Assalamu alaikum warahmatullah, afwan ustadz saya mau tanya, suami saya seorang pelaut di luar negeri kapten kapalnya non muslim, setiap hari jumat dia tidak shalat jumat secara berjamaah d mushollah kapal di karenakan temannya banyak yang tidak mau ikut, alasan mereka jamaahnya tidak mencukupi 40 orang (itu kata temannya), dan shalat lima waktu suami saya pun di lakukan selalu di kamar karena alasan di atas tadi, padahal suami saya mau saja shalat secara berjamaah, 1. Bagaimanakah agama memandang kondisi suami saya di atas, sahkah shalat duhur suami saya yang hari jumat tersebut? 2. Apakah Rejeki yang di peroleh suami saya dari pekerjaannya itu berkah?
Mohon penjelasannya ustadz, syukron…
Radiah Amin – Makassar
Jawaban:
Wa’alaykumussalam warahmatullah wa barakatuh
Pertama: Musafir Boleh Tidak Shalat Jum’at.
Shalat jum’at wajib dilaksanakan oleh lelaki yang telah baligh, sehat, dan mukim.
Adapun seorang yang dalam kondisi safar, maka ulama sepakat bahwa shalat jum’at tidak wajib atas musafir. (Lihat; Al-Istidzkar, Ibn Abdil Bar, jilid 2, hal. 36)
Selain boleh meninggalkan shalat jum’at, seorang musafir juga boleh meng-qashar dan menjamak shalat fardhunya sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jadi, suami ibu boleh tidak melaksanakan shalat jum’at selama dalam safar, tetapi tetap wajib melaksanakan sholat zhuhur boleh diqashar dan boleh dijamak dengan shalat ashar. (Lihat: Majmu’ Fatawa Syekh Ibn Baz, jilid 30, hal. 215).
Sebaiknya suami ibu tetap melaksanakan shalat fardhu di mushalla yang tersedia di kapalnya, karena berdakwah dengan suri teladan dan contoh yang baik biasanya lebih mengena dari pada dakwah dengan lisan. Hendaklah ia juga mengajak teman-temannya untuk shalat berjama’ah dengan cara yang baik dan lembut, serta menjelaskan fadhilah besar shalat berjama’ah, dan bahwa shalat jama’ah bisa dilaksanakan meski hanya oleh dua orang; imam dan satu makmum.
Semoga dengan istiqamahnya ia melaksankan shalat fardhu di mushalla, dan dengan dakwah bijaknya, lambat laun teman-temannya akan mengikutinya.
Kedua: Rezeqi yang berkah.
Rezeqi akan berkah jika Rezeqi tersebut halal, diperoleh dari jalan dan dengan cara yang halal, dan digunakan untuk perkara yang halal pula. Jika telah mencapai nisab, maka zakatnya wajib dikeluarkan dan diserahkan kepada yang berhak.
Selain itu berkah rezeqi bisa bertambah besar dengan beberapa amalan, seperti: Menggunkan harta tersebut untuk ketaatan kepada Allah Ta’ala, gemar menjalin silaturahmi dengan keluarga dan sanak saudara, dll.
Hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah berusaha menjauhi segala maksiat, dan senantiasa melaksanakan kewajiban seorang hamba terhadap Rabbnya, terutama shalat. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132).
Dijawab oleh Ustadz Eko Misbahuddin Hsb. Lc
(Alumni Fakultas Syari’ah LIPIA, Mahasiswa Pascasarjana Fak. Tarbiah- King Saud University)