya.
Kertas Cina baru masuk ke tanah Arab abad ke-8 (abad 3 Hijriyah). Beberapa orang tawanan asal Cina diminta oleh khalifah Bagdad untuk mengajarkan cara pembuatan kertas. Pada akhirnya, sebelum masuk abad ke-9, Samarkand dan Bagdad telah memiliki pabrik kertas.
Sejak tersebarnya kertas di negeri Islam, semakin berkembang pula keilmuan dan peradaban Islam. Di Bagdad abad 10 menjamur toko-toko buku di pinggiran Sungai Tigris. Profesi baru seperti penjual kertas dan penjual buku bermunculan, biasa disebut warraq. Muncul pula penulis-penulis naskah yang siap meng-“copy” naskah yang diminta para pemesan, mereka biasa disebut nassakh. Di istana kekhilafahan, kertas sudah digunakan untuk menulis dokumen-dokumen resmi. Bahkan saking populernya kertas di masa itu, para penjual buah dan sayur di pasar menggunakan kertas untuk membungkus dagangannya.
Adapun Eropa? Eropa baru masih butuh beberapa ratus tahun lagi untuk mengenal kertas.
Ditemukannya kertas sebagai media tulis-menulis, ditunjang menjamurnya pabrik-pabrik kertas memudahkan para ilmuwan muslim menuangkan buah pikir mereka. Para ilmuwan seakan berlomba untuk menulis karya ilmiah dalam lembaran-lembaran kertas. Karya-karya itulah yang mampu mengubah dunia serta menjadikan dunia Islam sebagai pusat peradaban.
Di perpustakaan-perpustakaan kota Baghdad yang jumlahnya puluhan dapat ditemukan dengan mudah berbagai kitab ilmuwan Islam maupun aneka manuskrip kuno dari India, Persia, Yunani, dan Romawi. Khalifah Baghdad tidak tanggung-tanggung menggelontorkan dana yang banyak untuk membayar para penerjemah untuk menerjemahkan manuskrip-manuskrip kuno tersebut.
Buku-buku fiqih karya para imam madzhab tersimpan rapi di perpustakaan. Buku-buku hadits seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, maupun Al-Muwattha’nya Imam Malik bin Anas ada di sana. Al-Qanun fi Ath-Thibb buah tangan Ibnu Sina dalam bidang kedokteran, Al-Manazhir karya Ibnu Al-Haitsam dalam bidang fisika, maupun tulisan Al-Khawarizmi yang fenomenal “Al-Jabar wa Al-Muqabalah” juga bisa dijumpai di perpustakaan-perpustakaan di Baghdad dan lainnya.
Invasi Mongol ke Baghdad
Lebih lima ratus tahun meraih kejayaan, Baghdad sampai pada masa kelemahan. Banyak wilayah yang memisahkan diri dan membentuk pemerintahan independen. Kemerosotan Baghdad mencapai puncaknya pada 1258 (656 Hijriyah). Saat itu pasukan Mongol dipimpin Hulagu Khan menginvasi Baghdad. Mereka mampu menembus gerbang kota Baghdad, memerangi dan membunuh penduduk kota, serta membumihanguskan negeri yang masyhur dengan sebutan 1001 Malam.
Empat puluh hari melakukan pembantaian, sekitar 2 juta penduduk Baghdad terbunuh. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana, membusuk, baunya terbawa angin tercium oleh hidung penduduk Syam. Begitu dahsyatnya pembantaian umat manusia tersebut. Yang selamat mereka yang sembunyi di sumur-sumur, parit, dan selokan. Itupun mereka keluar dari tempat persembunyiannya layaknya mayat hidup. Dalam keadaan lemah, lalu ikut tewas.
Khalifah Al-Musta’shim Billah, khalifah terakhir dari Bani Abbas di Baghdad beserta keluarganya turut jadi korban. Bahkan kematian khalifah sangat mengenaskan. Ia dimasukkan ke dalam karung lalu ditendang dan diinjak-injak oleh Hulagu dan pasukannya sampai mati. Begitulah tradisi mereka membunuh pemimpin suatu kaum.
Berbulan-bulan lamanya Baghdad menjadi kota mati. Rumah-rumah kosong dan masjid-masjid tidak digunakan sebagai tempat shalat. Yang menyedihkan, ratusan ribu bahkan jutaan buku yang mengisi rak-rak perpustakaan di Baghdad dimusnahkan. Sebagian dibakar, sebagian lagi dilempar ke Sungai Tigris kebanggaan penduduk Baghdad.
Dalam hitungan menit sungai menghitam karena tinta dari jutaan buku yang menumpuk. Buku-buku yang telah terkumpul selama ratusan tahun, dari berbagai disiplin ilmu, yang didapat dari berbagai negeri, lenyap seketika bersama arus sungai. Bisa dibayangkan berapa banyak ilmu yang memberi kontribusi besar bagi umat manusia_ lenyap seketika. Itu baru di kota Baghdad, bagaimana dengan negeri-negeri lain yang pernah dimasuki pasukan Mongol? Berapa banyak buku yang mereka musnahkan.
Manuskrip Arab-Islam di Eropa dan Amerika
Memang masih banyak buku di perpustakaan lainnya yang masih tersimpan dan masih dapat terselamatkan. Namun, di masa modern, buku-buku klasik karya ilmuwan Islam tersebut tidak luput dari pencurian oleh penjajah Barat. Tidak mengherankan jika manuskrip-manuskrip Islam banyak kita temukan di berbagai perpustakaan di Eropa dan Amerika.
Prof Dr. Muhammad Isa Ash-Shalihiyah dalam bukunya “Taghrib Turats Al-‘Arabi baina Ad-Diblumasiyah wa At-Tijarah” mencatat bahwa dari 72 ruangan yang berada di Museum Inggris, 30 di antaranya berisi peninggalan Mesir yang dicuri.”
Sementara itu, Surat Kabar Syarq Al-Ausath pada tahun 2004 menyebutkan bahwa ada 15 ribu manuskrip Arab yang berada di Musium Inggris. Harian Al-Wathan (4/4/2005) melansir bahwa ada sekitar10 ribu manuskrip Yaman berada di Perpustakaan Miroziyana Italia dan 3000 manuskrip berada di Perpustakaan Kongres Amerika.
Sedangkan manuskrip berjudul Gharib Al-Hadits yang ditulis Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam pada abad ke-9 -merupakan manuskrip Arab tertua yang pernah ditemukan yang ditulis di atas kertas- tersimpan rapi di rak Perpustakaan Leiden, Belanda. Tentu banyak buah tangan umat Islam lainnya yang ditulis di atas kertas sebelum karya Abu Ubaid ini, tapi mungkin telah musnah.
Penulis: Mahardy Purnama
Bahan bacaan:
- History of The Arabs, Phillip K. Hitti
- Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Raghib As-Sirjani.
- Ensiklopedi Sejarah Islam, Raghib As-Sirjani.
- Khazanah Menelisik Warisan Peradaban Islam dari Apotek Hingga Komputer Analog, Heri Ruslan.
- wordpress.com