Assalamualaikum
Ustadz saya mau tanya?
Apa yang harus dilakukan, jika salah satu keluarga kami ada yang meninggal. Apakah harus mengundang ustadz selama 3 hari dan membagi bagikan makanan (takziah), seperti orang-orang lakukan? mohon penjelasanya.
Jazakallah khairan
Aras – Makassar
Jawaban:
Takziyah adalah ucapan dengan tujuan menganjurkan orang yang tertimpa musibah agar bersabar dan tabah dalam menghadapinya, dengan mendoakan pahala bagi yang tertimpa musibah, dan doa agar simayit diampuni dosa-dosanya oleh Allah subhanahu wa ta’ala serta menghibur keluarga yang ditinggal agar tabah dalam musibahnya. [Lihat I’anatut Thalibin karya Ad-Dimyati As-Syafi’I, 2/145].
Takziyah sejatinya adalah hiburan serta support yang diberikan kepada orang yang tertimpa musibah agar ia tidak terjajah oleh kesedihannya, upaya untuk membangkitkan optimismenya dan meringankan beban musibahnya.
Oleh karena itu, dalam prakteknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan kalimat dan doa untuk orang yang tertimpa musibah, contohnya:
إِنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلٌّ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِب
Artinya: “Sesungguhnya milik Allah-lah yang Dia ambil kembali, dan milik-Nya pula yang Dia berikan kepada hamba-Nya, dan semuanya di sisi Allah ada ajalnya, maka hendaknya engkau bersabar dan berharap pahala kepada Allah. [HR Bukahri & Muslim].
Doa seperti ini boleh diucapkan dengan bahasa yang dipahami oleh orang tertimpa musibah. Agar tujuan dari takziyah yang telah dijelaskan di atas dapat tercapai, maka bisa kita ucapkan kepada yang tertimpa musibah: “Semoga Allah memberikan pahala kepadamu karena musibah yang menimpa, dan mengampuni dosa-dosa sang mayit, memasukkanya ke surga, dan semoga keluarga yang ditinggal tabah dan bersabar”. Atau dengan ucapan lain yang semisal.
Takziyah ini sunnahnya dilakukan selama tiga hari sejak meninggalnya sang mayit, adapun bila lebih dari itu, maka hukumnya makruh. [Lihat Al-Majmu’ Syarh Muhadzab karya Imam An-Nawawi Asy-Syafi’I, 5/306].
Adapun tempat takziyah, maka tidak ada tempat khusus untuk mengucapkan takziyah ini, sehingga takziah bisa diucapkan dengan pergi ke rumah orang yang tertimpa musibah, atau di tempat yang lain, misalnya bertemu dengan yang tertimpa musibah di jalan, di masjid, di kantor, dll.
Adapun untuk meringankan beban yang tertimpa musibah, Rasulullah menganjurkan para tetangga yang dekat dengan orang yang tertimpa musibah untuk membuatkan makanan bagi keluarga sang mayit, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أمْرٌ يَشْغَلُهُمْ
Artinya:”Siapkan bagi keluarga Ja’far makanan, sesungguhnya telah datang kepada mereka sesuatu yang menyibukkan mereka (yaitu wafatnya Ja’far)”. [HR Ahmad]>
Jadi, contoh yang datang dari Rasulullah terkait takziah orang yang meninggal dunia ada dalam penjelasan di atas, yaitu;
-1 Mengucapkan bela sungkawa kepada keluarga sang mayit, dan mensupport mereka agar tidak tenggelam dalam kesedihan dan kegelisahan.
-2 Anjuran bagi tetangga yang tertimpa musibah untuk membantu mereka dengan menyiapkan makanan atau keperluan lainnya.
Dengan ini, maka yang Anda tanyakan adalah sesuatu yang tidak disyariatkan dan harus ditinggalkan. Terkhusus kesibukan keluarga yang ditimpa musibah dalam menyiapkan makanan bagi orang yang datang takziah, ada peringatan khusus untuk tidak melakukannya, sebab masuk dalam kategori meratap, Jarir bin Abdullah mengatakan:
كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة
Artinya: “Kami (para Sahabat Rasulullah) menganggap bahwa berkumpul di rumah sang mayit dan menyajikan makanan (bagi pentakziyah) adalah bagian dari meratap”. [HR Ibnu Majah].
Dan hal ini juga dipaparkan di dalam literature Mazhab Syafi’i, di antaranya buku I’anah Ath-Thalibin, Ad-Dimyati Asy- Syafi’i mengatakan:
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام من البدع المنكرة.
Artinya: “Ya, sesungguhnya perkara yang dilakukan oleh masyarakat berupa berkumpul di rumah si Mayit, dan membuat makanan bagi mereka adalah bagian dari bid’ah munkarah”. (I’anah Ath-Thalibin 2/145).
Wallahu a’lam.
Dijawab oleh Ust. Lukman Hakim, Lc, M.A
(Alumni S1 Fakultas Hadits Syarif Universitas Islam Medinah Munawwarah dan S2 Jurusan Dirasat Islamiyah Konsentrasi Hadits di King Saud University Riyadh KSA)