Hakekat dan Kedudukan Tauhid1

1. Tauhid adalah tujuan Penciptaan Jin dan Manusia

Pada hakekatnya tauhid merupakan tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah Ta’ala. Sebab manusia dan jin diciptakan oleh Allah untuk men-tauhid-kan-Nya melalui ibadah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadKu.” (QS. adz-Dzaariyat [51]: 56)

Makna liya’budun dalam ayat tersebut adalah liyuwahhiduun (untuk men-tauhid-kan Aku). Karena perintah Allah yang paling agung adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam ibadah. Sedangkan larangan Allah yang paling besar adalah syirik, yaitu menyembah kepada selain-Nya disamping menyembah Allah. (Al-Ushul ats-Tslatsah, hlm. 7).

Jadi, esensi dari ayat tersebut adalah tauhid. Sebab para ulama salaf menafsirkan kata Illa Liya’budun (supaya mereka beribadah kepada-Ku) dengan Illa Liyuwahhidun (supaya mereka men-tauhid-kan Aku). Karena setiap ibadah harus dikerjakan semata-mata karena Allah. Sementara pemurnian ibadah kepada Allah merupakan inti dari tauhid itu sendiri. Penafsiran ini berpijak pada tugas utama para Rasul, yaitu mengajak manusia untuk men-tauhid-kan Allah dalam ibadah.

Oleh karena itu barangsiapa yang belum meralisasikan tauhid dalam hidupnya, maka sesungguhnya ia belum menghambakan diri kepada Allah. Ini makna sebenarnya dari firman Allah, “dan sekali-kali kalian (hai orang kafir) bukanlah penyembah Tuhan yang aku sembah”. (terj. Qs. Al-Kafirun:3). (Kitabut Tauhid).

2. Tauhid Merupakan Inti Dakwah para Rasul

Tauhid merupakan misi dan inti da’wah para Rasul utusan Allah. Semua Rasul diutus oleh Allah untuk mengesakan Allah melalui ibadah dan meninggalkan segala bentuk ibadah kepada selain Allah yang merupakan lawan dari tauhid. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ

Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut”. (QS. an-Nahl [16]: 36)

Dalam ayat tersebut Allah menerangkan, Dia mengutus Rasul pada setiap ummat untuk menyeru dan menda’wahi ummatnya agar beribadah kepada Allah (u’budullah) dan menjauhi thaghut. Kedua seruan ini mengandung tauhid. Artinya para Nabi dan Rasul tersebut diperintahkan oleh Allah untuk mengajak ummatnya men-tauhid-kan Allah. Sebab dalam kata u’budullah (sembahlah Allah/beribadahlah kepada Allah) terdapat ajakan untuk ber-tauhid. Sedangkan dalam kata wajtanibut Thaghut terkandung perintah untuk meninggalkan syirik yang merupakan lawan dari tauhid. Karena diantara makna thaghut adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Allah Ta’ala.2

Di dalam ayat tersebut juga terkandung pesan, Allah subhanahu wa ta’ala menegakkan hujjah-Nya telah kepada setiap umat manusia, baik itu umat terdahulu maupun umat di zaman sekarang. Yaitu bahwasanya telah diutus kepada setiap mereka seorang Rasul yang seluruhnya menyeru umatnya kepada satu hal yaitu: (seruan untuk) beribadah hanya kepada Allah saja tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

Di dalam ayat yang lain, Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah Aku”.” (QS. al-Anbiyaa [21]: 25).

Ayat tersebut mengabarkan bahwa setiap Rasul mendapatkan wahyu (perintah) dari Allah untuk menyampaikan kepada ummat mereka Tidak ada Ilah (Tuhan) yang berhak disembah dan diibadahi kecuali Allah. Oleh karena mereka diperintahkan untuk beibadah kepada Allah semata.

3. Tauhid Merupakan Perkara Yang Pertama diperintahkan oleh Allah kepada hambaNya Sebelum Kewajiban Yang Lain

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. al-Isra [17]: 23)

Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk bertauhid terlebih dahulu yaitu dengan berfirman: “Jangan menyembah selain Dia”. Baru setelah itu Allah memerintahkan kita untuk berbakti kepada kedua orang tua kita.

Dalam klimat “La ta’budu Illa Iyyahu” (Jangan kalian beribadah kepada selain-Nya) terkandung perintah untuk memurnikan ibadah kepada Allah Ta’ala semata. Hal ini semakna dengan kalimat tauhid La Ilaha Illallah. Sebab pemurnian ibadah hanya kepada Allah merupakan realisasi dan pembuktian dari kalimat tauhid La Ilaha Illallah.

Ayat lain yang semakna dengan ayat di atas adalah firman Allah dalam surah Al-An’am ayat 151, “Katakanlah (wahai Muhammad) marilah aku bacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu “janganlah kamu berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya”. (terj. Qs. Al-An’am:151). Ayat tersebut menyebutkan beberapa hal yang diharamkan oleh Allah. Pertama adalah syirik yang merupakan lawan dari tauhid, bahkan perusak tauhid nomor wahid. Larangan berbuat syirik berarti perintah untuk men-tauhid-kan Allah Ta’ala.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata tentang ayat 251 surah Al-An’am di atas, “Siapa yang ingin melihat wasiat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diatasnya terstempel oleh cincin beliau, maka hendaknya ia membaca firman Allah; “Katakanlah (hai Muhammad), mari kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya, dan (kubacakan), sampai . . . Sungguh inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan tersebut, dan janganlah kalian ikuti jalan-jalan yang lain”.

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Beribadahlah kepada Allah, dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (Terj. Qs. An-Nisa:36). Ayat ini disebut dengan ayat tentang sepuluh hak. Karena dalam ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan sepuluh hal yang diawali dengan perintah beribadah kepada Allah dan larangan berbuat syirik. Sementara beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik mer upakan realisasi dari tauhid.

4. Tauhid adalah Hak Allah atas HambaNya

Tauhid merupakan hak Allah dari setiap hamba-Nya, sebagaimana penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam ketika beliau bertanya kepada sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu: ”Apakah hak Allah atas hambaNya?”, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahuinya”, jawab Mu’adz. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

حَقَّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

Hak Allah atas hambanya adalah agar mereka beribadah kepadaNya dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).3

Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa hak Allah dari setiap hamba-Nya adalah ibadah yang tidak dinodai kesyirikan. Artinya tauhid. Karena pemurnian ibadah kepada Allah merupakan inti dari tauhid. Sehingga dalam kalimat “mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” tersurat pesan bahwa hak Allah atas hamba dan kewajiban hamba kepada Allah adalah, “mereka men-tauhid-kan-Nya melalui ibadah”.

Demikian penjelasan tentang hakikat dan keutamaan tauhid. Semoga Allah Ta’ala memberi kemudahan untuk merealisasikannya dalam seluruh aspek kehidupan. Semoga Allah menghidupkan dan mematikan kita di atas kalimat tauhid. (Al-Faqir lla ‘afwi Rabbihi, Abu Muhammad Syamsuddin Al-Munawiy).

Sumber Utama: Kitabut Tauhid, karya al-Imam al-Mujaddid Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah disertai tambahan penjelasan dari Ghoyatul Murid Fi Syarhi Kitabit Tauhid, Karya Syekh Shaleh bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh.


[divider style=”solid” top=”20″ bottom=”20″]

1 Tauhid secara bahasa bermakna mengesakan atau menunggalkan, berasal dari kata وَحَّدَيُوَحِّدُتَوْحِيْدًا yang berarti meyakini bahwa sesuatu itu satu;esa;tunggal. Men-tauhid-kan Allah artinya meyakini dan mengimani kemahatunggalan dan kemahaesaan Allah Ta’ala. Dalam terminologi ilmu aqidah, tauhid biasa di-ta’rif (definisi)-kan dengan, “Mengimani kemahaesaan Allah dalam aspek yang merupakan kekhususan bagi Allah baik aspek Rububiyah, Uluhiyah, maupun Asma’ Was Shifat.

Tauhid Rububiyah adalah meyakini kemahaesaan Allah sebagai satu-satunya Rabb (Tuhan) yang menciptakan, memiliki, memelihara, mengatur, dan mengendalikan alam semesta beserta isinya.

Tauhid uluhiyah atau Ilahiyah artinya mengimani atau meyakini kemahaesaan Allah sebagai satu-satunya Ilah (sesembahan) yang patut dan berhak untuk diibadahi (disembah). Sedangkan tauhid Asma’ was Shifat adalah meyakini kemahaesaan Allah dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya; tiada yang serupa dengan Allah dalam nama dan sifat-Nya yang mulia.

2 Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, “makna thaghut adalah segala yang diperlakukan seorang hamba secara melampaui batas, baik berupa sesuatu yang disembah, diikuti, atau yang ditaati”. Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakana bahwa thaghut sangat banyak macamnya, dan tokoh (pimpinannya) ada lima; (1) Iblis, (2) Orang yang disembah, sedang ia sendiri ridha, (3) Orang yang mengajak manusia untuk menyembah kepadanya, (4) Orang yang mengaku mengetahui perkara ghaib, dan (5) Orang yang berhukum dengan apa yang tidak diturunkan oleh Allah. (Al-Ushul ats-Tsalatsah, hlm. 37).

3 Selengkapnya hadits ini berbunyi, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata, Aku pernah dibonceng Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam di atas keledai, kemudian beliau berkata kepadaku; “Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya dan apa hak hamba-hamba-Nya dari Allah?”. Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui’. “Hak Allah yang harus dipatuhi oleh hamba-hamba-Nya adalah hendaknya mereka menyembah (beribadah) kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Sedangkan hak hamba dari Allah adalah Dia tidak mengadzab orang-orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun“. Lalu aku bertanya, ‘bolehkah aku menyampaikan berita gembira ini kepada manusia (orang lain)?’ Beliau menjawab, “Jangan engkau sampaikan, karena khawatir mereka akan pasrah (malas beramal dan menyandarkan diri pada ini saja)”. (terj. HR. Bukhari dan Muslim).

Beberapa pelajaran dari hadits ini:

  1. Kerendahan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadits ini dikabarkan oleh Mu’adz bahwa Nabi mengendarai seekor Keledai dan membonceng salah seorang dari sahabat dan muridnya (Mu’adz) di atas keledai tersebut.

  2. Boleh berboncengan di atas hewan tunggangan, jika hwan tesebut memang kuat.

  3. Jawan yang tepat bagi orang yang tidak tahu adalah ucapan, “Allahu wa Rasuluhu a’lam; Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”.

  4. Keutamaan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu Dibonceng dan diajari khusus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

  5. Bolehnya mengajarkan ilmu kepada sebagian orang saja. Dalam hadits ini Nabi mengajarkan keutamaan tauhid yang murni, dan melarang Mu’adz menyampaikannya kepada orang lain karena khawatir akan disalah pahami.

  6. Boleh merahasiakan ilmu jika ada maslahatnya.

  7. Dianjurkan menyampaikan kabar gembira kepada sesama Muslim.

  8. Tidak boleh menyembunyikan ilmu. Di akhir hayatnya, Mu’adz tetap menyampaikan kabar gembira tersebut meskipun pernah dilarang oleh Nabi. Beliau menyampaikan karena khawatir termasuk dalam kategori menyembunyikan ilmu.

  9. Wajibnya mengetahui hak Allah atas setiap hamba dan hak hamba atas Allah.

  10. Hak hamba dari Allah yang disebutkan dalam hadits di atas merupakan anugerah Allah semata. Tidak bisa dimaknai sebagai kewajiban Allah kepada hamba. Karena Dialah yang berwenang mewajibkan sesuatu kepada diri-Nya dan kepada hamba-Nya sesuai kehendak-Nya. Senada dengan sebuah hadits qudsi; “Sungguh aku haramkan atas diri-Ku berbuat dzalim”.

Artikulli paraprakDo’a dan Dzikir Menjelang Tidur (1): Tidur dan Bangun Tidur dengan Nama Allah
Artikulli tjetërMajelis Akbar Relawan Qur’an

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini