Lanjutan kisah dari -> MENDUNG DI LANGIT KARBALA (episode 1)
Mendung Di Langit Karbala (Episode 2)
HIJRAH YANG TAK DIRINDUKAN
Ustadz Maulana Le Eda, Lc
Nampaknya Hasan-Husein radhiyallahu’anhuma tak kan lagi ada dalam eluk-elukan Kaum Syiah di kota pesisir Sungai Eufrat itu. Perjanjian damai dengan Muawiyah merubah wajah Kota Kufah seratus delapan puluh derajat. Dari yang tadinya sebagai Ibukota Khilafah Islamiyah selama beberapa tahun, kini ia akan tinggal menjadi satu kenangan indah dalam literatur ataupun novel-novel sejarah. Mau tak mau, mereka harus segera meninggalkan kota itu, kota yang penuh dengan kelumit kenangan dan ragam huru hara. Disanalah Sang Ayah ditikam oleh tangan zalim seorang Khawarij, AbdurRahman bin Muljam, dan disana pulalah jasad sepupu sekaligus menantu Baginda Rasulullah itu dimakamkan. Kota yang seringkali dijuluki “Madinatul-Fitan” itu akan kehilangan dua sosok sayid, dua manusia terbaik yang lahir dari nasab kenabian dan terbina dalam naungan tarbiyah nabawiyah.
Sangat terasa hambar bagi Sang Adik tuk meninggalkan kota yang telah bertahun-tahun menjadi bagian dari hidupnya. Kota indah yang penduduknya selalu mendukung perjuangan Sang Ayah dan Ahli Bait secara zahir. Namun apalah daya Sang Kakak telah bertekad hijrah membawa serta seluruh keluarga Sang Ayah kembali ke tanah tumpah darah mereka berdua, negeri Sang Kakek, Kota Baginda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
Tak harus menanti lama, kabar hijrah itu pun tersebar keseluruh kota. Penduduk Kota Kufah seakan tak sanggup bila harus merelakan kembalinya dua putera Fatimah itu ke Tanah Hijaz. Alasannya bukan karena harus berpisah dengan keduanya dan merelakan kota itu kembali lengang tanpa singgasana Khilafah yang telah bertahun-tahun berdiri kokoh disana. Tapi lebih dari itu, penduduk kota ini akan kehilangan figur utama dalam proses pemberontakan melawan Khalifah Muawiyah dan bala tentaranya dari Tanah Syam.
Sehingga berembuglah para pemuka Syiah Kufah demi menentukan satu langkah. Hasan yang penuh wibawa dan keteguhan seperti Sang Kakek tak mungkin dirayu untuk merubah segala keputusan yang diambilnya. Adapun Husain yang memang sedari awal menampakkan ketidaksetujuan dengan keputusan Sang Kakak, mungkin saja bisa dibujuk atau setidaknya dijadikan wasilah agar mereka tak sampai hati meninggalkan Kota Kufah. Demikian nalar pemuka-pemuka Kota Kufah dalam musyawarah terbatas itu.
Lalu sebagian mereka semisal Jundub bin Abdullah Al-Azdi, Musayyab bin Najabah Al-Fazari, Sulaiman bin Shurad Al-Khuza’i, dan Sa’id bin Abdullah Al-Hanafi mendatangi Husain tuk mengikrarkan sumpah setia atas perjuangan bersamanya, membujuknya agar terus mengangkat senjata dan melangsungkan perjuangan meraih kembali singgasana yang kini telah ada ditangan Muawiyah di negeri Syam.
Sambil tersenyum sinis beliau memandang kearah mereka seraya berujar: “Bersabarlah kalian, sesungguhnya ketentuan Allah itu telah ditetapkan, dan pasti terjadi. Sungguh saya tidak menghendaki adanya perdamaian ini, bahkan lebih baik saya mati dari melakukan hal ini, akan tetapi kakak sayalah yang memaksaku tuk menurutinya, hingga saya tak punya pilihan lain…”.1
Kalimat inilah yang membuat mereka harus merelakan perpisahan yang tak terduga ini, walaupun harus rela membiarkan Kota Kufah dipimpin oleh Wali Kota pilihan Khalifah Muawiyah atau mesti bersabar bila harga diri mereka terinjak-injak oleh bala tentara Muawiyah.
***
Jalan-jalan berliku berbalutkan pasir gurun dan berhiaskan bukit-bukit gundul itu, membentang ribuan kilometer dari timur laut Jazirah Arab hingga bagian baratnya di Tanah Hijaz. Angin-angin gurun yang terkenal ganas itu seringkali mendesau kencang menghamburkan gumpalan debu pasir hingga membumbung keudara membentuk awan coklat muda hingga tak jarang menghalangi jarak pandang yang cukup mengganggu. Belum lagi terik matahari dan panasnya udara yang cukup menggerahkan bahkan seakan memanggang kulit para musafir yang melewati hamparan pasir luas itu. Hanyalah onta-onta perkasa atau kuda-kuda tangkas yang bisa mengarungi lautan gurun yang tandus dan tak berpenghuni itu.
Karena mungkin itulah nasib terbaik yang ditakdirkan oleh-Nya, jalan inilah yang kemudian digunakan iring-iringan kafilah Ahli Bait tuk meninggalkan Kufah kembali berhijrah ke negeri tercinta mereka, negeri yang begitu indah, damai, dan penuh kesyahduan yang telah bertahun-tahun ditinggalkan2.
Dahulu, 5 tahun lalu, jalan inilah yang dilewati oleh mereka bersama Sang Ayah, tatkala berhijrah memindahkan Ibukota Khilafah dari Madinah ke Kota Kufah. Ya, tepat tahun 36 H, Amirul Mukminin Ali bin Thalib radhiyallahu’anhu menyusuri jalan-jalan itu menuju Kota Kufah. Saat itu, ketika memasuki Kufah, beliau mengawalinya dengan shalat dua rakaat dalam Masjid Jami’ Kufah yang populer, lalu menaiki mimbar dan berkhutbah memotivasi seluruh penduduk Kufah agar selalu berbuat kebajikan dan mentaati Allah serta melarang mereka dari kemungkaran dan maksiat3.
Setelahnya, disanalah beliau melewatkan hari-harinya dalam menjalankan roda pemerintahan yang saat itu dirundung berbagai problem dan huru hara. Dari sana pula beliau mengirim surat dan beberapa utusan kepada Muawiyah di Syam agar segera berbaiat kepada beliau sebagai Khalifah yang sah. Hanya saja Muawiyah enggan berbaiat kecuali jika para pembunuh Khalifah Utsman bin Affan yang melebur dalam pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib ditangkap dan dijatuhkan hukum qishah atas mereka. Tentu saja, tidaklah Perang Shiffin yang terkenal itu terjadi melainkan karena faktor perbedaan pendapat diantara keduanya. Ali menginginkan Muawiyah mempercepat baiat kepada dirinya, sedangkan Muawiyah ingin mempercepat proses penangkapan dan penetapan hukum qishash bagi para pembunuh pamannya, Utsman bin Affan, sebelum melakukan baiat terhadap Ali, radhiyallaahu’anhum. Namun separah apapun peperangan dan perselisihan yang terjadi antara Ali dan Muawiyah, ternyata keduanya tetap saling menghargai dan menghormati sebagai bagian dari sahabat Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam.
Satu hari di Kota Kufah, sampailah satu kabar pada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib bahwa dua orang pasukannya mencela dan mencaci maki Muawiyah dan bala tentaranya dari penduduk negeri Syam. Beliau lalu mengirim utusan pada mereka berdua agar menghentikan kecaman dan celaan tersebut. Hingga datanglah keduanya menghadap beliau dan berkata: “Wahai Amirul Mukminin, bukankah kita berada pada pihak yang benar, sedangkan mereka berada dipihak yang salah?”.
“Ya, betul, Demi Rabb Ka’bah”. Jawab beliau.
“Lantas kenapa engkau melarang kami dari mencela dan mencaci makinya?”.
Dengan jawaban hikmah yang harusnya tergores dengan tinta emas, beliau menjawab: “Saya hanya tidak suka bila kalian berdua menjadi orang-orang yang suka melaknat dan mencaci maki, akan tetapi katakanlah: “Ya Allah, hentikanlah pertumparan darah antara kami dan mereka, damaikanlah antara kami dan mereka, keluarkanlah mereka dari jalan salah yang mereka tempuh agar orang jahil diantara mereka bisa mengetahui kebenaran, serta orang yang memasukkan dirinya dalam jalan batil tersebut bisa melepaskan diri dari kedurhakaannya”.4
Dalam riwayat lain, Ali berkata: “Saya tidak suka bila kalian menjadi tukang pencela, lebih baik bagi kalian bila menyebut perbuatan dan kondisi mereka yang berada dalam kesalahan, niscaya hal ini lebih benar, dan sangat pantas dalam memberikan mereka udzur atas kesalahan tersebut, dan lebih baik seandainya kalian mengganti cacian dan celaan kalian itu dengan doa: “Ya Allah, hentikanlah pertumparan darah antara kami dan mereka, damaikanlah antara kami dan mereka”.5
Adapun riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa Ali melakukan qunut untuk melaknat dan mendoakan kebinasaan atas Muawiyah, atau Muawiyah mendoakan laknat atas Ali, maka semuanya hanyalah desas desus dusta, sayangnya ia masih saja terselip dalam literatur-literatur sejarah, padahal sikap seorang muslim sejati adalah menganggap kisah-kisah ini laksana angin yang berlalu sebab semua itu sama sekali tidak ditopang oleh keshahihan sanad apatah lagi dalam kandungan kisah-kisahnya sangat begitu aneh dan bertentangan dengan akhlak dan sifat para sahabat radhiyallahu’anhum yang lisan dan hati mereka sangat terjaga dari kata-kata keji dan umpatan.
- SATU PERSIMPANGAN – MENDUNG DI LANGIT KARBALA (episode 1)
- HIJRAH YANG TAK DIRINDUKAN – MENDUNG DI LANGIT KARBALA (episode 2)
- MADINAH DAN SECERCAH KENANGAN – Mendung Di Langit Karbala (Episode 3)
Footnote :