Suatu ketika disebutlah nama Ma’ruf al-Karkhi rahimahullah, seorang zahid kenamaan, di majelis Imam Ahmad rahimahullah. Tiba-tiba salah seorang yang hadir menimpali: “Ma’ruf itu ilmunya sedikit”.
Mendengar ocehannya ini, Imam Ahmad pun menegurnya dengan kasar dan berkata padanya: “Tahan lisanmu”. Ucapan ini keluar dari lisan Imam Ahmad lantaran betapa indahnya perjalanan hidup, sifat zuhud, wara’, dan kedekatan seorang Ma’ruf al-Karkhi terhadap Allah ta’ala di mata beliau. Hal inilah yang menyebabkan beliau sangat benci bila seorang Ma’ruf al-Karkhi disindir kekurangan ilmunya di majelis ilmu beliau. Lalu Imam Ahmad melanjutkan kata-katanya dengan satu ucapan indah: “Bukankah tujuan ilmu itu adalah apa yang telah diraih oleh seorang Ma’ruf (dengan kezuhudan dan banyak amal salehnya)” !?(Siyar a’laam an-nubala’ (9/340))
Di sini, Imam Ahmad tidak menyela orang tersebut dengan ucapan “Ma’ruf itu tidak memiliki sedikit ilmu” sebab faktanya memang benar bahwa Ma’ruf rahimahullah tidak memiliki keluasan ilmu seperti para ulama lainnya di zamannya, akan tetapi Imam Ahmad memberikan jawaban tak biasa tersebut demi merasukkan kedalam benak orang tersebut bahwa kadar ilmu yang hakiki tidaklah dinilai dengan banyak sedikitnya wawasan dan tidak pula dengan luas sempitnya nalar, akan tetapi ia dinilai dengan kuat tidaknya iman dan keyakinan dalam hati.
Tentunya, Sang Zahid Abu Mahfudz Ma’ruf al-Karkhi rahimahullah sangat paham dengan hakikat ilmu ini, hal ini terbukti dari perjalanan hidup beliau dalam bingkai ibadah, dan kezahidan yang jarang ada tandingannya. Sebab itu beliau senantiasa menasehatkan setiap hamba dengan nasehat yang merupakan salah satu kesimpulan utama yang beliau raih dalam perjalanan hidupnya, yaitu: “Bila Allah menghendaki seorang hamba suatu keburukan, maka Dia akan menutup baginya pintu amalan, dan membuka baginya pintu debat”.(Siyar a’laam an-nubala’ (9/340))
Lantaran hakikat ilmu yang ia raih inilah, Imam Ahmad sampai seperti itu menyanjungnya, sebab memang terbukti bahwa bila seorang penuntut ilmu lebih memperhatikan kadar ilmu dari pada kondisi hatinya, niscaya pintu-pintu amal saleh akan tertutup rapat darinya, dan apabila ilmunya tidak menggerakan dirinya untuk beramal, niscaya ilmu itu akan menggerakan dirinya untuk berbuat sombong dan suka berdebat, di mana kedua hal ini merupakan penyakit terbesar yang bisa mensirnakan keberkahan ilmu.
Hal inilah yang ditekankan kembali oleh Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, bahwa bila hanya kadar ilmu saja yang dikejar, maka kejernihan hati akan tetap terkotori, sebab itu beliau menuturkan: “Menyibukkan diri dengan belajar ilmu fiqh, dan mendengar hadis tidaklah cukup untuk memperbaiki kondisi hati, kecuali bila hal tersebut diiringi dengan pembacaan riwayat-riwayat pelembut hati dan sejarah hidup orang-orang saleh, karena aku mendapati tujuan utama ahli hadis, dan penuntut ilmu hadis hanyalah mencari-cari hadis dengan sanad tinggi, dan memperbanyak jilid-jilid buku, dan mendapati kebanyakan ahli fiqh menyibukkan diri dalam ilmu perdebatan … sehingga bagaimana bisa hati ini akan menjadi lembut dengan hal-hal semacam ini ?! “.(Shaid al-Khaathir: 228)
Sungguh benar, bagaimana bisa hati penuntut ilmu bisa lembut dan jernih sedangkan ia sendiri tidak menjadikan ilmunya yang dalam bentuk teori tersebut: sebagai penopang untuk memperbaiki kondisi hatinya !? Sungguh, bila kondisi hati seorang penuntut ilmu itu jernih, maka semangatnya untuk beramal akan lebih besar dimatanya dibandingkan semangat menuntut ilmu, dan kelalaiannya dari amalan akan lebih menyedihkannya dibandingkan kelalaiannya dari bagian ilmu tertentu: sebab amalan adalah buah dan tujuan utama dari ilmu sendiri. Betapa indah nasehat Abdullah bin Idris kepada Abu Ubaid al-Qasim bin Sallaam rahimahumallah tatkala melihatnya tekun menuntut ilmu dihadapan para ulama: “Wahai Abu Ubaid, meskipun suatu saat engkau terlalai dari suatu ilmu, namun jangan sekali-kali engkau terlalaikan dari amalan”.(Tarikh Bagdad: 14/399)
Wasiat besar seperti inilah yang juga dinasehatkan oleh Imam Abdurrahman Ibnu Mahdi kepada al-Qasim bin Sallam tatkala ia mengeluh padanya lantaran tidak sempat mendapati hidupnya Hammad bin Zaid rahimahumullah agar bisa mengambil ilmu darinya, Ibnu Mahdi berkata padanya: “Meskipun orang-orang telah mengalahkanmu (dalam mengambil ilmu Hammad bin Zaid), namun jangan sekali-kali engkau dikalahkan dalam perkara takwa kepada Allah”.
(Diringkas dari buku: Irtiyaadh al-‘Uluum: 216-218).
Oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc