Hukum Islam Atas Pencela Allah Ta’ala (Bag.2)
Ijma’-nya Para Ulama Atas Kafirnya Orang Yang Mencela Allah Ta’ala
Seluruh ulama dari semua madzhab yang mengikrarkan bahwa iman adalah berupa ucapan dan amalan sepakat bahwasanya mencela Allah adalah kekafiran, dan semua sepakat bahwa alasan/udzurnya orang yang jelas-jelas mencela dan menghina Allah ta’ala tidaklah diterima. Dalam Kitab Masaa-il, Harb meriwayatkan dari Mujahid bahwa Umar radhiyallahu’anhu berkata : “Barangsiapa yang mencela Allah atau mencela salah seorang nabi-Nya maka bunuhlah ia”.1
Para ulama telah menukil adanya ijma’ para ulama atas kafirnya orang yang mencela / menghina Allah dan keharusan diberlakukan hukum bunuh atasnya, diantaranya :
-Ishaq Ibnu Rahuwiyah rahimahullah berkata : “Seluruh kaum muslimin telah ijma’ bahwasanya orang yang mencela Allah, atau mencela rasul-Nya, atau menolak apa yang diturunkan oleh Allah ta’ala, atau membunuh salah seorang nabi Allah ; maka ia telah kafir dengan sebab itu, walaupun ia ber-iqrar (beriman) dengan apa yang diturunkan oleh Allah”.2
-Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata : “Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) dikalangan kaum muslimin bahwa orang yang mencela Allah adalah kafir, darahnya halal (untuk dibunuh)”.3
Ijma’ ini dinukil pula oleh Ibnu Hazm dan selainnya, serta dinyatakan kekafirannya oleh beberapa imam diantaranya Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani, Ibnu Qudamah, dan lainnya.4
Demikian juga seluruh ulama selain mereka menyatakan kafirnya orang yang mencela Allah ta’ala, dan tidak menerima adanya uzur baginya sebab orang yang paling bodoh pun pasti membedakan antara celaan dan yang bukan celaan, serta memahami yang namanya pujian dan cemohan, akan tetapi mereka hanya bermudah-mudahan dalam melakukannya.
Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani Al-Maliki ditanya tentang seseorang yang melaknat seseorang, lalu menyertakannya dengan melaknat Allah ta’ala, lalu orang tersebut beralasan seraya berkata : Saya hanya ingin melaknat syaithan, namun lidahku salah ucap. Beliau menjawab : “Ia harus dihukum bunuh berdasarkan kekafiran lahir yang ia lakukan, uzur/alasannya tidak diterima, baik ia melakukannya karena serius ataupun becanda “. 5
Beginilah seluruh ulama dan qadhi (hakim) dari semua madzhab fiqih –seperti mazhab yang empat dan mazhab dzhohiriyah- mengeluarkan fatwa dan menetapkan hukum atasnya secara lahir, dan tidak melihat perihal batin si pencela, walaupun ia beralasan dan mengklaim bahwa keyakinan batinnya tidak seperti yang ia tampakkan. Seandainya para ulama mengembalikan ukuran pelanggaran syariat secara lahir yang jelas ini kepada klaim batin yang menyelesihi keadaan lahirnya, maka istilah-stilah syar’i, hukum-hukum syariat, hukuman-hukuman pelanggaran, dan hudud tidak akan ada manfaatnya, hak-hak dan kehormatan manusia akan sirna, sehingga muslim dan mukmin tidak lagi dibedakan dengan orang kafir, dan orang munafiq, dan bahkan agama dan dunia ini hanya akan menjadi bahan senda gurau dilisannya orang-orang bodoh, dan ditangannya orang-orang yang hatinya berpenyakit.
Mencela Allah Adalah Kekafiran Walaupun Tanpa Ada Niat Untuk Kafir
Mencela Allah ta’ala adalah suatu kekafiran yang tidak diperselisihkan. Adapun bermudah-mudahnya orang awam dalam melakukannya tanpa niat untuk kafir, atau tanpa adanya niat buruk mencoreng hak Allah ta’ala ; tidaklah diperhitungkan. Bahkan perhitungan seperti ini merupakan bentuk kejahilan pelakunya, tidak ada orang yang menerima alasan seperti ini kecuali Al-Jahm bin Shofwan dan Sekte Murji-ah radikal yang menyatakan bahwa iman itu hanyalah sekedar tashdiq (pembenaran) dan ma’rifat (pengenalan Allah) lewat hati. Tentu, kesalahan fatal ini sebab utamanya adalah tidak adanya pemahaman bahwa iman adalah ucapan dan amalan yaitu ucapan lisan dan hati, serta amalan hati dan anggota badan.
Berbeda dengan Murji-ah radikal yang hanya memandang bahwa amalan lahir tidaklah menunjukkan adanya keimanan batin, dengan dasar inilah mereka menganggap amalan lahir tidak akan membatalkan iman seseorang kecuali kalau hatinya yang berubah kafir.
Adapun pendapat yang haq adalah bahwasanya iman merupakan amalan lahir dan batin, masing-masing keduanya saling menunjukkan adanya keimanan dalam salah satunya, dan jika iman tercabut dari salah satunya, maka keimanan itu serta merta tercabut dari keduanya. Sebagaimana halnya seseorang menjadi kafir dengan sekedar berniat kafir dalam hati walaupun itu tak ia ucapkan lewat lisannya, atau tidak melakukan kekafiran dengan anggota tubuhnya, maka demikian pula seseorang bisa menjadi kafir dengan sekedar ucapan kafir yang ia lontarkan, walaupun tidak ada niat untuk kafir, dan tidak pula melakukan kekafiran dengan anggota tubuhnya, juga demikian orang yang melakukan perbuatan kafir dengan anggota tubuhnya (ia telah kafir), walaupun tidak berniat atau bermaksud untuk kafir dalam hatinya atau tidak pula mengucapkannya dengan lisannya.
Jika anggota tubuh melakukan perbuatan haram, maka ia dihukum sesuai dengan perbuatan lahirnya tersebut, adapun keadaan batinnya maka itu urusan Allah ta’ala. Tidak semua orang yang dihukumi sebagai kafir dengan sebab telah menampakkan kekafiran, dengan serta merta menjadi kafir disisi Allah ta’ala dari segi batinnya, sebab perkara batin (hati) hanyalah Allah yang tahu, adapun seorang hamba didunia hanya dinilai dari segi lahirnya.
Allah ta’ala sendiri telah menetapkan kafirnya orang yang menghina dan mencela-Nya, atau menghina Kitab dan Rasul-Nya, dan Dia sama sekali tidak menerima uzur/alasannya berupa tidak adanya niat untuk mencela dan menghina-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya: Artinya : “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa”. (QS At-Taubah : 65-66).
Logika juga menunjukkan bahwa setiap manusia dinilai dan diberikan hukuman sesuai dengan apa yang mereka tampakkan, sehingga kita mendapati seseorang tidak akan rela jika dituduh melakukan perbuatan zina, juga seorang penguasa misalnya, tidak akan rela jika dicela dan dilaknat, walaupun orang yang menuduh atau melaknat tersebut beralasan bahwa ia melakukannya tanpa ada tujuan mencela/menuduh.
Allah ta’ala memerintahkan untuk memberikan hukuman had atas orang yang menuduh orang lain berzina tanpa bukti yang jelas, dengan hukuman atau had pemfitnah yaitu 80 cambukan, dan alasan si penuduh bahwa ia cuma becanda atau main-main sama sekali tidaklah diterima.
Seorang pemerintah juga pasti akan menghukum dan membuat jera orang-orang yang mencelanya baik dengan maksud mencela ataupun tidak, sebab kalau ia membiarkan mereka becanda dan mencela kehormatannya, maka kewibaannya akan jatuh.
Begitu banyak dalil-dalil dari Al-Quran dan Sunnah yang menunjukkan adanya hukuman atas kezaliman orang-orang yang tidak mau tahu menahu/tidak peduli tentang besarnya kezalimannya baik dari segi Naql (dalil syar’i) maupun logika, dan juga menunjukkan tertolaknya semua alasan/uzur kezalimannya tersebut. Dalam hadis shahih, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata : Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
إن العبد ليتكلم بالكلمة من سخط الله لا يلقي لها بالا يهوي بها في جهنم سبعين خريفا
Artinya : “Sesungguhnya seorang hamba kadang mengucapkan suatu perkataan yang menyebabkan kemurkaan Allah, sedangkan ia tidak peduli dengannya, padahal hal itu menjerumuskannya kedalam neraka jahannam selama 70 tahun”. 6
Orang tersebut telah ditentukan oleh Allah untuk mendapatkan azab walaupun alasannya ‘tidak peduli’ dengan ucapan yang keluar dari lisannya, atau tidak tahu menahu tentang bobot dan akibat ucapannya ; karena ia memang lalai dalam menimbang ucapannya, andai ia memikirkan dan menimbang ucapannya tersebut sedikit saja, tentu akan jelas baginya keburukan ucapan tersebut. Juga dalam hadis Bilal bin Harits dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
وإن أحدكم ليتكلم بالكلمة من سخط الله ما يظن أن تبلغ ما بلغت, فيكتب الله عليه بها سخطه إلى يوم يلقاه
Artinya : “Sungguh salah seorang diantara kamu kadang mengucapkan suatu ucapan yang menyebabkan murka Allah ta’ala, padahal ia tidak menyangka akibat ucapannya tersebut, lalu Allah ta’ala menetapkan atasnya kemurkaan-Nya karena ucapannya tersebut hingga hari menghadap kepada-Nya “.7
Kesimpulannya, dalih seseorang bahwa celaan dan laknatnya terhadap Allah ta’ala terucap dari lisannya tanpa ada niat mencela atau kesengajaan menghina ; hanyalah alasan yang diperindah oleh iblis pada manusia, agar ia tetap berada dalam kekafiran, dan terkungkung dalam kezaliman dirinya terhadap Rabbnya. Syaithan tidaklah memperindah kekufuran terhadap manusia kecuali jika ia terlebih dahulu merasukkan padanya godaan yang menenangkan hatinya, berupa syubhat logika yang rapuh , atau syubhat syar’i yang lemah, yang tidak berpijak diatas timbangan pemahaman shahih yang jauh dari hawa nafsu.
Diantara godaan iblis dan syubhatnya atas manusia adalah ; membuat remeh kekafiran dan dosanya dalam pandangan matanya, dengan menampakkan atau membesar-besarkan ketaatan-ketaatannya hingga mematikan perasaan bersalah dan akibat maksiat dalam dirinya yang penuh dosa, seperti godaannya terhadap orang yang mencela Allah ta’ala dari kalangan orang awam bahwa ia –walaupun mencela Allah- tapi masih mengucapkan dua kalimat syahadat, dan berbakti pada orangtua, atau bahkan masih menunaikan shalat lima waktu.
Dengan godaan yang seperti inilah, dahulu Kaum musyrikin Arab di Kota Mekah tersesat, dimana mereka berbuat syirik kepada Allah ta’ala dan menyembah patung-patung selain-Nya, sambil membayangkan dalam hati bahwa mereka telah berbuat banyak kebaikan diantaranya melayani konsumsi jamaah haji, memakmurkan Masjidilharam, dan membungkus ka’bah dengan kain; akan tetapi semua ini tidaklah memberikan mereka manfaat disisi Allah ta’ala karena menyekutukan Allah dengan selain-Nya menafikan sikap pengagungan terhadap-Nya. Walaupun mereka mengagungkan Masjidilharam namun mereka ternyata kafir terhadap Rabb/pemilik Masjidilharam, padahal Al-Bait (Ka’bah) diagungkan karena sebagai bentuk pengagungan terhadap Allah, dan Allah sama sekali tidak diagungkan karena keagungan Al-Bait. Allah ta’ala berfirman :
۞أَجَعَلۡتُمۡ سِقَايَةَ ٱلۡحَآجِّ وَعِمَارَةَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ كَمَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَجَٰهَدَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۚ لَا يَسۡتَوُۥنَ عِندَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ ١٩
Artinya: “Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim”. (QS At-Taubah 19).
Betapa banyak terjadi, keimanan seseorang hanyalah sekedar klaim, dikarenakan adanya perkara yang menafikan keimanannya tersebut, Allah ta’ala berfirman :
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَبِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَمَا هُم بِمُؤۡمِنِينَ ٨
Artinya: “Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian,” pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman”. (QS Al-Baqarah 8).
Sebab itu, sangat bertentangan antara klaim mengagungkan Allah ta’ala dan mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan perbuatan mencela dan menghina-Nya.
Oleh Maulana La Eda, L.c
1 .Al-Shorim Al-Maslul, hal. 102.
2 .Al-Tamhid karya Ibnu Abdil-Barr (4/226), dan Al-Istidzkar karya Ibnu Abdil-Barr (2/150).
3 .Al-Syifaa (2/270).
4 .Lihat : Al-Muhalla karya Ibnu Hazm (11/411), dan Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (9/33), Al-Shorim Al-Maslul karya Ibnu Taimiyah (hal 512), Al-Furu’ karya Ibnu Muflih (6/162), Al-Inshaf karya Al-Mardawi (10/326), dan Al-Taj Wal-Iklil karya Al-Mawwaq (6/288).
5 .Al-Syifaa karya Al-Qadhi ‘Iyadh 2/271
6 .HR Bukhari (6478) dan Muslim (2988) secara ringkas.
7 .HR Ahmad (3/469 no.15852).dan Ibnu Hibban (280).