Bermazhab atau mengikuti salah satu mazhab fiqh islam tertentu dalam kehidupan beragama merupakan persoalan klasik yang telah dibahas oleh para ulama dalam berbagai buku-buku ‘Ushul Fiqh’ lintas mazhab yang empat: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Untuk mengetahui hukum bermazhab dalam persoalan fiqh ini, maka kita perlu mengetahui bahwa ‘cara bermazhab’ yang populer ada dua macam:

Pertama: Menjadikan salah satu mazhab fiqh sebagai fondasi atau dasar keilmuan.
Kedua: Menjadikan salah satu mazhab sebagai patokan dalam beragama. (lihat: Syarh Raf’I Al-Malaam – Syaikh Yusuf Al-Ghufais: Pelajaran 8 – Maktabah Syamilah).

Dua macam ‘cara bermazhab’ ini tentunya memiliki masing-masing hukum tersendiri yang akan dibahas dalam poin-poin selanjutnya.

PERTAMA:
Menjadikan salah satu mazhab fiqh sebagai fondasi atau dasar keilmuan, yang dengannya seorang muslim bisa menapaki jenjang ilmu fiqh secara teratur. Gambaran ‘cara bermazhab’ seperti ini adalah misalnya seseorang mempelajari ilmu fiqh dalam mazhab syafi’iyah lewat buku-buku fiqh mazhab syafi’iyah sehingga ia pun memahami ushul atau furu’ mazhab syafi’iyah tanpa adanya sikap fanatik buta terhadap mazhab syafi’iyah, atau tanpa merasa wajib harus mengamalkan seluruh ajaran atau pendapat mazhab syafi’iyah bila menyelisihi pendapat mazhab lain yang lebih benar.

Cara bermazhab seperti ini sudah merupakan kebiasaan para ulama kita sepeninggal para imam mazhab yang empat hingga zaman sekarang. Lewat cara bermazhab seperti inilah ilmu fiqh mazhab yang empat bisa tersebar didunia islam selama berabad-abad.

Lalu apa hukum cara bermazhab seperti ini ? Jawabannya: para ulama telah sepakat akan kebolehan ‘cara bermazhab’ seperti ini dengan dalil bahwa ‘cara bermazhab’ seperti ini merupakan kebiasaan para penuntut ilmu dan ulama islam yang turun temurun selama berabad-abad setelah zaman imam mazhab yang empat, khususnya setelah abad 4 H, jarang sekali kita mendapati ulama atau penutut ilmu yang mempelajari ilmu fiqh tanpa melewati ajaran fiqh mazhab yang mu’tamad dalam islam.

Cara bermazhab yang seperti inilah yang disinggung oleh Al-Hafidz Adz-Dzahabi rahimahullah dalam ucapannya: “Seorang penuntut ilmu hendaknya terlebih dahulu mendalami salah satu buku fiqh (dalam mazhab yang empat -pent), bila ia telah menghafalnya, maka ia hendaknya mengkajinya dan menelaah buku-buku syarah / penjelasannya, bila ia seorang yang cerdas dan memiliki pemahaman yang kuat: apabila melihat dalil-dalil para ulama (yang berbeda-beda) maka ia harus selalu merasakan adanya muraqabah dari Allah, dan berhati-hati dalam agamanya (dalam mengambil pendapat tertentu) karena sebaik-baik agama adalah sikap wara’ (sikap kehati-hatian dalam beragama)”. (Siyar A’lam An-Nubala’: 8/90-91).

Tentunya buku fiqh yang dimaksudkan oleh Adz-Dzahabi ini adalah salah satu buku fiqh mazhab yang empat yang merupakan lazim dijadikan metode pelajaran fiqh dalam menuntut ilmu di era beliau.

Syaikh Ibnul-‘Utsaimin rahimahullah (1421 H) menjelaskan: “Boleh bagi seseorang untuk menisbatkan diri pada salah satu mazhab para imam (yang empat), bila Allah memberinya ilmu, pemahaman, dan sikap ittiba’ (terhadap sunnah): maka ia tetap boleh menisbatkan diri kepada mazhab imam tertentu dengan cara mempelajari kaidah dan ushul mazhabnya, namun bila ada dalil yang lebih benar (diluar mazhabnya) maka ia wajib mengikutinya … sebab itu kita banyak mendapati para imam dan ahli fiqh besar: mereka menisbatkan diri kepada salah satu mazhab tertentu (meskipun menyelisihinya dalam beberapa pendapatnya -pent) semisal: Syaikhul-Islam (Ibnu Taimiyah), Ibnul-Qayim, An-Nawawi, Ibnu Hajar (Al-‘Asqalani) dan selain mereka, mereka ini adalah para imam besar yang menisbatkan diri kepada salah satu mazhab yang empat, dan ini tidak dianggap sebagai suatu aib atau cara yang keluar dari jalan para salaf sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang pada zaman ini yang mengklaim bahwa mengkaji dan mempelajari ilmu fiqh lewat salah satu mazhab tertentu merupakan sikap fanatik buta terhadap mazhab tersebut. Ini merupakan pemahaman yang salah, yang benar adalah bahwa fanatik buta terhadap suatu mazhab dengan merubah-rubah nash (dalil) agar menyepakati pendapat mazhab adalah kesalahan besar, namun kalau saya misalnya hanya menuntut ilmu fiqh lewat mazhab tertentu dan membangun ilmu fiqhku lewat kaidah dan ushul mazhab tersebut dan apabila ada dalil (mazhab lain) yang menyelisihi mazhabku saya langsung mengambilnya: maka hukumnya boleh secara mutlak, yang terlarang hanyalah sikap fanatik buta”. (At-Ta’liq ‘Ala Iqtidhaa’ Ash-Shiraat Al-Mustaqim: Hal.149).

KEDUA
Menjadikan salah satu mazhab sebagai patokan mengamalkan ajaran agama. Cara bermazhab jenis ini terbagi dalam dua macam:

1.Menjadikan mazhab sebagai patokan dalam mengamalkan ajaran agama namun tidak fanatik buta dengannya, artinya bila ada dalil yang lebih benar diluar mazhabnya yang ia ketahui maka ia mesti meninggalkan pendapat mazhabnya, atau tidak mencela pemeluk mazhab lain hanya karena perbedaan mazhab. Hukum cara bermazhab seperti ini adalah boleh.

2.Menjadikan mazhab sebagai patokan kebenaran dalam beragama, sehingga ia pun fanatik buta dengan mazhabnya, menjadikan mazhab sebagai tolak ukur mencintai dan membenci muslim lainnya, serta menganggap bahwa mazhab yang ia ikutilah yang paling benar secara mutlak. Hukum cara bermazhab seperti ini adalah haram.
Ibnu Muflih rahimahullah (762 H) berkata: “Sebagian ashaab kami (para ulama hanabilah), malikiyah dan syafi’iyah menyebutkan bahwa apakah ada keharusan untuk mengikuti salah satu mazhab dengan mengambil seluruh pendapat didalamnya) baik yang ringan maupun yang berat ?? Para ulama berbeda pendapat dalam dua pandangan, yang paling populer adalah tidak ada keharusan sesuai pendapat jumhur ulama sehingga ia bebas memilih pendapat, dan menurut sebagian ashaab kami dan sebagian ulama syafi’iyah: seseorang berusaha menentukan mazhab yang paling benar baginya lalu mengikutinya. Pendapat kedua adalah ia harus bermazhab … akan tetapi sebagian ashaab kami menyatakan bahwa: keharusan bermazhab dengan mengambil seluruh pendapatnya baik yang ringan maupun yang berat merupakan bentuk ketaatan terhadap perintah dan larangan –secara mutlak- kepada selain Nabi shallallahu’alaihi wasallam, dan hal ini menyelisihi ijma’ “. (Ushul Fiqh – Ibnu Muflih: 4/1562, dan lihat juga: At-Tahrir wa At-Tahbir – Ibnu Al-Muwaqqat Al-Hanafi: 3/345).

Dalam Kitab Al-Majmu’ (1/55) Imam An-Nawawi rahimahullah (676 H) juga menyebutkan dua perbedaan pendapat dalam bermazhab ini, apakah wajib atau tidak untuk bermazhab dengan mengambil seluruh pendapat mazhab tersebut ? Lalu beliau dan kebanyakan para ulama syafi’iyah memandang kebolehannya dan tidak sampai taraf wajib, tentunya dengan syarat tidak mengambil pendapat mazhab lain sesuai hawa nafsunya. Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah (974 H) juga menyatakan: “Pendapat yang sesuai dengan dalil adalah tidak ada kewajiban untuk bermazhab dengan mazhab tertentu, bahkan boleh meminta fatwa dari siapapun yang ia kehendaki dengan syarat tidak boleh mengambil pendapat yang ringan-ringan (dari semua mazhab)”. (Al-Fatawa Al-Fiqhiyah: 4/305).

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu Syaikh (1389 H) juga menjelaskan: “Bermazhab dengan salah satu mazhab yang empat hukumnya boleh, bahkan kebolehannya sudah merupakan kesepakatan, atau hampir menjadi suatu kesepakatan (para ulama), dan tidak ada larangannya didalamnya seperti menisbatkan diri kepada salah satu imam mazhab yang empat sebab mereka adalah para imam (mujtahid) sesuai ijma’ umat. Dalam persoalan (bermazhab) ini orang-orang memiliki tiga pandangan, dua pandangan menyimpang, dan satu yang pertengahan: yaitu pertama: ada kaum yang tidak membolehkan bermazhab dengan mazhab tertentu secara mutlak, dan ini pendapat yang salah, kedua: kaum yang bermazhab secara kaku (fanatik) dan tidak lagi mengkaji kebenaran (diluar mazhabnya), ketiga: kaum yang memandang bolehnya bermazhab, dan bila ada dalil yang lebih benar dari salah satu mazhab yang empat mereka langsung mengambilnya”. (Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim: 2/17 dengan sedikit perubahan).

Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah (1420 H) menjawab ketika ditanya apakah seorang muslim wajib mengikuti mazhab tertentu ?? Jawaban beliau: Tidak wajib, bila ia ingin mengikuti salah satu mazhab sedang ia tidak paham dengan dalil-dalil karena ia bukan penuntut ilmu yang memahami dalil, maka hukumnya boleh baginya bermazhab, namun ia tetap wajib bertanya mengenai permasalahan agamanya kepada para ulama … agar ia berhati-hati dalam perkara agamanya, dan boleh baginya meskipun ia mengikuti mazhab syafi’i, maliki, hanbali, ataupun hanafi … “. (lihat: http://www.binbaz.org.sa/noor/1761).

Kesimpulannya: bermazhab -dengan dua jenisnya yang telah disebutkan diatas- dibolehkan dalam islam dengan syarat tidak adanya sikap fanatik dalam menjalankannya. Terakhir, penulis menukil ucapan Syaikh Yusuf Al-Ghufais hafidzhahullah: “Ungkapan bahwa ‘meninggalkan praktek bermazhab adalah sikap salafiyah’ tidaklah benar, sebagaimana juga dikatakan ‘bukanlah bagian sikap salafiyah mewajibkan bermazhab (dengan sikap fanatik)” (Syarah Hadis Al-Iftiraq, Pelajaran 2, Maktabah Syamilah). Wallaahu a’lam.

Maulana La Eda, Lc

Artikulli paraprakKementrian Desa PDT & Transmigrasi Ajak Wahdah Islamiyah Turut Bangun Desa
Artikulli tjetërPasca Muktamar, Pengurus WI Gorontalo Berkunjung Ke DPR RI

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini