HIJAB SYAR,I PELINDUNG DIRI FAKTA DAN DATA
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمٗا
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha penyayang.” (QS. Al-Ahzab,:59)
Apakah memakai pakaian tertutup bisa menekan laju pertumbuhan pelecehan seksual? Apakah memakai pakaian terbuka tidak ada korelasinya dengan muncul dan maraknya ide cabul laki-laki dan hasrat untuk melakukan pelecehan seksual?
—————————————————————————————–
Tahun 2021 di bulan maret, sebuah unjuk rasa digelar oleh sejumlah aktivis yang tergabung dalam simpul untuk Pembebasan Perempuan saat memperingati Hari Perempuan Internasional di Bandung Jawa Barat. Ada yang menarik diantara sekian banyak para demonstran, seorang perempuan memegang baliho bertuliskan “Don’t tell me how to dress. Tell them not to rape.”
Ungkapan bertuliskan “Don’t tell me how to dress. Tell them not to rape.” (Jangan tanyakan kepada saya bagaimana caranya berpakaian. Tanyakan kepada mereka untuk tidak memperkosa). Ungkapan ini menggelitik saya tentu sebagai seorang muslimah. Muncul gugatan dari para perempuan atau kelompok-kelompok tertentu terhadap klaim stigma ‘jenis pakaian’ perempuan yang tidak boleh digugat menjadi menarik dibahas bukan hanya untuk perempuan tetapi juga menjadi perhatian kaum maskulin.
Sebuah berita yang dilansir oleh detiknews di tahun 2019 ada lembaga survey nasional dibawah naungan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) melaporkan hasil surveinya tentang potensi pelecehan seksual antara perempuan dengan ‘pakaian yang terbuka’ dan dengan ‘pakai yang tertutup’. Dari keseluruhan responden yang mengalami pelecehan seksual, 17,47 persen mengenakan rok panjang dan celana panjang, di peringkat bawahnya ada perempuan berbaju lengan panjang (15,82 persen), baju seragam sekolah (14,23 persen), serta pakaian lainnya hingga 19 jenis. Perempuan berhijab pendek/sedang (13,20 persen), berhijab panjang (3,68 persen), serta berhijab dan bercadar (0,17 persen) juga kena pelecehan. Bila dijumlahkan, sekitar 17 persen mengenakan hijab.
Hal yang senada tercatat dalam bbc news indonesia, saat salah seorang wartawan berkesempatan untuk mewaancarai seorang public figure wanita berinisial HA atas pengalaman-pengalaman kasus pelecehan seksualnya. Saat berjalan kaki seorang diri, perempuan biasa mengalami pelecehan seksual baik fisik dan verbal, disentuh, diraba dirayu, difoto dan lain sebagainya. Secara ringkas, Ia bercerita traumanya berjalan kaki seorang diri walau dalam kondisi di siang hari.
Lalu tiba-tiba saya teringat, beberapa tahun yang lampau ketika masih studi S1 sepulang kuliah, menyebrangi jalan trotoar, sebuah motor dengan kecepatan penuh seperti ingin menabrak. Tetapi yang terjadi motor hanya berhenti sesaat sambil memegang bagian tubuh saya bersama teman yang berjalan kaki saat itu. Istilah ‘Mr Black’ semacam hantu disiang bolong. Sebutan untuk laki-laki bertubuh kekar dengan pakaian serba hitam yang acapkali merabah dan menyentuh perempuan. Justru uniknya, mengincar korban dengan jenis pakaian yang tertutup. Hampir mirip dengan kasus yang diceritakan oleh seorang public figure terhadap pengalaman-pengalaman tragisnya.
Fenomena pelecehan seksual sesungguhnya bukan hal yang baru. Dari masa ke masa berbagai kasus dengan waktu dan lokasi yang berbeda terjadi. Di transportasi umum, di toilet umum, kalangan dewasa, remaja hingga anak-anak. Bukan sekadar fisik lagi pelecehannya tetapi juga sudah merambah menjadi pelecehan verbal (dikomentari dengan senonoh,diklakson, suara kecupan, komentar porno dan lain sebagainya) adalah beberapa contoh dari pelecehan seksual secara verbal. Apalagi dengan semakin banyaknya jumlah pengguna internet (sosial media) memperluas jangkauan pelecehan verbal ini terjadi.
Menjadi penting untuk dibahas, ketika sejumlah perempuan baik dari mereka yang tergabung dalam komunitas tertentu merasa bahwa perempuan dengan jenis baju terbuka bukanlah pemicu terjadinya pelecehan seksual. Mencerna dengan analisis berbagai sisi, dari sejumlah kasus yang ada pelecehan seksual yang terjadi dengan hanya memakai satu indikator penilaian atau variable penilai yaitu ‘karena perempuan memakai pakaian yang terbuka’ maka mereka mudah dilecehkan tentu tidak juga bisa dijadikan kesimpulan secara umum. Ditambah adanya sajian data dari berbagai survei yang melibatkan suara korban kasus pelecehan seksual yang mayoritas bukan hanya berbaju terbuka.
Muslimah Melawan Pelecehan Seksual
Mencari solusi untuk fenomena seperti ini bukan hanya dengan satu atau dua cara saja. Aksi perlawanan yang bisa dilakukan untuk menekan jumlah kasus pelecehan seksual tentu perlu dilakukan dengan kesadararan penuh. Pelaku yang berniat melecehkan tidak bertindak secara tiba-tiba. Pola pikir, kondisi psikologis, kondisi lingkungan tempat tinggal bahkan pada pengalaman-pengalaman hidup dimasa lampau bisa menjadi penyebab tindakan pelecehan dilakukan. Otak pelaku yang mesum bukan perkara mudah untuk bisa “diganti/diinstall” dengan otak baru yang dipaksa paham konsep moral dan apa itu amoral. Semua pihak perlu memahami kondisi ini baik secara personal maupun kolektif secara berkesinambungan.
Apalagi perempuan yang menjadi korban, terlebih lagi mereka yang bergelar muslimah. Mereka harus paham bahwa sedari dini ada nilai dari konsep diri sebagai muslimah salah satunya ditandai dengan simbol-simbol pakaian syari yang menjadi pembeda dengan wanita non muslim. Simbol yang melekat pada pakaian dengan menggunakan hijab itu bukanlah hal yang perlu digugat lagi eksistensinya. Sebab sudah jelas dari Al Quran dan Sunnah shallallahu ’alaihi wasallam. Maka saat peristiwa pelecehan seksual terjadi dengan klaim korban yang diantaranya juga mayoritas adalah muslimah berhijab seharusnya tidak memudahkan segelinitir orang atau kelompok mencari alibi lagi agar seolah-olah pakaian perempuan tidak perlu untuk dijadikan bahan perdebatan lagi, apakah terbuka atau tertutup.
Waspada dengan sentuhan kalimat-kalimat bijak tetapi profokatif seolah-seolah ingin melegimitasi bahwa kesalahan paripurna atas kasus-kasus pelecehan seksual bukan karena persoalan baju (atasan dan bawahan) yang terbuka, toh, yang berjilbab hingga bercadarpun pernah menjadi korban. Paradigma liberal jangan sampai menyentuh nalar dan jiwa kita. Apa salahnya jika perempuan memakai pakaian yang tertutup ketika berada di ranah publik atau saat bertemu dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Apakah memakai pakaian tertutup bisa menekan laju pertumbuhan pelecehan seksual? Apakah memakai pakaian terbuka tidak ada korelasinya dengan munculnya ide cabul laki-laki dan hasrat untuk melakukan pelecehan seksual? Begitu banyak pertanyaan yang perlu dijawab dengan kehati-hatian. Bersama nalar yang jernih tanpa emosi dan nafsu berlogika yang menyala-nyala. Jika perempuan atau muslimah benar-benar ingin turut serta menjadi pionir terdepan berkurangnya kasus-kasus pelecehan seksual untuk hari ini dan di masa mendatang, maka sejujurnya kita harus kembali pada konsep Alquran dan Sunnah shallallahu ’alaihi wasallam. Mentadaburi dengan hati dan pikiran yang jernih dan bukan dengan cara serampangan seolah ingin melegitimasi pentingnya kebebasan bagi perempuan untuk menentukan pakaiannya apakah yang terbuka atau yang tertutup. Padahal sudah sangat jelas begitu banyak dalil-dalil yang menjelaskan pengaruh dari pesona wanita termasuk dengan bagaimana dan seperti apa pakaian yang dikenakan dan efek bagi laki-laki yang melihatnnya. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda yang artinya: “Wanita itu adalah aurat (harus ditutupi), bila ia keluar dari rumahnya, maka setan akan mengesankannya begitu cantik (di mata lelaki yang bukan mahramnya)”. (HR. Attirmidzi dan lainnya)
Bukankah yang kita pahami, fitnah terbesar bagi laki-laki adalah perempuan? Itu artinya potensi laki-laki untuk tergoda dengan perempuan selalu ada. Setidaknya membangun persepsi dan menyakini bahwa memakai hijab adalah pakaian takwa yang mulia. Maka menjadikannya salah satu benteng pertahanan dari peluang pelecehan seksual juga tidak bisa dinafikkan. Pakaian ada simbol eksistensi diri,ada nilai-nilai yang yang tersimpan dan terbaca pada setiap orang yang melihatnya. Apakah hanya sekedar kepalsuan, settingan atau kejujuran maka semua bergantung pada bagaimana kita memahami kehidupan, jujur atau tidak, tunduk pada perintah Sang Pencipta atau sebaliknya menjauh dari aturan agama.
Wallahu ’alam.
Oleh: Ustadzah. Fauziah Ramdani
(Dosen Stiba Makassar, Ketua Forum Muslimah Dakwah Kampus Indonesia & Penulis Buku “Muslimah Anti Viral”)