Pertanyaan:
Apa hukum seorang anak mengakikahkan orang tuanya yang sudah meninggal?
(Awaluddin di Jeneponto, Sulawesi Selatan)
Jawaban:
Dijawab oleh: Ust. Lukmanul Hakim Sudahnan, Lc., M.A. (Anggota Pleno Dewan Syariah Wahdah Islamiyah)
Alhamdulillah, wa al- ṣalātu wa al-salāmu ‘alā nabiyina Muhammad, ammā ba’du;
Pertanyaan anda ini sangat kami apresiasi, sebab menurut kacamata kami berangkat dari keinginan seorang anak untuk berbakti kepada orang tuanya setelah beliau wafat, semoga Allah azza wajalla membalas anda dengan pahala yang terbaik.
Terkait dengan pertanyaan diatas, ada dua pendapat dari kalangan para ulama kita;
Pendapat pertama: hal tersebut tidak disyariatkan, pendapat ini berpijak pada beberapa dalil, diantaranya,
- Bahwa akikah dilakukan karena momentum kelahiran seseorang dan bukan karena momentum kematian seseorang, hal ini sebagaimana yang dipaparkan oleh syekh Muhammad bin Saleh al-Utsaimin rahimahullah.[1]
- Akikah gugur dengan kematian seseorang, sebagaimana salah satu pendapat mazhab Syafi’i.[2]
Pendapat kedua: hal tersebut disyariatkan, dan pendapat beberapa ulama kontemporer diantaranya syekh Abdurrahman bin Abdulmuhsin Alu Syekh, pendapat ini berpijak pada beberapa dalil, diantaranya,
- Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
كلُّ غلامٍ مرتَهَنٌ بعقيقتِهِ تذبحُ عنْهُ يومَ السَّابعِ ويُحلَقُ رأسُهُ ويُسمَّى
“Setiap anak tergadai dengan akikahnya (sampai dilaksanakan), disembelih hari ke tujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah).
Makna hadis diatas bahwa setiap orang tergadai dengan akikahnya sampai dilaksanakan, maksudnya adalah kedua orang tua tidak bisa memetik manfaat dari anaknya sampai akikahnya ditunaikan[3], dan menurut sebagian ulama; hadis ini berkaitan dengan syafaat, bahwa orang tua tidak bisa memperoleh syafaat dari anaknya sampai diakikahkan[4], maka beban orang tua dan wali anak belum terlepas dan tuntas sampai akikah tersebut dikerjakan, jadi pelaksanaan akikah ibarat pembebasan bagi seorang anak.
Karena makna yang dikandung hadis cukup “berat”, makanya sebagian ulama mewajibkan akikah untuk anak, kendati hukum yang lebih rajih adalah sunah muakkadah, wallahu a’lam.
- Akikah tidak gugur dengan kematian seseorang, sebagaimana salah satu pendapat ulama mazhab Syafi’i.[5]
Kesimpulan:
Setelah menelaah dua pendapat ini, dapat disimpulkan bahwa ada keluasan dalam masalah ini, kendati menurut kami pendapat yang pertama (yaitu yang tidak mensyariatkan) yang lebih kuat, sebab kematian menggugurkan hukum-hukum syariat (kecuali terkait hak-hak sesama manusia seperti utang) sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia meninggal dunia terputus amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Jadi, jika amalan-amalan yang hukum wajib yang selama dilakukan ketika hidup menjadi gugur dan jatuh, maka tentunya amalan yang hukumnya sunah lebih layak untuk gugur dengan kematian seseorang.
Namun jika anda cenderung kepada pendapat kedua, bahwa akikah tersebut disyariatkan, maka pendapat tersebut diakomodir oleh syariat sebagaimana telah dipaparkan diatas, ditambah lagi jika menelisik makna hadis yang dibawakan diatas cukup mengerikan bahkan sampai berkaitan dengan terhalangnya seseorang untuk mendapat syafaat, dan kami berharap bahwa amalan tersebut merupakan bagian dari bakti anda kepada orang tua.
Wallahu ta’ala a’lam.
[2] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, karya imam Nawawi rahimahullah, (8/432), versi maktabah syamilah.
[4] Zādu Al-Ma’ād, karya Ibnu Qayyim (2/326) versi maktabah syamilah.
[5] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, karya imam Nawawi rahimahullah, (8/432), versi maktabah syamilah.