Aku dan Wahdah Islamiyah
(HIJRAH disitu ada COBAAN)
Cuplikan naskah peserta lomba menulis Wahdah Islamiyah 2016
Oleh Silvie
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Awal tahun 2015 menjadi resolusi yang sangat berharga dalam hidupku, keputusan yang tidak pernah terpikirkan untuk memilih jalan yang terlihat asing bagi kebanyakan orang. HIJRAH.. Hijrah atau berpindah dari suatu keadaan kekeadaan yang lebih baik, seorang gadis berusia 20 tahun memutuskan untuk menjadi sebenar-benarnya wanita Muslimah.
Aku yang sebelumnya dengan gaya yang kata orang wanita kelaki-lakian (entahlah apa bahasanya). Aku memang sudah menggunakan kerudung, akan tetapi masih dengan gaya celana dan baju lengan panjang yang sangat jelas seolah aku bangga memperlihatkan bentuk tubuhku, model kerudung yang kata orang kekinian (pentul kiri pentul kanan), kerudung yang tidak sesuai dengan QS.An-Nur ayat 31 yang dalam surah itu dianjurkan untuk “menutupkan kain kudung sampai kedadanya dan janganlah menampakkannya kecuali kepada mahrom”.
Tidak ada satu detik dalam hidup ini tanpa Kehendak-Nya. Diakhir tahun 2014, aku yang dengan gaya becandaku ke teman-teman mengatakan aku akan mulai menggunakan Gamis (Baju panjang), kerudung yang menutupi dada. Sebagian teman-temanku mendukung, sebagiannya lagi seolah sedang mendengarkan seorang Preman yang mengatakan mau insyaf.
Mungkin ini yang disebut HIDAYAH, yang aku tidak menyadarinya bahwa Resolusi di tahun 2015 itu akan membawaku sampai pada keadaanku saat ini. Hal itupun aku seriusi dengan memutuskan untuk putus dari pacarku yang berbeda kepercayaan denganku saat itu. Trima ataupun tidak, ini adalah keputusan dan jalan yang harus kupilih. Jalan hijrah yang aku hanya berniat untuk “Coba-coba” dengan jalan itu, karena walaupun aku ingin hijrah namun kecintaanku pada Dunia saat itu masih sangat besar.
Senin, 5 januari 2015 adalah awal dan pertama kalinya aku keluar rumah dengan menggunakan baju yang bernama Gamis. Masih jelas diingatanku, gamis berwarna biru yang merupakan pemberian sepupuku itu, adalag gamis pertama yang kugunakan ke kampus.
Kata orang dimana ada HIJRAH disitu ada COBAAN, menurutku Cobaan itu adalah sakit, ujian sekolah, ujian kampus, kecelakaan, bencana alam (udah sama tsunami dan gunung meletusnya deh) hehehe.. lucu memang pemahamanku sangat sangat sedikit, bahkan lebih kurang dari sedikit jika itu berbicara soal Agama. Dan aku perlahan paham bahkan merasakan dengan sendirinya yang namanya Cobaan Hijrah. Tatapan mata teman-teman yang memandangku seperti badut yang sedang atraksi saat lewat didepan mereka, cibiran, bahkan hinaan yang aku dapatkan dari mereka yang sebelum aku hijrah adalah teman-teman yang se haha hihi (tertawa bersama) denganku, menurutku Pro dan Kontra iu wajar.
Hijrahku saat itu hanya sebatas Gamis dan khimar yang menutup dada, pemerah bibir, celak, pun pensil asil masih aku gunakan. Aku belum memaknai hijrah seutuhnya, karna saat itu aku masih berdiri sendiri, dengan lingkungan yang melihatku asing, tanpa sahabat-sahabat hijrah, dan orang-orang yang mengajarkan ilmu syar’i padaku.
Sampai pada bulan September, aku melihat salah satu teman media sosialku yang aktivitasnya setiap pekan mengikuti majelis ilmu, aku menyebutnya kajian. Akupun coba menghubungi akhwat ini lewat media sosial dan mencari info mengenai kajian yang ia ikuti. Dan pekan berikutnyapun pertama kalinya aku bergabung dengan para Akhwat yang berjilab besar, warna pakaian gelap, bahkan wajah yang tertutupi cadar dan niqob. Aku duduk dan mendengarkan muzakarah yang disampaikan. Dan setelahnya aku mulai membangun komunikasi dengan para akhwat dikajian itu dengan saling bertukar identitas dimedia sosial.
Pekan demi pekan berlalu, aku yang pelan-pelan mencoba menyesuaikan diri dengan gaya mereka, walaupun gamisku masih Tabaruj, setidaknya khimarku sudah sedikit lebih panjang dari sebelumnya, sehingganya sedikit menutupi warna yang menarik perhatian dari gamisku. Namun, belakangan aku seolah merasa risih dengan para akhwat dikajian tersebut. Mereka yang kekajian menggunakan cadar/niqob, tapi dimedia sosial mereka memasang foto profil tanpa cadar/niqob bahkan dengan riasan wajah. Iyah, aku perlahan mulai belajar mengenai Tabaruj, aku mulai belajar mengenai apa yang dimaksud “Wanita adalah sebaik-baik perhiasan dunia atau sebesar-besarnya fitnah”
Sampai pada suatu waktu, aku mendengar percakapan mengenai Manhaj. Aku yang masih terbilang awam berpikir Manhaj ini mungkin nama para ulama, atau nama para Sahabat Rasulullah (Maklum masih baru). Setelah kutanya, Manhaj itu adalah Jalan. Dan saat itupun aku tau bahwa ada beberapa Manhaj berbeda dalam Islam, walaupun memang semuanya mengatakan berpedoman pada Al-Quran dan As Sunnah. Aku yang seolah Allah gerakan hatiku untuk mencari tau soal perbedaan Manhaj ini, Allah pertemukan dengan Akhwat yang merupakan Akhwat bermanhajkan Salafush Shalih, yang tergabung dalam satu organisasi bernama WAHDAH AL-ISLAMIYAH. Alhamdulillah, Allah izinkan aku mengenal Wahdah lewat Akhwat tersebut. Dia menceritakan seperti apa Wahdah, pun aku menceritakan keganjalan-keganjalan yang kurasakan dan membuat tidak nyaman pada akhwat yang sekajian denganku kemarin. Karena aku berfikir bahwa orang yang sudah mengikuti kajian dan banyak duduk di majelis adalah orang-orang yang seharusnya sedikit banyak sudah paham mengenai ilmu syar’i. Namun, aku berusaha untuk sedikitpun tidak menyalahkana majelis itu, kembali aku mengintrospeksi diriku bahwa akulah yang harusnya lebih banyak belajar ilmu syar’i.
Ikutilah Petunjuk !! “Dan orang-orang yang mengikuti petunjuk, maka Allah tambahkan kepada mereka hidayah dan Allah berikan kepada mereka ketakwaan” (QS. Muhammad Ayat : 17). Lagi dan lagi aku percaya bahwa tidak ada suatu kebetulan, Keyakinankupun mengatakan Allah pertemukan aku dengan Akhwat tersebut merupakan suatu petunjuk. Allah membuka jalan aku lebih mengenal Wahdah yang bahkan aku pernah mendengar bahwa Wahdah adalah Organisasi Bid’ah. Benar tidaknya hal tersebut aku buktikan dengan bergabung menjadi Kader WI yang diawali dengan mengikuti kajian umum tiap pekannya di Mesjid Al-Irsyad. Dan pekan selanjutnya kami rutin mengikuti Tarbiyah di Rumah Murabbi, Murabbi yang saat ini sudah seperti kakak buatku, Kak Nurlela nama Beliau, tapi kami Akhwat memanggilanya Ummu Umar.
Seperti menemukan jalan pulang setelah tersesat dihutan antah brantah, Aku dan Wahdah Islamiyah. Ukhuwah yang dibangun bersama akhwat Wahdah begitu Indah, bahkan lebih indah dari ikatan kekeluargaan yang lahir karena garis nasab, perasaan inilah yang aku rindukan, perasaan yang tidak kutemukan pada majelisku sebelumnya. Akhwat Wahdah yang konsisten dengan cadar/niqob yang mereka gunakan adalah semata-mata karena rasa malu yang mereka miliki, adalah karena mereka ingin menjadi sebenar-benarnya Perhiasan dunia, wajah yang tanpa polesan, yang bersinar hanya dengan air wudhu, yang begitu teduh aku memandangi wajah mereka saat sedang bersama tanpa cadar/niqob, akhwat yang kini sudah lebih dari saudara kandungku sendiri, mereka yang ketika diri ini futur selalu mengingatkan. Dengan Wahdahpun aku move on dari alat-alat kecantikan, aku move on dari pensil berwarna yang membuat wajahku tampil Tabaruj didepan umum.
Diwahdah, aku mulai belajar menggunakan kain kecil penutup wajah, awalnya sebatas ikut-ikutan dengan para akhwat, keputusan yang tidak masuk dalam daftar resolusiku ditahun 2015, keputusan yang tidak sedikitpun terlintas dipikiranku, keputusan yang dengan sangat berani aku pilih walaupun awalnya takut untuk menggunakannya didepan orang tuaku, akhirnya dengan beralasan bahwa hanya jika pergi ke Tarbiyah aku menggunakannya orangtuapun mengijinkan, padahal aku kemana-mana sudah menggunakannya, hanya saja aku belum terlalu menampakkan hal tersebut keorang tuaku.
Suatu waktu, aku pernah keluar rumah dengan tidak menggunakannya, karena orangtuaku mulai curiga, namun apa yang kurasakan ? sepanjang perjalanan entah apa yang terjadi, air mata jatuh menetes, rasa malu yang begitu besar kurasakan, akupun heran rasa malu itu seperti seolah aku telah berbuat dosa dan maksiat didepan umum, bahkan orang-orang yang tidak kukenali dan sebaliknya memandangiku dengan berbagai macam raut wajah, ada yang seolah menggoda dengan panggilan ustadzah, ummi, bahkan ada yang sampai memuji. Iyah, FITNAH !! kusadari inilah yang dimaksudkan Wanita sebesar-besarnya fitnah.
Akhirnya aku menyerah dan seolah kehabisan alasan untuk hanya bisa menggunakan kain kecil tersebut. Aku yang awalnya hanya ikut-ikutan berniat mempelajari hukum cadar sebenarnya, aku ceritakan semua yang ku alami kepada Murabbi, Alhamdulillah Murabbiku memberikan pengertian dan nasihat yang sangat menenangkan hati, beliaupun meminjamkanku buku HUKUM CADAR, dan lewat buku itu Aku memutuskan bahwa Cadar adalah Wajib, yang hukumnya adalah berdosa saat kuyakini itu wajib namun aku meninggalkannya.
Saat keyakinan dan rasa malu begitu besar mengimani diri ini, saat itu pula aku mematenkan kain kecil tersebut diwajahku, yang Alhamdulillah aku membiaskaan orangtuaku terbiasa dengan pemandangan cara berpakaianku saat ini, Memutuskan sampai ada difase ini memang bukan hal mudah, sembari rutin menambah jadwal kajian yg awalnya hanya tarbiyah aku pun rutin dengan kajian umum dan Dauroh dimesjid para kader Wahdah berkumpul tiap pekannya. Karena aku yakin, amal yang tidak berilmu menurutku adalah suatu hal yang sia-sia.
Perasaan cinta yang jatuh berkali-kali kepada Sang Pemilik hidup membuat diri ini harus lebih banyak menimba ilmu syar’i, belajar mengenal Rasulullah dengan Sunnah-sunnahnya, belajar mengenal kehidupan para Salaf, diwahdah aku menemukan apa yang aku katakan kebutuhan Ruhaniahku, bukan saja sebatas Sholat 5 waktu, aku belajar hidup dan tegar diatas Sunnah Kekasih Allah, mulai dari hal-hal kecil seperti makan dan minum harus duduk dan menggunakan tangan kanan (tanpa sendok), hal-hal kecil yang dulu aku menganggapnya bukannlah hal penting, diWahdah aku belajar dan menemukan banyak hal baru, aku menemukan sebenar-benarnya diriku, aku menemukan Sahabat yang kami saling berkomitmen saat yang lainnya tidak menemukan yang lain disyurga nanti, maka mereka akan bertanya kepada Allah: “Kemana sahabatku yang dulu bersama-sama denganku dijalan dakwah, sholat, puasa dan berjuang bersama dijalanMU ?” Maka Allah berfirman : “Pergilah keneraka, lalu keluarkan sahabat-sahabatmu yang dihatinya ada iman, walaupun hanya sebesar Zarrah (HR. Ibnu Mubarak dalam Kitab “Az-Zuhd”)
Akupun teringat satu hal yang dikatakan oleh Ust. Zaitun Rasmin. Lc dalam Tausiyah pagi beliau di Gorontalo saat Wahdah diberitakan Sarang Terorist oleh saat satu media di TV Nasional, bahwa : “Jangan pernah memimpikan kejayaan umat, jangan pernah menginginkan Islam berjaya apabila kita tidak rutin dengan Tarbiyah, Kita adalah Dai dan mari berjuang bersama dijalan Dakwah”. Kalimat yang membuat mata berkaca-kaca, kalimat yang menambah semangatku untuk Tetap tegar diatas Sunnah, kalimat yang membuatku semangat mendakwahi teman-temanku dulu sebelum aku hijrah, yang kini memanggilku dengan sebutan Ninja, Terrorist, bahkan Isis.
Dengan Wahdah aku meyakini bahwa Allah adalah “APA YANG KITA PIKIRKAN”, Setiap Aktifitasku kulibatkan Allah, Tasbih, Tahlil, dan Tahmid selalu berusaha untuk tidak lupa kuucapkan dalam hati. Manfaat dan keajaiban yang aku rasakan adalah aku selalu merasakan kedamaain dalam diri, masalah-masalah yang dengan mudah aku hadapi, yang saat inipun aku sudah tidak merasakan yang namanya Gelisah, Sedih untuk hal-hal yang bersifat Dunia (Fana), apalagi Galau (kata anak remaja masa kini). Bahkan diwahdah aku mulai menghafal Quran yang setiap pekannya harus disetor kepada Murabbi selesai Tarbiyah. Lewat Wahdah aku percaya Allah berikan kesempurnaan Hidayah padaku, Hidayah yang menurutku adalah sesuatu yang lebih mahal dari Dunia dan seisinya. 3 Kata untuk Wahdah : “Damai, Bahagia, dan Cinta”
Syukron Katsiron Wahdah Al-Islamiyah, Aku kini menjadi bagianmu, menjadi kadermu, yang InsyaAllah Siap untuk sama-sama berjuang dijalan Dakwah dengan tetap berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah. Sahhallahu lanal khaira haitsuma kunna.. Aamiin Allahumma Aamiin..
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh..