Hikmah Kisah Fenomenal Orang Tua Imam Abu Hanifah Rahimahumullah

Date:

Buah apel terkenal dengan cerita dongeng putri salju yang diangkat oleh budaya barat untuk mempengaruhi mentalitas generasi ke generasi. Selain berdampak buruk bagi psikologi generasi kaum muslimin kisah putri salju itu hanyalah sebuah dongeng belaka  yang tidak jelas kebenarannya dan tidak patut untuk dibanggakan apalagi diidolakan.

Dalam sejarah Islam sendiri kisah cinta yang berawal dari buah apel adalah shohih kebenarannya. Yang kemudian menjadi penyebab lahirnya seorang imam besar umat Islam. Bagaimana kisahnya ? berikut kami sajikan kehadapan anda.

Kala terik matahari membumbung tinggi, langkah kian melambat. Setapak demi setapak tetap dilangkahkan meski rasanya begitu berat. Tsabit bin Ibrahim seorang pemuda sholeh sedang berjalan di pinggir kota Kuffah yang kini berada di negara Iraq. Panas kian terasa tiba tiba ia melihat sebuah apel terjatuh dari batangnya dan keluar dari pagar kebunnya. Melihat buah apel yang ranum tergeletak itu ditambah dengan cuaca yang panas Tsabit merasa sangat tertarik dan ingin memakannya. Begitu singkat ia langsung memakan buah apel tersebut hingga tersisa setengah hingga tiba-tiba ia teringat bahwa buah apel itu bukanlah miliknya dan ia belum mendapatkan izin dari pemiliknya. Ia teringat ada orang yang bersusah payah untuk menanam dan merawat pohon ini hingga berbuah. Maka tanpa berfikir panjang Tsabit langsung memasuki kebun tersebut dan berniat mencari pemilikya untuk meminta keikhlasan atas buah apel yang telah ia makan.

Di dalam kebu tersebut ia melihat seorang laki-laki tua yang sedang membersihkan kebun tersebut dan bergegas mendekatinya.

Tanpa basa basi ia langsung berkata, “aku telah memakan setengan dari buah apel ini, aku berharap Engkau  menghalalkannya.” Dengan nada penuh penyesalan sambil menunjukkan buah apel tersebut.

Orang itu berkata, “aku bukanlah sang pemilik kebun, aku hanya ditugaskan untuk merawat dan menjaga tanaman yang ada di kebun ini.”

Dengan raut wajah yang menyesal atas apa yang telah ia lakukan kemudian ia bertanya kembali, “lantas di mana kah rumah pemilik kebun ini? bisakah Engkau memberikan ku alamatnya, aku akan ke rumahnya untuk meminta agar menghalalkan buah apel yang telah aku makan ini.

Tukang kebun itu memberitahukan, “Apabila Engkau ingin pergi kesana maka Engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam”.

Dengan penuh tekad daripada harus berurusan panjang di akhirat kelak, lebih baik menempuh perjalanan yang begitu jauh berharap agar pemilik kebun mengikhlaskan apel yang telah ia makan

Tsabit  berkata kepada orang tua tersebut, “Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam sudah memperingatkan kita melalui sabdanya: ‘Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka.’”

Akhirnya Tsabit pun berangkat memulai perjalanan yang sangat jauh dan penuh rintangan itu. Ia telah bertekad sehingga jarak yang jauh bukan menjadi penghalang bagi dirinya untuk menyelesaikan permesalahan yang bisa berbuntut hingga ke akhirat ini.

Singkat cerita sesampainya Tsabit di rumah sang pemilik kebun, ia mengetuk pintu dan mengucapkan salam dengan sopan. Hingga keluarlah sang pemilik kebun dan Tsabit langsung mengabarkan, “Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur memakan setengah dari buah apel mu yang jatuh ke luar kebun. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa yang sudah saya makan itu?”

Pemilik kebun tersebut  mengamati Tsabit dengan cermat, telihat bahwa ia telah menempuh perjalanan yang begitu jauh dari kebunnya. Lalu dia berkata tiba-tiba, “Tidak, aku tidak akan menghalalkannya kecuali engkau mau memenuhi satu syarat.”

Mendengar perkataan sang pemilik kebun tersebut Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak dapat memenuhinya. Maka segera ia bertanya, “sekiranya apakah itu syaratnya tuan?”

Lelaki itu menjawab, “Engkau harus menikahi putriku!”

Tsabit tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, “Apakah hanya karena aku makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebun, aku harus menikahi putrimu?”

Namun pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, “Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia adalah seorang yang matanya buta, lisannya bisu, dan juga tuli pendengarannya. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh!”

Tsabit amat terkejut dengan penjelasan si pemilik kebun. Ia berkata dalam hatinya, ‘apakah wanita seperti itu patut aku persunting sebagai isteri gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya?’

Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, “Selain syarat tersebut  aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah engkau makan!”

Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, “Aku akan menerima pinangannya dan perkawinannya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ‘alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta’ala, semoga dengan jalan inilah aku dapat memasuki surga Allah Subhanahuwata’ala”.

Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah Ijab Qabul selesai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui isterinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk ke kamar istrinya, dia berfikir akan tetap mengucapkan salam walaupun isterinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah mengelilingi dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam, “Assalamu”alaikum…” Tak disangka sama sekali wanita yang ada di hadapannya dan kini resmi jadi isterinya itu menjawab salamnya.

Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu , dia mengulurkan tangannya  untuk menyambut tangan wanita tersebut. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang telah menjadi isterinya itu menyambut uluran tangannya. Tsabit begitu terkejut dan kehabisan kat-kata menyaksikan kenyataan ini.

“ayahnya menjelaskan bahwa dia wanita yang tuli dan bisu tetapi mengapa dia menyambut salamku dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula,” kata Tsabit dalam hatinya.

Tsabit berfikir, mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya?

Setelah Tsabit duduk di samping isterinya, dia bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa ia menggambarkan mu seperti itu?”

Wanita itu kemudian berkata, “Ayahku benar,aku buta karena mataku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah”.

Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa Engkau tuli, lantas mengapa?

” Wanita itupun menjawab, “Ayahku benar, kerana telingaku tidak pernah ku gunakan untuk mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa Aku bisu dan lumpuh, bukan?” tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini telah sah menjadi suaminya.

Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan isterinya.

Selanjutnya wanita itu berkata, “Aku dikatakan bisu karena lisan ku dalam banyak hal Aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja dan tidak pernah digunakan untuk mengatakan hal-hal yang dilarang. Aku lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang dapat menimbulkan kemurkaan Allah Ta’ala.”

Alangkah bahagianya Tsabit mendapatkan isteri yang ternyata sangat soleh dan wanita yang memelihara dirinya.

Tsabit menggambarkan wajah istrinya bagaikan bulan purnama di malam yang gelap

Tsabit bin Ibrahim dan isterinya yang salihah dan cantik itu hidup penuh rukun dan bahagia. Tidak lama kemudian mereka dikurniai seorang putra yang ilmunya tersebar  ke seluruh penjuru dunia, beliau adalah Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit, senior para Imam besar, yakni  imam Malik, imam Syafi’I dan imam Ahmad Radhiyallahu’ahhum.

Setidaknya ada 3 hikmah yang dapat kita ambil dari kisah ini,

Yang pertama, bahwa harusnya kita berhati hati dalam halal haramnya makanan atau benda yang kita ambil. Karena sesuatu hal yang bukan milik kita apabila kita gunakan tanpa seizin pemiliknya maka dapat menjadi penghalang bagi kita memasuki surga.

As Saa’ib bin Yazid meriwayatkan dari bapaknya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kamu mengambil tongkat saudaranya baik main-main maupun serius. Jika salah seorang di antara kamu mengambil tongkat saudaranya, maka kembalikankah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan ia menghasankannya. Hadits ini dihasankan pula oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih At Tirmidzi)

Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Umamah secara marfu’ disebutkan, “Barangsiapa yang mengambil harta saudaranya dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan masuk surga. Lalu ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun hanya sedikit?” Beliau menjawab, “Meskipun hanya sebatang kayu araak (kayu untuk siwak).“

Yang kedua, bahwa kita harus mempermudah urusan pernikahan seseorang. Apabila telah dating seorang pemuda yang sholeh untuk meminang anak kita, maka haruslah kita mempermudah urusannya agar tidak terjadi kerusakan di muka bumi seperti yang diterangkan dalam hadi Nabi Shalallahu’alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, Ash-Shahihah no. 1022)

Yang ketiga, bahwa untuk mendapatkan keturunan yang sholih haruslah dimulai dari keshalihan orang tuanya. Apabila orang tuanya sholih maka ia akan mampu mendidik anak-anaknya untuk menjadi pribadi yang ta’at dan bertaqwa kepada Allah Subhanahuwata’ala.

Ahmad Daud

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

Buka Dapur Umum di Gaza Palestina, Ribuan Porsi Makanan Siap Saji Didistribusikan Se Khan Yunis

GAZA, wahdah.or.id – Momen gencatan senjata selama sepekan dimanfaatkan...

Ustadz Yusran Anshar Sebut Dakwah dan Tarbiyah Adalah Jihad yang Utama Sekarang

MAKASSAR, wahdah.or.id - Ketua Dewan Syariah Wahdah Islamiyah Ustaz...

Wahdah Islamiyah Ajak Kader Ikut Atasi Masalah Lingkungan dengan Menanam Pohon

MAKASSAR, wahdah.or.id - Musyawarah Kerja Nasional XVI Wahdah Islamiyah...

Hadiri Mukernas XVI Wahdah Islamiyah, Prof Waryono Dorong LAZ Lebih Optimal dalam Gerakan Zakat dan Wakaf

MAKASSAR, wahdah.or.id – Prof Waryono Abdul Ghafur, selaku Direktur...