HAJI, BERJALAN MENUJU ALLAH
Oleh: H. Rahmat Abd. Rahman, Lc., MA
(Ketua MUI Kota Makassar)
Musim haji telah tiba, kesibukan tampak di mana-mana buat persiapan pelaksanaannya. Calon jemaah haji mempersiapkan diri secara fisik dan mental buat mendapatkan balasan tertinggi dari ibadahnya, pemerintah dua negara, Republik Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi bersiap siaga buat memberikan pelayanan yang terbaik kepada calon jemaah haji, serta tidak ketinggalan perusahaan-perusahaan swasta pengelola program perjalanan ibadah haji juga berbenah sebaik mungkin agar jemaah dapat merasakan pelayanan maksimalnya. Segala persiapan ini dianggap lumrah, karena haji adalah ibadah yang menyempurnakan keislaman seorang muslim setelah ia melaksanakan 4 rukun Islam lainnya.
Sejarah Haji
Ibadah haji disyariatkan oleh Allah swt. sejak zaman Nabi Ibrahim as. Pada masa itu, pondasi bangunan Ka’bah baru selesai dikerjakan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as., maka umat manusia dari seluruh dunia diseru buat mengunjunginya dan menunaikan ibadah haji di sekelilingnya. Menurut Ibnu Abbas ra. (Tafsir Ibnu Katsir, 1999), pada saat Nabi Ibrahim as. diperintah oleh Allah swt. untuk menyampaikan kepada umat manusia agar berhaji ke Ka’bah, Nabi Ibrahim as. bertanya kepada Allah swt.: “Bagaimana aku menyampaikan kepada seluruh umat manusia, sedangkan suaraku tidak mampu menjangkau mereka ?”. Allah swt. menjawab: “Berserulah dan Aku yang akan menyampaikan kepada mereka seluruhnya”. Seruan untuk berhaji akhirnya diketahui oleh seluruh umat manusia, hingga dengan berbondong-bondong mereka mendatangi Ka’bah buat menunaikannya, ada yang berjalan kaki dan ada yang berkendaraan.
Nabi Ibrahim as. meminta kepada Allah swt. agar dituntun melaksanakan ibadah haji, maka Allah swt. menurunkan malaikat Jibril as. buat memenuhi permintaan Nabi Ibrahim as. ini. Menurut Ibnu al-Dhiya’ (Tarikh Makkah, 2004), padang Arafah/Arafat diberi nama demikian karena pada saat Jibril as. telah sampai di padang itu bersama Nabi Ibrahim as., malaikat Jibril as. bertanya kepada Nabi Ibrahim as.: “a’arafta manasikaka” (apakah anda sudah mengetahui pelaksanaan haji) ?. Ibrahim as. menjawab: “’araftu” (aku sudah mengetahuinya). Perintah menunaikan haji dan tuntunan pelaksanaannya yang turun dari Allah swt., selayaknya memberi kesadaran bagi setiap calon jemaah haji akan kemuliaan ibadah yang hendak ia laksanakan.
Nabi Muhammad saw. juga mendapatkan perintah dari Allah swt. untuk melaksanakan ibadah haji, bahkan menjadikannya sebagai rukun penyempurna agama Islam yang dibawanya. Nabi Muhammad saw. melaksanakan ibadah haji ini pada tahun 10 Hijriyah dan disebut dengan nama Hajjah al-Wada’ (Haji Perpisahan), karena menjadi kesempatan terakhir Rasulullah saw. berkumpul bersama seluruh sahabat ra. Sebanyak kurang lebih 12 ribu orang ikut berhaji bersama Rasulullah saw. dan menyaksikan langsung tata cara pelaksanaannya. Rasulullah saw. menyelisihi pelaksanaan haji kaum musyrikin pada saat itu dengan wukuf di padang Arafah dan meninggalkan padang Muzdalifah sebelum terbit matahari setelah salat subuh, sedangkan kaum musyrikin tidak wukuf di padang Arafah karena menganggapnya bukan wilayah tanah haram (suci), juga meninggalkan padang Muzdalifah pada saat matahari sudah meninggi pada tanggal 10 Zulhijjah.
Sejarah ini diharapkan mampu memberi wawasan kepada calon jemaah haji agar berhaji sesuai tuntunan Rasulullah saw. dan menghindari praktik-praktik kesyirikan yang kadang terjadi pada jemaah haji, seperti mengusap-usap dinding Ka’bah atau tiang-tiang Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dengan kain, atau memotong tali tenda-tenda di padang Arafah, kesemuanya dengan maksud mengambil berkah dari benda-benda tersebut.
Tujuan Haji
Perjalanan haji selain untuk menjalankan kewajiban agama, juga dimaksudkan untuk tujuan lain, yaitu:
1. Mewujudkan sikap bertauhid kepada Allah swt.
Pelaksanaan ibadah haji dari awal hingga selesainya adalah ditujukan dalam rangka mengesakan Allah swt. Dimulai dengan niat ihram dan lantunan talbiyah, yaitu: Labbayka Allahumma Labbayka, Labbayka La Syarika Laka Labbayka, Inna al-Hamda wa al-Ni’mata Laka wa al-Mulka La Syarika Laka (Aku memenuhi panggilan-Mu Ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu karena tiada sekutu bagi-Mu, segala bentuk pujian, karunia kenikmatan dan kekuasaan sesungguhnya hanyalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu) hingga tawaf di sekeliling Ka’bah dan sai di antara bukit Safa dan Marwa. Suatu penegasan akan Maha Esa dan Kuasa Allah swt. sehingga pantas untuk disembah satu-satunya dan wajib dijauhkan dari segala bentuk perbuatan syirik.
Melempar jumrah dan tawaf wada’ adalah rangkaian terakhir dari pelaksanaan ibadah haji, kedua ibadah ini juga bagian dari mengesakan Allah swt. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari ‘Aisyah ra. disebutkan sabda Rasulullah saw. yang artinya:
“Sesungguhnya tawaf mengelilingi Ka’bah, sai antara bukit Safa dan Marwa, serta melempar jumrah hanyalah semata-mata untuk berzikir kepada Allah”.
Sikap bertauhid kepada Allah swt. dalam pelaksanaan ibadah haji diharapkan memberi kesadaran yang utuh kepada setiap jemaah haji akan kewajiban utamanya sebagai manusia, yaitu beribadah kepada Allah swt. dan menghindari perbuatan syirik. Kesadaran ini semoga dapat terjaga dalam kehidupan kesehariannya selepas pelaksanaan haji di tanah suci.
2. Mempererat ukhuwah Islam
Jutaan muslim yang datang dari berbagai negara di 5 benua berkumpul bersama buat menunaikan ibadah haji nan mulia ini. Pemandangan yang menakjubkan pada saat melihat seluruh jemaah haji dengan berbagai bahasa keseharian, warna kulit yang berbeda, mulai dari berwarna hitam, kuning, coklat, merah, putih hingga albino (bule), dan berbagai perbedaan lainnya. Semua berkumpul buat menjalankan perintah Tuhan Yang Maha Esa. Keharmonisan gerak semakin menakjubkan pada saat seluruh jemaah bersama-sama melaksanakan salat berjamaah di Masjidil Haram, ruku’ bersama, sujud bersama dengan satu komando, imam Masjidil Haram. Ucapan takbir menyatukan seluruh gerak, hingga akhirnya berujung pada salam dan seluruh jemaah merasakan kebahagiaan yang sama. Menakjubkan dan luar biasa !
Pemandangan ini juga terjadi pada saat wukuf di padang Arafah, seluruh jemaah haji berada pada satu tempat, bersama berdoa kepada Allah Yang Maha Melihat dan Mendengar, tak jarang airmata jatuh bercucuran mengingat dosa dan kelalaian setiap hari, serta berharap semoga Allah Yang Maha Pemurah berkenan mengampunkan semua itu. Wukuf berakhir bersama terbenamnya matahari, secercah kebahagiaan membawa seluruh jemaah haji kembali ke padang Muzdalifah, sekali lagi bersama-sama ibarat berada dalam satu ritme gerakan yang menghasilkan pemandangan sungguh menakjubkan.
Kebersamaan ini seyogyanya menimbulkan kesadaran akan tingginya nilai persatuan dan ukhuwah Islam. Segala bentuk perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam hanya dapat disatukan oleh ketundukan ibadah kepada Allah swt. Ketundukan kepada Allah swt. mengandung nilai keikhlasan dan konsistensi berjalan di atas kebenaran. Kebenaran di dalam agama Islam bersifat pasti, yaitu yang dasar dan pemaknaannya bersumber dari Allah swt.
3. Membangun kepribadian Islam
Perjalanan haji membutuhkan kesabaran dalam 3 hal. Pertama, kesabaran dalam menjalankan ibadah kepada Allah swt. Rentetan ibadah telah menanti seorang jemaah haji sejak menginjakkan kaki di tanah suci Makkah atau Madinah, seperti salat berjamaah, tadarrus Alquran, zikir, doa dan lain sebagainya. Rangkaian ibadah-ibadah ini sekalipun bukan bagian dari pelaksanaan haji, namun selayaknya dijaga melihat kesempatan berkunjung ke tanah suci bisa tidak berulang kembali.
Kedua, kesabaran dalam menghindari maksiat. Kebiasaan bergosip atau mencela orang lain, hingga berbohong atau bermata jelajatan yang terasa enak untuk dilakukan, sekuat mungkin untuk dihindari karena hanya akan mengurangi kelezatan munajat kepada Allah swt. Ketiga, kesabaran dalam bergaul dengan sesama jemaah haji. Pengendalian emosi pada saat tawaf, salat di Masjidil Haram, antri buat mandi atau buang air di Arafah, Muzdalifah dan Mina, hingga melempar jumrah pada hari-hari Tasyriq, sangat dibutuhkan oleh setiap jemaah haji.
Seorang jemaah haji yang mampu melewati semua ujian dalam perjalanan hajinya dengan memiliki kesabaran ini, akan merasakan pribadinya terbangun menjadi muslim yang utuh. Ia tinggal menyempurnakannya dengan menjaga konsistensi sikap ini sekembalinya ke tanah air setelah berhaji.
Haji Mabrur
Rasulullah saw. menjanjikan balasan surga bagi setiap jemaah haji yang meraih predikat haji mabrur. Menurut Syaikh ‘Atiyah Salim (Syarah Bulugh al-Maram), haji mabrur adalah haji yang diterima, karena pelaksanaannya sempurna dengan memenuhi segala rukun, wajib dan sunnah-sunnahnya serta bersih dari segala bentuk maksiat kepada Allah swt. Indikasinya dapat dilihat selepas ibadah haji ini ditunaikan, yaitu kondisi kesalehan seorang yang telah berhaji lebih baik dari sebelum ia menunaikannya.
Kesalehan seorang jemaah haji pada saat ia menunaikan haji dibutuhkan oleh orang-orang yang bersama dengannya di tanah suci, sedangkan kesalehannya selepas menunaikan haji dan kembali ke tanah air dibutuhkan oleh masyarakat yang lebih banyak. Tindakan-tindakan tercela di masyarakat seperti korupsi, berbohong dan tidak amanah semestinya dapat dikurangi dengan menjaga konsistensi haji mabrur.
Akhirnya, selamat jalan para calon jemaah haji, semoga selamat tiba di tanah suci dan mendapatkan kemudahan dari Allah swt. dalam meraih predikat haji mabrur.