HAK-HAK SESAMA MUSLIM
HADITS 1 BAB ADAB DARI KITÂBUL JÂMI’
(Bagian 2)
Dalam tulisan ini, kita akan belajar memahami kandungan hadits pertama dalam Bab Adab yang terdapat dalam Kitâbul Jâmi’ dari Bulûghul Marâm. Ulasan tentang hadits pertama ini, in syâ Allah, kita akan bagi dalam beberapa sub bahasan.
Teks Hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ «حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ :إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اَللَّهَ فَشَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Terjemah hadits
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, beliau menuturkan: Rasulullah ﷺ bersabda: “Hak seorang Muslim terhadap sesama muslim itu ada enam:
- Jika kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam,
- Jika ia mengundangmu maka penuhilah undangannya,
- Jika ia meminta nasehat kepadamu maka berilah ia nasehat,
- Jika ia bersin dan mengucapkan ‘Alhamdulillah’ maka do’akanlah ia dengan mengucapkan ‘yarhamukallah’,
- Jika ia sakit maka jenguklah,
- Jika ia meninggal dunia maka iringilah jenazahnya.” ( Muslim, Kitab Salâm, Bab Min haqqil muslim lil muslim roddus salâm, no. 2162).
Penjelasan Hadits
Pada pembahasan sebelumnya sudah dibahas, sabda Rasulullah ﷺ bersabda:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ
“Hak seorang Muslim terhadap sesama muslim itu ada enam”
- Hak Pertama: Memberi salam ketika bertemu
إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ
“Jika kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam”
Penjelasan bagian pertama ini meliputi beberapa hal berikut ini:
- Redaksi hadits ini menunjukkan disyariatkannya memulai memberi salam.[1] Bahkan diperintahkan memulai memberi salam. Perintah dalam hadits ini (fasallim ‘alaihi) menunjukkan makna sunnah bukan wajib.[2] Imam Ibnu Abdil Barr menukil ijma’ (kesepakatan para ulama) kaum muslimin bahwa memulai memberi salam itu sunnah sedangkan menjawabnya wajib.[3]
- Berdasarkan firman Allah Ta’aalaa di surat an Nisa’ ayat 86:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
”Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.”, Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa memulai memberi salam itu hukumnya sunnah.
- Jika yang diberi salam, lebih dari satu orang, maka hukumnnya fardlu kifayah.[4] Jadi tidak harus semuanya menjawab salam. Bisa dilakukan oleh salah satu atau sebagian, yang menjawab salam.
- Jika yang akan memberi salam, lebih dari satu orang, maka hukumnya sunnah kifayah (bukan fardlu kifayah).[5] Jadi tidak harus semuanya memberi salam. Bisa dilakukan oleh salah satu atau sebagian, yang memberi salam.
- Redaksi salam, minimal dengan ucapan: Assalâmu’alaikum. Jika diucapkan tanpa alif lam di awalnya (baca: Salâmun ‘alaikum)-, maka tetap boleh[6].
- Kalau yang diberi salam 1 orang, boleh memberi salam dengan redaksi: Assalâmu’alaik. Tapi afdhalnya dengan: Assalâmu’alaikum.[7]
- Ucapan salam akan lebih baik kalau ditambahkan “Warahmatullâh” dan “Wabarakâtuh”.[8] Jadi lebih utama kalau lengkap: Assalâmu’alaikum Warahmatullâh Wabarakâtuh[9], sehingga meraih 30 pahala kebaikan.[10] Assalâmu’alaikum (10 pahala) Warahmatullâh (10 pahala) Wabarakâtuh (10 pahala).
- Hukum menjawab salam saat ada yang memberi salam ketika berpisah, ada 2 pendapat:[11]
- Pendapat Imam Asy Syâsyi dan lainnya.
- Sunnah (tidak wajib). Pendapat Imam Al Qâdli Husain, Abu Sa’id al Mutawalli dan lainnya.
- Salam merupakan amalan yang mulia dan sangat indah karena di dalamnya terkandung doa keselamatan kepada sesama muslim. Kebiasaan menyebarkan salam, dapat menimbulkan rasa cinta antar sesama muslim. Sehingga jalinan ukhuwwah islamiyyah akan semakin kokoh. Rasulullah ﷺ bersabda:
لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلامَ بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga kecuali jika kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman dengan sempurna hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang suatu hal yang dengan melakukannya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim No. 54).
- Memberi salam ini ditujukan kepada semua muslim, baik yang sudah dikenal maupun belum dikenal. Shahabat Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhu menuturkan, bahwa suatu ketika ada seseorang bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang amalan terbaik dalam Islam. Rasulullah ﷺ pun menjawab:
تُطْعِمُ الطَّعَامَ وتَقْرَأُ السَّلاَمَ علَى مَن عَرَفْتَ ومَن لَمْ تَعْرِفْ.
“Memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang anda kenal dan yang tidak anda kenal.”[12]
- Fenomena kebiasaan memberi salam hanya kepada orang yang dikenal saja adalah salah satu tanda akhir zaman.[13]
- Salam ditujukan kepada setiap muslim meski banyak bergelimang dosa dan maksiat.
- Salam merupakan amalan yang sudah dikerjakan Rasulullah ﷺ sejak awal beliau berdakwah di kota Madinah. Abdullah bin Salam, mantan rahib Yahudi yang masuk Islam pernah mengisahkan:
لمَّا قدمَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ المدينةَ، انجَفلَ النَّاسُ قبلَهُ، وقيلَ: قد قدمَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ، قد قدمَ رسولُ اللَّهِ، قد قدمَ رسولُ اللَّهِ ثلاثًا، فَجِئْتُ في النَّاسِ، لأنظرَ، فلمَّا تبيَّنتُ وجهَهُ، عرفتُ أنَّ وجهَهُ ليسَ بوَجهِ كذَّابٍ، فَكانَ أوَّلُ شيءٍ سَمِعْتُهُ تَكَلَّمَ بِهِ، أن قالَ: يا أيُّها النَّاسُ أفشوا السَّلامَ، وأطعِموا الطَّعامَ، وصِلوا الأرحامَ، وصلُّوا باللَّيلِ، والنَّاسُ نيامٌ، تدخلوا الجنَّةَ بسَلامٍ
“Ketika Rasulullah ﷺ tiba di kota Madinah, orang-orang datang menghampiri beliau. Dalam riwayat yang lain disebutkan: Rasulullah ﷺ sudah tiba, Rasulullah ﷺ sudah tiba, Rasulullah ﷺ sudah tiba. Diulang sebanyak 3 kali. Kemudian saya datang masuk dalam kerumunan, untuk melihatnya. Saat saya amati wajah beliau, saya yakin bahwasanya wajah beliau bukanlah wajah seorang pendusta. Wejangan pertama yang beliau sampaikan adalah, “Wahai umat manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah tali silaturahim, dan shalatlah di waktu malam saat orang-orang sedang tidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan penuh keselamatan / kedamaian.”[14]
- Sebagai penutup, mari kita lihat semangat Shahabat Abdullah bin Umar dalam menebarkan salam yang terdapat dalam al Muwaththa’: Ath-Thufail bin Ubay bin Ka’ab pernah menyertai Abdullah bin Umar radliyallaahu ‘anhuma ke pasar. Ternyata Abdullah bin Umar radliyallaahu ‘anhuma tidak putus-putusnya menebarkan salam kepada siapa saja yang beliau temui, baik kaya maupun miskin, pedagang besar maupun kecil. Kepada semuanya beliau memberikan salam. Suatu ketika Abdullah bin Umar radliyallaahu ‘anhuma kembali mengajak ath-Thufail untuk menyertainya ke pasar. Kali ini ath-Thufail pun memberanikan diri untuk bertanya, “Bukankah sebaiknya kita duduk berbincang-bincang saja di sini? Bukankah Anda tidak berniat membeli apa-apa di pasar, dan tidak pula berniat untuk duduk-duduk di sana?” Shahabat Abdullah bin Umar pun menjawab: “Wahai ath-Thufail, kita ke pasar hanyalah untuk menebarkan salam. Kita hendak memberi salam kepada siapapun yang kita temui.”[15]
Demikian penjelasan singkat bagian awal dari hadits pertama dalam Bab Adab dari Kitâbul Jâmi’ yang terdapat di Bulughul Marâm. Mudah-mudahan ulasan di atas memotivasi kita untuk menebarkan salam.
Wallaahu a’lam….
FootNote:
[1] Al Badrut Tamâm Syarh Bulûghil Marâm 10/144.
[2] Mishbâhuzh Zhalâm fî Syarhi Bulûghil Marâm.
[3] At Tamhîd 5/289.
[4] Fathul Bâri. Lihat Fathul ‘Allâm fî Dirâsati Ahâdîts Bulûghil Marâm, 5/710.
[5] Al Badrut Tamâm Syarh Bulûghil Marâm 10/144.
[6] Al Badrut Tamâm Syarh Bulûghil Marâm 10/144.
[7] Al Badrut Tamâm Syarh Bulûghil Marâm 10/144.
[8] Al Badrut Tamâm Syarh Bulûghil Marâm 10/144, Fathul Allâm fi Dirôsati Ahâdits Bulûghil Marâm 5/7.
[9] Zâdul Ma’âd 2/420.
[10] HR. Abu Daud no. 5195, dari Shahabat ‘Imran bin Hushain radliyallaahu ‘anhu.
[11] Ifhâmul Afhâm Syarh Bulûghil Marâm.
[12] HR. Bukhari No. 12 dan Muslim No. 39
[13] HR. Ahmad No. 3870. Status haditsnya dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah, no. 647.
[14] HR. Tirmizi No. 2485 dan Ibnu Majah No. 1334. Hadits ini shahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah No. 2648.
[15] Al-Muwaththa’ 2/961, tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi.
__________
✍️ Oleh: Ust. Ridwan Hamidi, Lc., M.P., M.A
(Penulis Buku “Panduan Praktis Ibadah di Bulan Dzulhijjah”, Penerima Sanad Mud, Dosen, Ketua MIUMI DIY, Wasekjen DPP WI dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asean)