Bismillaah…
Islam telah mengatur perkara tentang meniru adat atau budaya lain ini secara gamblang. Artinya seorang muslim dibolehkan untuk meniru budaya suku atau bangsa lainnya dengan beberapa aturan yang ditetapkan oleh islam yaitu:1.Budaya atau adat tersebut masih merupakan adat/budaya yang berasal dari umat islam dan tidak bertentangan dengan budaya islam. Bahkan bila hal itu sejalan dengan ajaran islam maka sangat dianjurkan dilakukan. Misalnya; dalam adat istiadat suatu daerah, rumah memiliki dua pintu, pintu depan dan pintu belakang. Pintu depan menjadi tempat masuk tamu laki-laki, dan pintu belakang menjadi pintu masuk kaum wanita. Ini merupakan adat atau budaya yang sangat bagus dan sejalan dengan nilai-nilai islam. Adapun ritual-ritual budaya yang mengandung maksiat seperti tarian wanita, joget, miras, atau kesyirikan berupa sesajen, mantra-mantra yang tidak jelas, atau hal-hal yang berbau hindu atau animisme lainnya maka ini tidaklah dibolehkan karena ia adalah budaya yang bertentangan dengan islam.

2.Budaya atau adat tersebut bukan merupakan adat khusus orang kafir baik yahudi, Kristen, Hindu, budha dll karena umat islam dilarang mengikuti budaya mereka. Namun perlu diingat bahwa larangan mengikuti mereka ini terbatas pada syiar-syiar agama mereka yang tidak diakui oleh islam, tatacara ibadah mereka, dan hal-hal yang sifatnya khusus bagi mereka saja seperti meniru mereka dengan berpakaian ala pastur, pendeta, biksu, atau melakukan perayaan-perayaan mereka baik hari raya natal, tahun baru, imlek, valentine ataupun lainnya. Ini semua merupakan budaya barat yang sangat dilarang untuk diikuti dalam islam. Perkara inilah yang dimaksud oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam dalam hadis shahih:
من تشبّه بقوم فهو منهم
Artinya: “Barangsiapa yang meniru suatu kaum maka ia termasuk dari golongan mereka” (HR Abu Daud: 3512).
Juga dalam hadis:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
Artinya: “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).

Adapun mengikuti mereka dalam hal perkembangan IPTEK, tatacara dagang , tani, atau peternakan yang mubah, atau lainnya yang tidak ada kaitannya dengan agama dan adat budaya khusus mereka, maka dibolehkan dalam islam.

Adapun dalil berupa ayat atau hadis yang memerintahkan agar meniru atau mengikuti budaya suatu kaum tertentu secara universal maka tidak ada, karena islam memandang semua budaya-budaya yang ada –termasuk budaya arab- dengan barometer ajaran islam itu sendiri. Bila suatu unsur budaya tidak menyelisihi ajaran dan nilai-nilai islam maka islam membolehkannya, adapun bila menyelisihi ajaran islam maka tentu terlarang dan hukumnya haram. Bila melihat budaya atau adat istiadat dari seluruh bangsa, seluruhnya tak akan ada yang terlepas dari perkara yang haram dan dosa, dan islamlah yang mengatur semua adat istiadat ini agar sejalan dengan ajarannya. Inilah salah satu tujuan datangnya agama islam.
Sedangkan dalil meniru budaya kaum lain yang tidak bertentangan dengan syariat islam maka tentunya hukumnya boleh, telah ada beberapa hadis yang mengisyaratkan hal ini, diantaranya pujian Rasulullah pada budaya Asy’ariyah dalam Shahih Bukhari (2486) dan Muslim (2500): “Sesungguhnya Asy’ariyyun (Kabilah Asy’ariyah) bila mereka kekurangan makanan dalam peperangan, atau kekurangan makanan bagi istri dan anak-anak mereka di Madinah, semua mereka lalu mengumpulkan semua makanan miliki mereka dalam satu kain, lalu makanan tersebut dibagi kepada seluruh mereka dalam satu bejana dengan jumlah kadar yang sama, maka sungguh mereka termasuk bagian dari diriku, dan saya termasuk bagian dari mereka”.
Ini merupakan perintah Rasulullah secara tidak langsung kepada para sahabatnya yang lain atau kabilah-kabilah islam lainnya untuk meniru perbuatan kabilah asy’ariyah ini dalam setiap mendapat cobaan berupa kesempitan hidup dan kekurangan. Sebab itu dalam Syarah Shahih Muslim (16/62) Imam Nawawi rahimahullah mengomentari hadis ini: “Dalam hadis ini terkandung keutamaan kaum asy’ariyuun, juga keutamaan berbagi dan saling menolong –walaupun kita berada dalam kekurangan- , serta keutamaan –orang-orang musafir- untuk mengumpulkan semua bekal mereka dalam satu tempay ketika safar, juga mengandung keutamaan mengumpulkan makanan ketika muqim dan dalam kondisi kekurangan makanan lalu dibagi rata (pada semuanya)”.
Adapun pembahasan mengenai apakah nilai budaya arab itu termasuk nilai budaya islam atau bukan ?
Maka jawabannya adalah bahwasanya banyak dari budaya arab itu merupakan bagian dari budaya islam Karena islam ini muncul pertama kali di arab sehingga banyak diantara budaya arab yang terpengaruh dengan islam dan kemudian menjadi bagian dari budaya arab itu sendiri. Namun tentunya tidak semua budaya arab merupakan budaya islam. Hal seperti ini tentunya diketahui dengan mengkaji dalil-dalil syar’i. Misalnya budaya cadar, ini sudah menjadi bagian dari budaya arab padahal ia merupakan budaya yang berasal dari islam. Sehingga orang yang tidak tahu asal usul cadar, ia akan mengklaim bahwa cadar hanyalah budaya arab saja, padahal cadar tersebut berasal dari islam dan awal mulanya diperintahkan oleh Allah ta’ala dalam Al-Quran:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Artinya : “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab : 59)
Imam Al-Baidhawy Al-Syafi’i –rahimahullah- (wafat ; 685 H) dalam tafsirnya “Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Ta’wil (2/280)” Pada Firman Allah ta’ala yang artinya ; “hendaknya mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka .”(QS.Al-Ahzab ; 59). Beliau berkata: “Maksud ayat ini yaitu menutup seluruh wajah dan tubuh mereka dengan pakaian mereka,jika mereka keluar untuk suatu keperluan”. Wallaahu a’lam.

Oleh Ustad Maulana La Eda, Lc. Hafizhahullah

Artikulli paraprakMemerangi Musuh-musuh Islam Dengan Teknologi Informasi
Artikulli tjetërHukum Suami Istri Bermesraan Di Tempat Umum

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini