Fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rah.a di kitab Fatawa al-Shiyami (hlm.162) :
جوابنا على هذا أن نقول : الحامل لا تخلو من حالين : إحداهما : أن تكون نشيطة قوية لا يلحقها مشقة ولا تأثير على جنينها ، فهذه المرأة يجب عليها أن تصوم ؛ لأنها لا عذر لها في ترك الصيام .
والحال الثانية : أن تكون الحامل غير متحملة للصيام : إما لثقل الحمل عليها ، أو لضعفها في جسمها ، أو لغير ذلك ، وفي هذه الحال تفطر ، لاسيما إذا كان الضرر على جنينها ، فإنه قد يجب الفطر عليها حينئذ . وإذا أفطرت فإنها كغيرها ممن يفطر لعذر يجب عليها قضاء الصوم متى زال ذلك العذر عنها ، فإذا وضعت وجب عليها قضاء الصوم بعد أن تطهر من النفاس ، ولكن أحياناً يزول عذر الحمل ويلحقه عذر آخر وهو عذر الإرضاع ، وأن المرضع قد تحتاج إلى الأكل والشرب لاسيما في أيام الصيف الطويلة النهار ، الشديدة الحر، فإنها قد تحتاج إلى أن تفطر لتتمكن من تغذية ولدها بلبنها، وفي هذه الحال نقول لها أيضاً: أفطري فإذا زال عنك العذر فإنك تقضين ما فاتك من الصوم اهـ .
Jawaban kami mengenai hal ini adalah bahwa bagi yang hamil tidak lepas dari dua kondisi : pertama, kondisinya sehat, kuat, tidak ditimpa dengan kesulitan, dan tidak berdampak buruk bagi janin, maka wanita seperti ini wajib baginya puasa. karena tidak ada udzur baginya untuk meninggalkan puasa.
Kedua, kondisinya tidak tahan berpuasa, baik karena beratnya hamil baginya, atau karena kelemahan fisiknya, atau karena sebab yang lain. maka ia dalam kondisi demikian boleh berbuka (tidak puasa). apatahlagi karena bahaya yang menimpa janinnya, maka ia wajib berbuka pada saat itu. dan jika berbuka maka ia seperti yang lain yang tidak berpuasa karena udzur, wajib baginya qadha puasa sampai hilang udzur tersebut darinya. Jika dia telah melahirkan wajib baginya qadha puasa setelah suci dari nifas. namun terkadang datang udzur yang lain yaitu udzur menyusui, karena yang menyusui butuh makan, minum, apatahlagi kalau musim panas yang lama, panas yang betul-betul panas. maka ia dalam kondisi demikian sangat butuh untuk iftar (tidak puasa) agar memungkinkan baginya membari gizi kapada anaknya melalui asinya. Maka dalam kondisi demikian kami katakan kepadanya; “Jika udzur anda hilang, laksanakanlah qadha atas puasa yang ditinggalkan”.
Fatwa Syaikh bin Baz di Kitab Majmu al-Fatawa,
أما الحامل والمرضع فقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم من حديث أنس بن مالك الكعبي عن أحمد وأهل السنن بإسناد صحيح أنه رخص لهما في الإفطار وجعلهما كالمسافر . فعلم بذلك أنهما تفطران وتقضيان كالمسافر ، وذكر أهل العلم أنه ليس لهما الإفطار إلا إذا شق عليهما الصوم كالمريض ، أو خافتا على ولديهما والله أعلم اهـ .
Adapaun hamil dan menyusui, telah tetap dari Nabi saw dari hadits Anas bin Malik al-Ka’bi dari Ahmad dan ahlu sunan dengan sanad sahih bahwa rukhshah (keringanan) bagi keduanya untuk berbuka, dan menjadikan kondisi keduanya sebagai musafir. maka dari situ diketahui bahwa keduanya berbuka dan mengqada seperti musafir. dan diantara ulama menyebutkan bahwa tidak boleh bagi keduanya ifthar (buka puasa) kecuali karena berat baginya berpuasa seperti kondisi orang sakit, atau khawatir terhadap anaknya. wallahu a’lam.
Fatwa al-Lajnah al-Daimah,
“أما الحامل فيجب عليها الصوم حال حملها إلا إذا كانت تخشى من الصوم على نفسها أو جنينها فيرخص لها في الفطر وتقضي بعد أن تضع حملها وتطهر من النفاس” اهـ .
Adapun yang Hamil wajib baginya puasa selama hamil, kecuali khawatir dengan puasa dapat membahayakan diri dan janinnya, maka diringankan baginya berbuka dan mengqadha puasa setelah melahirkan, setelah suci dari nifas.
Fatwa Majelis Ulama Qathar,
(http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=113353)
فاعلم أولاً أن الحامل والمرضع لا يجوزُ لهما الفطر إلا إذا خافا ضرراً على نفسيهما أو على ولديهما، فإذا تحقق خوف الضرر إما بالتجربة وإما بإخبار طبيبٍ ثقة جاز الفطر، واختلف العلماء في الواجب عليهما إذا أفطرتا، فصح عن ابن عباسٍ وابن عمر أنهما أمرا بالفدية دون القضاء، بل جعل ابن عباسٍ الحامل والمرضع إذا خافتا على نفسيهما أو على ولديهما ممن عُني بقوله تعالى: وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ {البقرة: 184}، ووجهه من النظر إلحاقهما بالمريض الذي لا يُرجى برؤه لتكرر الحمل والرضاع،
Pertama ketahuilah bahwa hamil dan menyusui tidak boleh bagi keduanya untuk iftar (membatalkan puasa) kecual karena khawatir bahaya atas diri dan anaknya. sekiranya terjadi apa yang ia khawatirkan itu, melalui puasa beberapa hari, atau melalui pengabaran dokter terpercaya, maka boleh baginya tidak berpuasa. Para Ulama berbeda apa yang wajib baginya sekiranya tidak berpuasa. Disahihkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu anhum bahwa bagi hamil dan menyusui perintah membayar fidyah tanpa qadha puasa. Ibnu Abbas r.a mendasarkan perkataannya itu pada firman Allah : “Bagi orang yang berat menjalankan puasa, kewajiban fidyah memberi makan seorang miskin” (QS.2:184), dan memandang kondisi keduanya seperti orang yang sakit yang susah diharapkan kesembuhannya karena sering/berulangnya kondisi hamil dan menyusui.
وذهب الأئمةُ الأربعة إلى وجوبِ القضاء عليها؛ لقوله تعالى: أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ {البقرة: 184} ، قالوا: وهي بالمريض الذي يُرجى برؤه أشبه فوجب عليها القضاء إذا قدرت عليه، وزاد الشافعي وأحمد إيجاب الإطعام وقدره مدٌ عند الشافعي ونصف صاعٍ عند أحمد يُدفع إلى مسكين عن كل يومٍ تفطره إذا كان الفطر لأجل الخوف على الجنين، وهذا القول هو أحوط الأقوال وأبرؤها للذمة، والأقيس القول الثاني، والقول الأول أقرب للآثار.
Menurut Empat Imam Mazhab, yang wajib baginya (hamil/menyusui) adalah qadha puasa. Karena Allah berfirman, “Yaitu beberapa hari yang telah ditentukan, maka siapa saja dari kalian dalam kondisi sakit atau safar, menggantinya di hari-hari yang lain” (QS.2:184), mereka mengatakan : kondisinya (hamil/menyusui) seperti orang sakit yang masih diharapkan kesembuhannya, karena itu yang wajib baginya adalah qadha ketika ia telah mampu menjalankannya. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menambahkan wajib memberi makan dengan kadar 1 mud menurut Imam Syafi’i dan 1/2 Sha’menurut Imam Ahmad kepada seorang miskin setiap hari ia tidak berpuasa jika tidak puasanya itu disebabkan khawatir terhadap janin. pendapat inilah yang lebih hati-hati, lebih selamat, dan lebih tepat yaitu pendapat kedua; dan pendapat pertama lebih dekat dengan atsar sahabat.
وحمل الجمهور من الشافعية والحنابلة هذه الآثار التي وجب فيها الإطعام على أنه يجبُ إضافةً إلى القضاء، وقد استوعب الموفق في المغني أقوال الفقهاء في المسألة وقرر المذهب تقريراً حسناً وذكر وجوه الأقوال وحججها، وانتصر لوجوب القضاء والإطعام إذا كان الفطر لأجل الخوف على الولد، أي أن الحامل والمرضع, إذا خافتا على أنفسهما فلهما الفطر, وعليهما القضاء فحسب. لا نعلم فيه بين أهل العلم اختلافا، لأنهما بمنزلة المريض الخائف على نفسه. وإن خافتا على ولديهما أفطرتا، وعليهما القضاء وإطعام مسكين عن كل يوم. وهذا يروى عن ابن عمر وهو المشهور من مذهب الشافعي.
Karena itu Jumhur ulama Mazhab syafi’i dan Mazhab Hambali menjadikan atsar sahabat (berupa kewajiban fidyah) sebagai tambahan kewajiban qadha puasa. Dan telah dikumpulkan apa yang disepakati dalam kitab almughni berupa perkataan para ulama ahli fiqhi mengenai masalah ini, dan setiap Mazhab menetapkan ketetapan yang baik, dan disebutkan sejumlah pendapat dan hujjah-hujjahnya, dan pendapat yang diunggulkan adalah wajibnya qadha dan fidyah jika puasa dibatalkan karena khawatir terhadap anak. maksudnya bahwa yang hamil atau yang menyusui kalau khawatir akan dirinya boleh membatalkan puasa dan yang hanya wajib baginya adalah qadha puasa. tidak ada khilaf para ulama fiqhi dalam hal ini. karena kedudukannya seperti orang sakit yang khawatir akan dirinya. dan jika puasa dibatalkan karena khawatir akan janin/ anaknya maka wajib baginya qadha dan membayar fidyah. dan ini diriwayatkan dari Ibnu Umar dan pendapat inilah yang masyhur di kalangan para ulama mazhab Syafi’i.
قال أحمد : أذهب إلى حديث أبي هريرة، يعني ولا أقول بقول ابن عباس وابن عمر في منع القضاء . انتهى.
Imam Ahmad berkata : Saya merujuk kepada hadits Abu Hurairah, yaitu aku tidak mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar mengenai tidak bolehnya Qadha.
Kesimpulan :
1. Pendapat paling (hati-hati) dan paling selamat adalah tetap mengqadha puasa dan membayar fidyah. dengan perincian sebagaimana perincian Imam Ahmad dan Imam Syafi’i rahimahumallahu. Jika wanita hamil/menyusui tidak puasa karena khawatir akan dirinya maka cukup dengan mengqadha puasa. Jika karena khawatir akan janin/anaknya maka selain mengqadha juga membayar fidyah. pendapat ini adalah sebaiknya pendapat yang diutamakan oleh mereka yang dikaruniakan Allah kemampuan secara ekonomi dan fisik.
2. Pendapat yang mustahab adalah keluar dari khilaf, sebagaimana kaidah para ulama “Al-khuruuju min al-khilaf mustahab” (Keluar dari khilaf adalah mustahab). berarti harus dikembalikan ke hukum awal “al-Baqaau maa kaa ‘alaa maa kaana”. dan hukum awal bagi yang tidak berpuasa karena udzur adalah Qadha puasa. sedangkan bagi yang lemah yang tidak bisa lagi diharapkan puasa seperti lansia adalah membayar fidyah. sehingga wanita hamil/menyusui cukup dengan mengqadha puasa tanpa membayar fidyah. pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Syaikh bin Baz, Syaikh Utsaimin, Lajnah adda’imah. Pendapat inilah yang ringan bagi mereka yang diberikan kemampuan oleh Allah secara fisik namun lemah secara finansial.
3. Pendapat yang dekat dengan atsar, yaitu cukup dengan membayar fidyah bagi wanita hamil/menyusui. Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu anhum. Selain dalil yang sudah dikemukakan, juga karena hadits Nabi saw, “Mendekatlah niscaya akan saya jelaskan kepadamu tentang puasa, sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mewajibkan puasa atas musafir dan memberi keringanan separoh shalat untuknya, juga memberi keringan bagi wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa”. (HR.Tarmidzi). Pendapat ini adalah pendapat yang ringan bagi mereka yang diberi kemampuan secara ekonomi namun lemah secara fisik.
4. Pendapat-pendapat di atas adalah benar di bangun berdasarkan hujjah dan dalil dari al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga siapa saja yang memilih salahsatu dari pendapat di atas, maka dia telah benar dan tidak keliru. sehingga dalam hal ini kaum muslimin harus saling menghargai, tidak debat kusir dan tidak saling menyalahkan. Allah berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS.2:185).
Penulis/penerjemah : Samsul Basri, SSi, MEI
Referensi : Fatwa-fatwa Ulama Ahlusunnah wal jamaah.