Hukum Islam Atas Pencela Allah Ta’ala ( Bag.1 ) 1
Celaan dan penghinaan merupakan diantara jenis perbuatan menyakiti yang paling besar. Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُؤۡذُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ لَعَنَهُمُ ٱللَّهُ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمۡ عَذَابٗا مُّهِينٗا ٥٧ وَٱلَّذِينَ يُؤۡذُونَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ بِغَيۡرِ مَا ٱكۡتَسَبُواْ فَقَدِ ٱحۡتَمَلُواْ بُهۡتَٰنٗا وَإِثۡمٗا مُّبِينٗا ٥٨
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”. (QS Al-Ahzab 57-58).
Akan tetapi, perbuatan menyakiti Allah ta’ala tidak berarti memberikan mudharat dan rasa sakit kepada-Nya, sebab perbuatan menyakiti ini ada dua macam yaitu yang bisa memberikan mudharat, dan yang sama sekali tidak mendatangkan mudharat. Adapun Allah ta’ala, maka tidak ada satupun yang bisa memberikan mudharat kepada-Nya.
Dalam hadis qudsi, Dia berfirman : Artinya : “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan pernah bisa mendatangkan-Ku mudharat, sehingga bisa memudharatkan-Ku”.2
Bahkan, Allah ta’ala sendiri yang memberikan mudharat dan melaknat orang-orang yang menyakiti-Nya baik didunia maupun diakhirat kelak. Laknat disini bermakna : menjauhkan seorang hamba dari rahmat-Nya. Ayat diatas menunjukkan bahwa ia dijauhkan dari dua rahmat : rahmat duniawi dan ukhrawi, dan tidaklah dijauhkan dari dua rahmat ini kecuali orang-orang yang kafir kepada Allah.
Juga Allah ta’ala dalam ayat ini menyebutkan bahwa Dia menyediakan orang-orang yang menyakitinya dengan adzab yang menghinakan (‘Adzaabun Muhiin), dan adzab jenis ini tidaklah Allah sebutkan dalam Al-Quran melainkan ditujukan kepada orang-orang yang kafir terhadap-Nya.
Mencela dan menghina Allah merupakan bentuk kekafiran yang paling besar, bahkan lebih besar dari kekafiran para penyembah berhala dan patung-patung, karena para penyembah berhala mengagungkan bebatuan sesembahan mereka disebabkan oleh rasa pengagungan terhadap Allah, mereka sama sekali tidak merendahkan keagungan dan derajat Allah atau menyamakan-Nya dengan bebatuan tersebut, namun mereka mengangkat derajat bebatuan tersebut agar sama dengan derajat Allah ta’ala, sebab itu ketika masuk neraka kaum musyrikin mengucapkan :
تَٱللَّهِ إِن كُنَّا لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٍ ٩٧ إِذۡ نُسَوِّيكُم بِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٩٨
Artinya : “demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata. karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam”. (QS Asy-Syu’araa’ 97-98).
Sesuai ayat ini, mereka hanyalah mengangkat derajat bebatuan (patung-patung) tersebut agar menyamai derajat Allah, dan sama sekali tidak menurunkan derajat dan keagungan Allah ta’ala agar sama dengan derajat bebatuan tersebut. Karena menurut klaim mereka, pengagungan terhadap bebatuan merupakan bentuk pengagungan terhadap Allah. Adapun orang yang mencela Allah ta’ala, pada hakikatnya ia merendahkan derajat Allah agar lebih rendah lagi dari derajat bebatuan dan patung-patung. Kaum musyrikin (para penyembah berhala) sama sekali tidak mencela dan menghina tuhan-tuhan sesembahan mereka walaupun dalam keadaan senda gurau sebab mereka benar-benar mengagungkannya, bahkan mereka mencela orang yang menghina sesembahan mereka tersebut. Dalam kaitannya dengan masalah ini, Allah ta’ala telah menurunkan firman-Nya :
وَلَا تَسُبُّواْ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّواْ ٱللَّهَ عَدۡوَۢا بِغَيۡرِ عِلۡمٖۗ
Artinya : “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”. (QS Al-An’aam : 108).
Walaupun kaum musyrikin adalah orang-orang kafir, namun Allah tetap saja melarang nabi-Nya Muhammad shallallahu’alaihi wasallam dari mencela dan menghina patung-patung mereka dengan maksud agar kedurhakaan mereka tidak mengantarkan mereka untuk melakukan suatu kekafiran yang lebih besar dari kekafiran asli mereka yaitu berupa celaan dan hinaan terhadap Tuhan Muhammad shallallahu’alaihi wasallam.
Bahkan, sebagian kata-kata celaan terhadap Allah, ada yang lebih besar kekafirannya dibandingkan dengan sikap ilhad (atheis : tidak percaya dengan adanya Rabb Maha Pencipta). Ini dikarenakan orang yang mulhid (atheis) hanyalah menafikan adanya Sang Pencipta dan Rabb, sedangkan keadaan dirinya mengindikasikan : jika saya meyakini adanya Tuhan, niscaya saya pasti mengagungkan-Nya. Adapun orang yang mengklaim beriman kepada Tuhannya dan meyakini keberadaan-Nya namun pada waktu yang sama ia menghina dan mencelanya, maka ini merupakan pembangkangan dan kedurhakaan yang lebih besar (dibandingkan dengan sekedar atheisme).
Bahkan membuat dan meletakkan patung berhala disuatu negeri tertentu, lalu melakukan tawaf disekitarnya, serta bersujud dan ngalap berkah terhadapnya ; ini lebih ringan hukumnya disisi Allah ta’ala daripada tersebarnya celaan dan penghinaan terhadap Allah ta’ala di majelis-majelis, jalan-jalan dan pasar-pasar negeri tersebut, karena menyebarnya celaan dan penghinaan terhadap-Nya lebih besar dosa dan bahayanya daripada menyekutukan-Nya dengan patung berhala, walaupun dua perbuatan ini sama-sama merupakan kekufuran yang besar, namun bedanya : orang musyrik mengagungkan Allah, dan si pencela meremehkan dan merendahkan-Nya.
Fenomena mencela Allah ta’ala dan tersebarnya disuatu negeri lebih berbahaya dibandingkan dengan penghalalan zina didalamnya, bahkan lebih berbahaya dibandingkan dengan perbuatan keji kaum Nabi Luth (homoseksual), karena kekafiran yang disebabkan penghalalan suatu perbuatan keji motifnya adalah kedurhakaan terhadap syariat Allah dan penghinaan terhadap perintah-Nya, adapun mencelanya maka ia sebuah kekafiran yang motifnya kekufuran terhadap Dzat Allah yang menetapkan syariat, dan kekafiran jenis ini secara langsung menunjukkan kekafiran terhadap seluruh syariat Allah dan penghinaan terhadapnya. Tentu ini lebih besar dosanya dan paling berbahaya, walaupun keduanya merupakan suatu kekafiran, sebab kekafiran itu sendiri bertingkat-tingkat sebagaimana halnya keimanan.
Tatkala Allah ta’ala menyinggung kekafiran kaum nasrani dan pencelaan mereka terhadap Allah dengan menyifati-Nya sebagai Dzat yang memiliki anak, Dia langsung menyangkalnya dengan menyebutkan besarnya dosa jenis kekafiran ini, dan mengikrarkan bahwa dampak/bahayanya lebih besar dari sekedar kesyirikannya kaum penyembah berhala dan bintang-bintang. Sebagaimana dalam firman-Nya, yang artinya :
Artinya : “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak”. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh. karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri”. (QS Maryam : 88-95).
Ini disebabkan karena penyifatan-Nya sebagai Dzat yang memiliki anak ; merupakan penghinaan dan pencelaan terhadap Allah subhanahu wata’ala, dan lebih besar dosa dan dampaknya daripada sekedar menyembah lalu menyekutukan-Nya dengan sesembahan selain-Nya, yang dengannya mereka mengagungkan makhluk seperti mengagungkan Allah. Sebab penyifatan-Nya sebagai Dzat yang memiliki anak sama saja merendahkan derajat-Nya agar sama dengan derajat makhluk, sedangkan menyembah berhala maka ia merupakan bentuk pengangkatan derajat makhluk agar sama dengan Sang Maha Pencipta, dan merendahkan derajat Allah Yang Maha Pencipta lebih berbahaya dan lebih kafir dibandingkan dengan mengangkat derajat makhluk.
Kesimpulannya : Pencelaan Allah menafikan adanya keimanan lahir dan batin (artinya membuat pelakunya kafir ). Ia menafikan ikrarnya hati berupa pembenaran terhadap Allah dan keimanan atas keberadaan dan hak-Nya untuk disembah, juga menafikan amalan hati berupa rasa kecintaan, dan pengagungan terhadap-Nya. Sebagai bukti bahwa seseorang yang anda agungkan dirinya sama sekali tidak akan rela jika pada waktu yang sama anda juga mencelanya. Misalnya mengagungkan Allah dan memuliakan dua orangtua. Barangsiapa yang mengklaim ia memuliakan orangtuanya lalu pada waktu yang sama ia mencela dan menghina keduanya maka ia berdusta atas klaimnya tersebut.
Oleh Maulana La Eda, L.c
1 . Disadur dari kitab “Ta’dzhim Allah Wa Hukmu Syaatimihi” tulisan Syaikh Abdul’Aziz Al-Tharifi.
2 .HR Muslim : 2577