Pertanyaan: Alhamdulillahi Rabbil alamin, asshalatu wassalamu ala Rasulillah. Amma ba’du.
Saya berumur 55 tahun. masuk Islam di usia 27 tahun dan menikah di usia 30 tahun. Di usia pernikahan kedua puluh tahun, saya telah mempunyai uang yang cukup untuk saya bepergian sendiri mengunjungi negara-negara bersejarah seperti: Mesir, Turki, Yordania, masjid Aqsha, Eropa Barat dan Timur. Apakah saya harus bersama mahram padahal uangnya hanya cukup untuk membiayai saya sendiri. Dan saya sudah tua, saya perginya bersama travel agen meskipun tidak bersama suami. Bagaimana hukumnya menurut Islam. Terimakasih. (Namaniela di Jakarta)
Jawaban:
✍️ Dijawab oleh: Ust. Zamakhsyari Dhofir, Lc (Anggota Pleno Dewan Syariah Wahdah Islamiyah)
Semoga rahmat dan karunia Allah senantiasa dilimpahkan kepada ibu Niela beserta keluarga, dan senantiasa diberikan keistiqamahan di atas jalan Islam. Amin.
Sebelum menjawab pertanyaan ibu Niela tidak lupa kami memberikan apresiasi setinggi-tingginya atas pertanyaan yang ibu sampaikan, apalagi pertanyaan ini disampaikan sebelum kita melakukan suatu urusan atau perkara yang belum diketahui hukumnya. Allah taala berfirman:
فَسۡـَٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui (Q.S. Al-Anbiya’ ayat 7)
Adapun terkait pertanyaan ibu tentang hukum seorang wanita yang sudah tidak muda lagi melakukan perjalanan jauh (safar) bersama rombongan tanpa suami atau mahram maka akan kami jawab dengan menyebutkan terlebih dahulu beberapa hadis dari Nabi kita Muhammad sallallahu alaihi wasallam yang dijadikan dasar oleh para ulama dalam menjelaskan hukum pada permasalahan ini:
1. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma bahwa Nabi sallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
Artinya: Tidaklah halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhirat untuk musafir sejauh perjalanan tiga malam kecuali bersama mahramnya (H.R. Bukhari dan Muslim).
2. Dari Abu Said Alkhudri radhiyallahu anhu bahwa Nabi sallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ يَوْمَيْنِ مِنَ الدَّهْرِ، إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا، أَوْ زَوْجُهَا
Artinya: Tidak boleh bagi seorang wanita melakukan safar selama dua hari kecuali bersama mahramnya atau suaminya (H.R. Bukhari dan Muslim).
3. Dari Abu Hurairah radiallahu anhu bahwa Nabi sallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ، إِلَّا وَمَعَهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ مِنْهَا
Artinya: Tidaklah halal bagi seorang wanita muslimah untuk musafir sejauh perjalanan satu malam kecuali jika dia bersama mahramnya (H.R. Bukhari dan Muslim).
4. Dari Abdullah bin Abbas radiallahu anhuma beliau berkata, Aku pernah mendengar Nabi sallallahu alaihi wasallam bersabda dalam khutbah beliau:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ، وَلَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ، إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
Artinya: Janganlah sekali-kali seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali jika wanita tersebut sedang bersama mahramnya, dan jangan pula seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahramnya. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Beberapa kesimpulan yang bisa dipetik dari hadis-hadis di atas beserta nukilan dari perkataan para ulama adalah sebagai berikut:
1. Diharamkan bagi seorang wanita melakukan safar tanpa mahram, berapapun jarak perjalanannya jika telah masuk kategori safar.
Imam al-Nawawi rahimahullah berkata, “Seorang wanita dilarang melakukan setiap perjalanan jauh yang masuk kategori safar tanpa didampingi oleh suami atau mahramnya” (Syarah Sahih Muslim 9/103)
2. Diharamkannya wanita melakukan safar tanpa mahram baik dengan tujuan melaksanakan amalan wajib, sunah ataupun mubah. Imam al-Nawawi berkata, “Tidak diperbolahkan (wanita musafir) dengan tujuan melaksanakan amalan sunnah, bisnis, ziarah dan yang semisal dengannya kecuali bersama mahramnya” (Al-Majmu’: 8/249)
3. Larangan ini berlaku umum baik bagi wanita yang masih muda maupun yang sudah tua berdasarkan keumuman hadis-hadis di atas dan tidak ada dalil yang menghususkannya. (Lihat: Al-Musafir wa Maa Yakhtashshu bihi min Ahkam al-‘Ibadat, hal. 191)
4. Para ulama berselisih pendapat tentang hukum seorang wanita yang melakukan perjalanan untuk menunaikan haji wajib (haji pertama) tanpa mahram atau suaminya; sebagian ulama membolehkannya dengan syarat wanita tersebut berada dalam rombongan para wanita yang terpercaya, dan sebagian lagi berpendapat berdasarkan keumuman hadis-hadis di atas yakni diharamkannya seorang wanita melakukan safar secara mutlak tanpa mahram.
Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Nabi sallallahu alaihi wasallam melarang wanita musafir kecuali bersama mahramnya, maka membolehkan hal tersebut tanpa memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh baginda Nabi sallallahu alaihi wasallam berarti menyelisihi ajaran beliau. Jika safarnya wanita tanpa mahram adalah maksiat maka tidak boleh mengharuskan haji kepadanya karena dalam hal ini haji menjadi ketaatan yang mengantarkan kepada maksiat” (Ma’alim as-Sunan, 2/144)
5. Para ulama menyebutkan beberapa pengecualian dalam masalah ini.
Al-Hafizh ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Al-Baghawi berkata: “Para ulama sepakat menyatakan bahwa seorang wanita tidak boleh musafir (selain dalam rangka haji wajib maka diperselisihkan) melainkan harus bersama suami atau mahramnya, terkecuali wanita kafir yang masuk Islam di daerah perang atau tawanan wanita yang berhasil melarikan diri”. Dan sebagian ulama menambahkan: “atau seorang wanita yang terpisah dari rombongannya lalu dia didapatkan oleh seorang lelaki yang baik maka boleh dia bersamanya hingga dia mendapatkan rombongan wanita tersebut” (Fathu al-Bari, 4/76 dan silakan lihat pula kitab: Subul as-Salam, 1/608)
Adapun hikmah di balik larangan ini adalah untuk menjaga kaum wanita baik dari hal-hal yang umumnya mengganggu mereka maupun dari perkara yang tidak terduga yang mungkin bisa saja terjadi dalam sebuah perjalanan jauh. Terlebih lagi Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam memerintahkan orang musafir untuk tidak berlama-lama dalam safarnya dan menyifati safar sebagai bagian dari azab, beliau bersabda:
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ، يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ، فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ، فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِه
Artinya: Safar itu adalah potongan azab, dia menghalangi seseorang dari makanan, minuman dan tidurnya. Maka jika telah selesai dari urusannya hendaknya dia segera kembali kepada keluarganya.(H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini dijadikan dalil oleh para ulama bahwa orang yang musafir hendaknya tidak berlama-lama dalam safarnya, dan disunnahkan untuk segera pulang setelah urusannya selesai.
Maka berdasarkan keterangan singkat di atas kita bisa simpulkan bahwa perjalanan yang ibu tanyakan adalah perjalanan yang tidak diperbolehkan, karena ibu akan melakukan sebuah perjalanan tanpa mahram (meskipun dengan usia yang mungkin tergolong sudah tidak muda serta bersama rombongan yang terpercaya). Yang mana safar seperti ini tidak diperbolehkan berdasarkan hadis Nabi di atas dan keterangan para ulama yang telah kita sebutkan. Ditambah lagi sebagian dari perjalanan ibu adalah mengunjungi negeri orang kafir yang mana hal ini memiliki ketentuan dan syarat-syarat khusus yang dijelaskan oleh para ulama. Maka tentunya meninggalkan hal seperti ini jauh lebih selamat bagi keimanan dan kehormatan kita, teriring doa semoga Allah menggantikan apa yang ibu tinggalkan dengan ganti yang jauh lebih baik. Amin
Dan tidak lupa kami berikan kabar gembira kepada ibu dengan sabda Nabi sallallahu alaihi wasallam:
إِنَّكَ لَا تَدَعُ شَيْئَاً اتَّقَاءَ اللَّهِ إِلَاّ أَعْطَاكَ اللَّهُ خَيْرَاً مِنْهُ
Artinya: Tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena takwa kepada Allah kecuali Allah akan memberikanmu (ganti) yang lebih baik darinya (H.R. Ahmad)
Wallahu alam bishshawab.