AkhirHari Akhir adalah hari kiamat, dimana seluruh manusia dibangkitkan pada hari itu untuk dihisab dan dibalas. Hari itu disebut hari akhir, karena tidak ada hari lagi setelahnya. Pada hari itulah penghuni surga dan penghuni neraka masing-masing menetap di tempatnya
Iman kepada hari Akhir mengandung tiga perkara :
1.Beriman kepada ba’ts (kebangkitan), yaitu menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati ketika tiupan sangkakala yang kedua kali. Pada waktu itu semua manusia bangkit untuk menghadap Robb alam semesta dengan tidak beralas kaki, bertelanjang, dan tidak disunat.
Kebangkitan adalah kebenaran yang pasti ada, bukti keberadaannya diperkuat oleh Al Kitab, sunnah dan ijma’ umat Islam. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Kemudian sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.” (QS. Al Mu’minun : 16)
Nabi Muhamad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga bersabda :
“ Di hari kiamat seluruh manusia akan dihimpun dengan keadaan tidak beralas kaki, telanjang dan tidak disunat.” (HR. Bukari & Muslim).
Umat Islam sepakat akan adanya hari kebangkitan Karena hal itu sesuai dengan hikmah Allah yang mengembalikan ciptaannya untuk diberi balasan terhadap segala yang telah diperintahkan-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2. Beriman kepada hisab (perhitungan) dan jaza’ (pembalasan); dengan meyakini bahwa seluruh perbuatan manusia akan dihisab dan dibalas. Hal ini dipaparkan dengan jelas di dalam Al Qur’an, sunnah dan ijma’ (kesepakatan) umat Islam.
“Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka.” (QS. Al Ghasyiah : 25-26).
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Allah nanti akan mendekatkan orang mukmin, lalu meletakkan tutup dan menutupnya. Allah bertanya : “Apakah kamu tahu dosamu ini?” “apakah kamu tahu dosamu itu?” Ia menjawab, “Ya Robbku.” Ketika ia sudah mengakui dosa-dosanya dan melihat dirinya telah binasa, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman : “Aku telah menutupi dosa-dosamu di dunia dan sekarang Aku mengampuninya.” Kemudian diberikan kepada orang mukmin itu buku amal baiknya. Adapun orang-orang kafir dan orang-orang munafik, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memanggilnya di hadapan orang banyak. Mereka orang-orang yang mendustakan Robbnya. Ketahuilah, laknat Allah itu untuk orang-orang yang zhalim.” (HR. Bukhari Muslim).
Umat Islam telah sepakat tentang adanya hisab dan pembalasan amal, karena hal itu sesuai dengan kebijaksanaan Allah. Sebagaimana kita ketahui, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala telah menurunkan Kitab-kitab, mengutus para Rasul serta mewajibkan kepada manusia untuk menerima ajaran yang dibawa oleh Rasul-Rasul Allah itu dan mengerjakan segala yang diwajibkannya. Dan Allah telah mewajibkan agar berperang melawan orang-orang yang menentangnya serta menghalalkan darah, keturunan, isteri dan harta benda mereka. Kalau tidak ada hisab dan balasan tentu hal ini hanya sia-sia belaka, dan Robb yang Maha bijaksana, Mahasuci darinya.
3. Mengimani sorga dan neraka sebagai tempat manusia yang abadi.
Sorga adalah tempat keni’matan yang disediakan Allah untuk orang-orang mukmin yang bertaqwa, yang mengimani apa-apa yang harus diimani, yang taat kepada Allah dan RasulNya, dan kepada orang-orang yang ikhlas. Di dalam sorga terdapat berbagai kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, serta tidak terlintas dalam benak manusia.
“Tidak seorang pun yang mengetahui apa yang disembnyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam ni’mat) yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. As Sajadah : 17)
Neraka adalah tempat azab yang disediakan Allah untuk orang-orang kafir, yang berbuat zalim serta bagi yang mengingkari Allah dan RasulNya. Di dalam neraka terdapat berbagai azab dan sesuatu yang menakutkan, yang tidak pernah terlintas dalam hati.
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (QS. Al Imran : 131).
Iman kepada hari akhir adalah termasuk mengimani peristiwa-peristiwa yang akan terjadi sesudah mati, misalnya :
a. fitnah kubur, yaitu pertanyaan yang diajukan kepada mayat ketika sudah dikubur, tentang Robbnya, agama dan Nabinya. Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan kata-kata yang mantap. Ia akan menjawab pertanyaaan itu dengan tegas dan penuh keyakinan, Allah Robbku, Islam agamaku, dan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Nabiku. Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan kafir. Mereka akan menjawab pertanyaan dengan terbengong-bengong karena pertanyaan itu terasa asing baginya. Mereka akan menjawab, “Aku… aku tidak tahu.” Sedangkan orang-orang munafik akan menjawab pertanyaan itu dengan kebingungan, aku tidak tahu. Dulu aku pernah mendengar orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku mengatakannya.”
b. Siksa dan ni’mat kubur. Siksa kubur diperuntukkan bagi orang-orang zhalim, yakni orang-orang munafik dan orang-orang kafir, seperti dalam firman-Nya:
“…alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), “keluarkanlah nyawamu.” Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” (QS. Al An’am : 93).
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman tentang keluarga fir’aun :
“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada Malaikat) : “Masukkan fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (QS. Al Mu’min : 46).
Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘Anhu diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda yang artinya: “kalau tidak karena kalian saling mengubur (orang yang mati), pasti aku memohon kepada Allah agar mamperdengarkan siksa kubur kepada kalian yang saya mendengarnya.” Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menghadapkan wajahnya seraya berkata : “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari siksa neraka.” Para sahabat berkata : “Kami memohon perlindungan kepada Allah dari siksa neraka.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kemudian berkata lagi : “Mohonlah perlindungan Allah dari siksa kubur.” Para sahabat berkata : “Kami memohon perlindungan Allah dari siksa kubur.” Lalu beliau berkata lagi ; “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari berbagai fitnah baik yang tampak maupun yang tidak tampak.” Para sahabat lalu barkata : “Kami memohon perlindungan kepada Allah dari berbagai fitnah baik yang tampak maupun yang tidak tampak.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata lagi : “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari fitnah dajjal.” Para sahabat berkata : “Kami mohon perlindungan kepada Allah dari fitnah dajjal.” (HR. Muslim).
Adapun ni’mat kubur diperuntukkan bagi orang-orang mukmin yang jujur keimanannya. Hal ini telah dijelaskan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya,:
“sesungguhnya orang-orang yang mengatakan : “Robb Kami ialah Allah”, kemudian mereka istiqomah (konsistent), para malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) : “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan gembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat : 30).
Dari Al Bara’ bin Azib Radhiyallahu ‘Anhu dikatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda tentang orang mukmin jika menjawab pertanyaan Malaikat di dalam kuburnya. Sabdanya :
“ada suara dari langit : “hamba-Ku memang benar. Oleh karenanya berilah dia alas dari surga, berilah pakaian dari surga, dan bukakanlah baginya pintu surga.” Lalu datanglah keni’matan dan keharuman dari surga, dan kuburnya dilapangkan sejauh pandangan mata…” (HR. Ahmad, Abu Daud, dalam hadits yang panjang).
(6) Iman kepada takdir baik dan takdir buruk.
Hadits ini menunjukkan bahwa iman kepada takdir termasuk dalam rukun iman.
Al qadar adalah takdir Allah shubhaana wa ta’ala untuk seluruh makhluk yang ada sesuai dengan ilmu dan hikmahNya.
Iman kepada takdir mangandung empat perkara :
1. Al ‘Ilmu ; yaitu mengimani bahwa Allah mengetahui segala sesuatu secara global maupun terperinci, azali dan abadi, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan para hamba-Nya.
Tentang kedua hal tersebut Allah berfirman, yang artinya :
Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu berkata : “Aku pernah mendengar Rasululah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Allah telah menulis (menentukan) takdir seluruh makhluk sebelum menciptakan langit dan bumi lima puluh ribu tahun.” (HR. Muslim).
3. Al Masyii-ah yaitu mengimani bahwa seluruh yang ada tidak akan ada, kecuali dengan kehendak Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.Baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun yang berkaitan dengan perbuatan makhluk-makhlukNya.
“Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendakiNya. Tak ada Tuhan melainkan Dia. Yang Maha perkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al Imran : 6).
Allah juga berfirman tentang sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan makhluk-makhluk-Nya, yang artinya :
4. Al Khalqu yaitu mengimani bahwa seluruh yang ada, dzatnya, sifat dan geraknya diciptakan oleh Allah Subhaanahu Wa Ta’ala .
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” ( QS. Az Zumar : 62).
“… dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukuranNya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al Furqan :2 ).
Allah berfirman tentang Nabi Ibrahim yang berkata kepada kaumnya:
“Padahal Allah lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. As Shaffat : 96).
Keempat perkara ini kadang diistilahkan sebagai marotibul iman bil qadar (tingkatan/urutan beriman kepada takdir)
Peringatan penting :
Iman kepada takdir sebagaimana telah diterangkan di atas tidak menafikan bahwa manusia mempunyai kehendak dan kemampuan dalam berbagai perbuatan yang sifatnya ikhtiari. Syara’ dan kenyataan (realita) menunjukkan ketetapan itu.
- Secara syara’, Allah berfirman tentang kehendak manusia, yang artinya :
“…maka datangilah tempat kamu bercocok tanam (isterimu) itu bagaimana saja kamu kehendaki…” (QS. Al Baqarah : 223).
Allah juga berfirman tentang kemampuan manusia :
“maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah dan taatlah…” (QS. At Taghabun : 16).
b. Secara kenyataan, manusia mengetahui bahwa dirinya mempunyai kehendak dan kemampuan yang menyebabkannya mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Dia juga dapat membedakan antara kemauannya (seperti berjalan), dan yang bukan kehendaknya (seperti gemetar). Kehendak serta kemampuan seseorang itu akan terjadi dengan masyi’ah (kehendak) serta qudrah (kemampuan) Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, seperti dalam sebuah firman-Nya, yang artinya :
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Robb semesta alam.” (QS. At Takwir : 28-29).Karena alam semesta ini seluruhnya milik Allah, maka tidak ada pada miliknya barang sedikitpun yang tidak diketahui serta tidak dikehendakiNya.
Iman kepada takdir ini tidak berarti memberi alasan untuk meninggalkan kewajiban atau untuk mengerjakan maksiat. Kalau itu dibuat alasan, maka alasan itu jelas salah ditinjau dari beberapa segi :
1. Firman Allah, Subhaanahu Wa Ta’ala :
“orang-orang yang menyekutukan Tuhan mengatakan : “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun. Demikian juga orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah : “adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya pada Kami? Kamu tidak mengetahui kecuali prasangka belaka dan kamu tidak lain hanya menyangka.” (QS. Al An’am : 148)
kalau alasan mereka dengan takdir itu dibenarkan, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala tentu tidak akan menjatuhkan siksaNya.
2. Firman-Nya:
“(mereka Kami utus) sebagai Rasul-Rasul pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-Rasul itu. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. An Nisa” : 165).
Kalau takdir dapat dibuat alasan bagi orang-orang yang salah, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala tidak menafikanya dengan diutusnya para Rasul, karena menyalahi sesuatu setelah terutusnya para Rasul jatuh pada takdir Allah Subhaanahu Wa Ta’ala juga.
3. Hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Setiap diri kalian telah ditulis (ditetapkan) temmpatnya di sorga atau di neraka. Ada seorang sahabat bertanya : “Mengapa kita tidak tawaakal (pasrah) saja, wahai Rasulullah?” beliau mejawab : “tidak, berbuatlah karena masing-masing akan dimudahkan.” Lalu beliau membaca surat Al lail ayat 4-7 :
jadi, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan untuk berbuat serta melarang menyerah pada takdir.
4. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memerintah serta melarang hamba-hambaNya, namun tidak menuntutnya kecuali yang mampu dikerjakan.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS. Al Baqarah : 286).
Kalau manusia dipaksakan untuk berbuat sesuatu, artinya disuruh mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan, maka ini merupakan suatu kesalahan. Oleh karena itu, bila maksiat dilakukan karena kebodohan atau karena lupa, atau karena dipaksa, maka pelakunya tidak berdosa. Mereka dimaafkan Allah.
5. Takdir Allah adalah rahasia yang tersembunyi, tidak dapat diketahui sebelum terjadinya takdir serta kehendak seseorang untuk mengerjakannya terlebih dahulu daripada perbuatannya. Jadi, kehendak seseorang untuk mengerjakan sesuatu itu tidak berdasarkan pada pengetahuannya akan takdir Allah. Pada waktu itu habislah alasannya dengan takdir karena tidak ada alasan bagi seseorang terhadap apa yang tidak diketahuinya.
6. Kita melihat orang yang ingin mendapatkan urusan dunia secara layak, tidak ingin pindah kepada yang tidak layak. Apakah ia beralasan pindahnya dengan takdir? Mengapa ia berpindah dari yang kurang menguntungkan kepada yang menguntungkan dengan alasan takdir? Bukankah keadaan dua hal itu satu?
Cobalah perhatikan contoh dibawah ini :
Kalau di depan seseorang ada dua jalan. Pertama menuju ke sebuah negeri yang semuanya serba kacau, pembunuhan, perampokan, pembantaian kehormatan, ketakutan, dan kelaparan. Yang kedua menuju ke sebuah negeri yang semuanya serba teratur, keamanan yang terkendali, kesejahteraan yang melimpah ruah, jiwa, kehormatan, dan harta benda dihormati, jalan mana yang akan ia tempuh?
Ia pasti akan menempuh jalan yang kedua yang menuju ke sebuah negeri yang teratur serta aman. Tidak mungkin orang yang berakal menempuh jalan yang menuju ke sebuah negeri yang kacau serta menakutkan dengan alasan takdir. Mengapa dalam urusan akhirat ia menempuh jalan yang menuju ke neraka bukan jalan yang menuju surga dengan beralasan takdir?
7. Orang yang meninggalkan kewajiban serta melanggar kemaksiatan dengan alasan takdir itu seandainya dianiaya oleh seseorang, dirampas hartanya dan dirusak kehormatannya dengan beralasan pada takdir dan mengatakan : Anda jangan menyalahkan saya, karena kelaliman saya ini adalah takdir Allah, alasannya itu tidak akan diterima. Bagaimana seseorang tidak mau menerima alasan orang lain dengan takdir dalam penganiayaannya terhadap orang lain, lalu ia sendiri beralasan dengan takdir terhadap kelalimannya pada hak Allah Subhaanahu Wa Ta’ala ?
Diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu menerima seorang pencuri yang berhak dipotong tangannya. Beliau memerintahkan agar dipotong tangannya. Pencuri berkata : tunggu dulu, Amirul Mukminin, aku mencuri ini hanya karena takdir Allah. Umar pun tidak kalah menjawab : demikian kami potong tanganmu hanya karena takdir Allah Subhaanahu Wa Ta’ala .
Dengan pemaparan di atas maka jelaslah kewajiban beriman kepada takdir, namun terdapat syubhat yang ditiupkan oleh kaum Mu’tazilah tentang takdir ini yang dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhany di kota Bashrah bahwa urusan ini adalah urusan baru tidak pernah ditakdirkan oleh Allah dan tidak diketahui Allah kecuali telah terjadi, namun sebelumnya tidak diketahui. Pemikiran ini mungkin muncul karena pada banyak ayat dalam Al-Qur’an tidak disebutkan Iman kepada takdir dalam rukun–rukun Iman :
*Syubhat I : Qs 4 :136
Pada akhir ayat menyebutkan 5 rukun Iman
* Syubhat II Qs.2 :177
Kembali Allah menyebutkan hanya 5 rukun Iman.
Maka Jawaban kita :
1. Ahlussunnah wal Jamah mengatakan bahwa kita diperintahkan untuk beriman kepada Al- Quran secara kesuluruhan tanpa membagi-baginya, dalam QS Al Baqarah :85 Allah Subhaanahu Wa Ta’ala mengancam orang-orang yang hanya mengimani sebagian dan mengkafiri sebagian
Pada akhir ayat ini disebutkan bahwa orang yang mengkafiri sebagian ayat dari Al Quran pada hakekatnya ia mengkafiri seluruh Al-Quran.
Penjelasan bahwa semua yang terjadi atas takdir Allah di mana Allah berfirman dalam QS 54:49 :
2. Walaupun Allah tidak menyebutkan Iman kepada takdir bersama-sama dengan rukun iman yang lain namun dalam banyak hadits shohih menyebutkan iman kepada takdir sebagai salah satu rukun iman dan inilah hadits pokok yang menerangkan hal itu.. Dan Allah menyuruh kita untuk mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (Lihat : QS. 59:7 dan 3:31)
Hal ini menunjukkan bahwa As-sunnah itu adalah penjelas dari Al-Quran bahkan kadang melengkapi atau menyebutkan apa yang belum disebutkan oleh Al-Quran.
Jika kaum Mu’tazilah menolak hadits yang jelas ini dengan dalih hadits ini hadits ahad, maka pada dasarnya penolakan tersebut tidak beralasan karena kenyataannya hadits ini mutawatir karena telah diriwayatkan oleh minimal delapan orang sahabat yaitu Abu Hurairah, Umar, Abu Dzar, Anas, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Amir Al Asy’ari dan Jarir Al Bajali Radhiyallahu ‘Anhum [1]
Hadits ini menunjukkan keutamaan ihsan dan menjelaskan bahwa kadang seseorang telah sampai pada tingkat mu’min tetapi belum sampai ke tingkat muhsin. Orang muhsin adalah orang yang benar-benar dekat kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala , penuh muroqabah dan khusyuk dan hal ini tidak didapatkan oleh setiap mukmin, sebagaimana tingkat mukmin tidak semua dicapai setiap muslim. Seorang yang ingin mencapai derajat muhsin harus memantapkan ibadah, menjaga hak-hak Allah dan selalu merasa diawasi oleh-Nya, mengingat keagungan dan kemuliaan Allah ketika ibadah.
Jadi seorang dalam Ad Dien ini mengalami 3 fase, yakni seorang muslim kemudian mukmin lalu tertinggi adalah muhsin.
Kata ihsan telah disebutkan di beberapa tempat dalam Al Quran ; kadang beriring dengan kata iman, kadang dengan islam dan kadang dengan takwa atau amal.
Contoh penggunaan ihsan yang beriringan dengan iman :
Ihsan yang beriringan dengan Islam :
Kata ihsan yang beriringan dengan kata taqwa :
Kadang kata ihsan disebutkan bersendiri , sebagaimana dalam firman-Nya :
Dalam shohih Muslim disebutkan tafsiran kata ((æóÒöíóÇÏóÉñ "dan tambahannya." Yaitu melihat wajah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala di dalam surga. Hal tersebut sangat sesuai dijadikan balasan bagi pelaku ihsan karena seorang yang ihsan beribadah kepada Rabbnya di dunia ini dengan menghadirkan dan memunculkan perasaan diawasi , seakan-akan dia melihat-Nya dengan hatinya dan melihat-Nya pada saat sedang beribadah karena itu maka balasan atas perbuatan tersebut dan kesabarannya dia benar-benar dapat melihat Allah Subhaanahu Wa Ta’ala di akhirat dengan mata kepala mereka[2]Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menafsirkan ihsan sebagai :“Hendaknya engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”, dalam hadits ini beliau mengisyaratkan bahwa seorang hamba yang beribadah kepada Allah dengan cara ihsan senantiasa merasakan kedekatan –Nya, bahwa dia dihadapannya seakan-akan dia melihatNya dan hal ini akan memunculkan rasa khusyu’, takut, segan dan mengagungkanNya serta mengerahkan seluruh kemampuannya untuk memperbaiki dan menyempurnakannya.
Makna As-sa’ah
Secara bahasa (As-sa’ah) memiliki beberapa pengertian :
– waktu secara umum
– durasi waktu selama 60 menit.
– Alat yang menunjukkan waktu
Secara istilah adalah hari kiamat.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ditanya tentang hari kiamat maka beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab dengan perkataan Tidaklah yang ditanya lebih mengetahui dari yang bertanya. . .” Maksud perkataan ini adalah bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak tahu sebagaimana penanya juga tidak tahu.
Beberapa faidah dari potongan hadits ini :
o Hari kiamat adalah salah satu masalah yang ghaib yang tidak ada yang tahu kecuali Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Hari kiamat termasuk kunci ghaib yang disebutkan oleh Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya,artinya:
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) (QS. Al An’am:59)
Dalam surah lain ditegaskan lagi mengenai kunci ghaib yakni sebagaimana dalam QS. 31:34
Maka kunci ghaib ada 5 yaitu:
1) Hari kiamat
2) Janin yang ada dalam rahim
3) Yang dilakukan besok
4) Kapan turun hujan
5) Di mana seseorang akan mati
Jika ada atsar yang menyebutkan secara persis waktu hari kiamat maka atsar itu tertolak dan barangsiapa yang mengaku mengetahui kapan kiamat maka orang itu pendusta
o Menunjukkan hendaknya seorang alim ketika ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahui jawabannya maka hendaknya menegaskan bahwa ia tidak tahu. Apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa beliau sendiri juga tidak tahu tentang sesuatu yang memang tidak diketahui (ghoib) juga dikatakan oleh hamba-hamba Allah yang sholih yakni malaikat
Demikian pula para sahabat dan diwarisi pula oleh para as salaf ash-sholih :
Al Bara bin ‘Azib Radhiyallahu ‘Anhu menceritakan:
“Saya sudah melihat 300 ahlul Badar tidaklah salah seorang diantara mereka ditanya melainkan mengharap cukuplah saudara mereka yang berfatwa”.[3]
Abdurrahman bin Abi Laila –seorang tabi’in yang mulia- menuturkan:
“Sungguh saya telah bertemu 120 sahabat Anshar di mesjid ini (mesjid Nabawi), tidaklah seorang di antara mereka ketika menyebutkan sebuah hadits melainkan dia berharap cukup saudaranya saja yang menyebutkannya dan tidaklah seorang di antara mereka dimintai fatwa (ditanya sesuatu) melainkan dia berharap cukup saudaranya saja yang berfatwa(menjawab)" Dalam sebagian riwayat disebutkan : "…salah seorang diantara mereka ditanya suatu masalah lalu dia melemparkan pertanyaan tersebut kepada saudaranya dan demikian seterusnya hingga kembali kepada orang yang pertama kali ditanya [4]
Sufyan Ats-Tsauri ÑÍãå Çááå menyatakan:
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menyatakan :
“Sesungguhnya orang yang berfatwa kepada manusia dalam semua masalah yang ditanyakan maka dia seorang yang majnun(gila)”.[5]
Amirul mu’minin dalam hadits yakni Imam Malik ÑÍãå Çááå pernah didatangi utusan yang datang dari jauh lalu berkata kepada beliau : "Wahai Abu Abdillah, aku datang dari sebuah tempat yang jaraknya 6 bulan perjalanan, saya diutus oleh penduduk negeriku untuk bertanya kepadamu suatu masalah" Beliau berkata: "Silakan bertanya" Maka orang itu bertanya suatu masalah namun dijawab oleh Imam Malik dengan: “Saya tidak (mengetahuinya) dengan baik”. Penanya tersebut terdiam, karena seakan-akan dia telah duduk di hadapan seorang yang mengetahui segala masalah, lalu dia berkata: "Apa yang harus saya katakan kepada penduduk negeriku jika saya pulang menemui mereka?" Imam Malik berkata : "Kamu katakan kepada mereka bahwa Malik menjawab: “Saya tidak menguasai masalah itu dengan baik”.[6] Bahkan salah seorang rekan dan murid beliau yaitu Ibnu Wahab mengatakan : "Seandainya kami menulis dari Malik perkataan beliau "saya tidak tahu" tentu kami akan memenuhi buku-buku kami (dengan perkataan tersebut)"[7]
o Jangan berfatwa tanpa ilmu dan bukanlah suatu kelemahan dan penghinaan bagi seseorang jika ia tidak menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya ketika ia tidak mengetahui jawabannya bahkan menunjukkan kemuliaan dan keutamaan dirinya yang mengetahui kadar kemampuannya serta mengetahui hakekat dirinya.
Perkataan tanpa ilmu merupakan salah satu dosa bahkan dosa yang besar bahkan dapat menjadikan diri kita sebagai tandingan bagi Allah Subhaanahu Wa Ta’ala .
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".(QS. Al A’raaf :33)
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah ÑÍãå Çááå berkata tentang ayat ini : "Allah mengurutkan hal-hal yang diharamkan menjadi empat tingkatan dimulai dengan yang teringan yaitu al fawahisy (perbuatan yang keji), kemudian kedua yang lebih keras pengharamannya yaitu al itsm dan azh zhulm (perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar), kemudian ketiga yang lebih keras pengharamannya dari keduanya yaitu syirik kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala kemudian keempat dosa yang terbesar dari semua yang telah disebutkan tadi yaitu berkata atas nama Allah tanpa ilmu pengetahuan" [8]
Syetanlah yang banyak menjatuhkan manusia sehingga berani untuk berbicara tanpa ilmu pengetahuan , Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman :
Imam Thahawi ÑÍãå Çááå berkata: “Kami -Ahlussunnah wal Jamaah- berkata ”Allahu a’lam” terhadap hal-hal yang masih kabur ilmunya terhadap kami” [9]
Imam Sya’bii (Tabiin Kabiir) berkata: “Perkataan ‘Laa Adrii (saya tidak tahu) adalah sebagian dari ilmu”.[10]
Sebenarnya dalam hal ilmu maka seseorang tidak terlepas dari salah satu dari hal berikut
1) Orang yang tahu dan dirinya tahu bahwa ia tahu, orang ini adalah alim
2) Orang yang tahu tapi tidak tahu bahwa dirinya tahu. Orang ini adalah orang lalai dan perlu diingatkan
3) Orang yang tidak tahu dan dia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Orang ini bodoh maka ajarilah dia.
4) Orang yang tidak tahu dan ia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Orang ini jahil murokkab (berlipat ganda) maka ini yang berbahaya, jauhilah dia.
Maka jawaban kita ketika ditanya tentang sesuatu yang tidak kita ketahui adalah :
— Saya tidak tahu ( áÇ ÃÏÑí ), atau sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Jibril : "Tidaklah yang ditanya lebih tahu dari yang bertanya" (ãÇ ÇáãÓÄæ á ÚäåÇ ÈÃÚáã ãä ÇáÓÇ Æá)
–Wallahu a’lam
Tanda-tanda hari kiamat yang ditanyakan kepada beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam , maka dijawab:
“ . . .Budak melahirkan majikannya. . .”
Ada beberapa pengertiannya menurut para ulama :
– nanti kaum muslimin bisa mengalahkan orang kafir sehingga banyak budak, akhirnya terjadilah anak budak Sekembali terjadinya perbudakan dimana ibu melahirkan wanita merdeka karena mengambil status ayahnya yang merdeka.
– Atau seorang budak (ibu) dijual lalu dibeli oleh anaknya sendiri
– Budak yang melahirkan anak-anak raja
– Orang Ajam melahirkan orang Arab
– Banyak maksiat terutama durhaka kepada kedua orang tua, anak berlaku seperti majikan dihadapan ibunya sendiri; memerintah, membentak bahkan memukul. Hal ini sekarang telah terjadi dan inilah pembenaran dari apa yang pernah dikatakan Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallohu anhuma:
Disini disebutkan empat sifat orang-orang tersebut :
ÇáÍÝÇÉ = telanjang kaki
ÇáÚÑÇÉ = tidak berpakaian
ÇáÚÇ áÉ = orang-orang miskin
ÑÚÇ ÁÇ ÇáÔÇÁ = penggembala kambing
pengkhususan penyebutan penggembala kambing karena mereka adalah orang yang miskin berbeda dengan pemilik onta diantara mereka ada yang bukan orang miskin/fakir (sehingga mereka masih mungkin untuk meninggikan bangunan)
Faidah dan maksud hadits ini:
o Manusia pada akhir zaman berlomba-lomba dalam masalah dunia, hingga orang miskin pun sangat rakus dengan dunia . Dan inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam jika melanda ummatnya, sebagaimana dalam hadits :
o Hadits ini mengandung kinayah (kiasan) bukan makna sebenarnya tetapi maksudnya orang yang tidak ahli dalam suatu urusan lalu diamanahkan untuk mengurusnya. Dan inilah yang yang rajih- insya Allah- sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
o Tercelanya orang meninggikan bangunan secara mewah tanpa hajat. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri tidak menyukai bangunan yang ditinggikan tanpa hajat, karena hal tersebut termasuk ÅÖÇÚÉ ÇáãÇá (menyianyiakan harta) sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ash-Shon’ani dalam kitabnya Subulussalam.[11]
Kedua tanda kiamat yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadits ini tidaklah bermakna pembatasan, tetapi inilah 2 tanda yang dirasa perlu oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk dijelaskan pada ummatnya sesuai situasi dan kondisi yang ada. Sedangkan tanda-tanda hari kiamat itu sendiri sangat banyak disebutkan dalam hadits-hadits yang lain.
Tanda-tanda hari kiamat ada 2 jenis:
1) Tanda-tanda kiamat kecil (Asyrathus Sa’ah Ash Shughro); yakni telah tampak namun jarak kiamat masih jauh antara lain: diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebagaimana dalam hadits beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa jarak antara diutusnya beliau dengan hari kiamat seperti jarak 2 jari yakni jari tengah dan telunjuknya, banyaknya wanita daripada laki-laki, ilmu dituntut dari anak kecil (menurut Abdullah bin Mubarak yang dimaksud anak kecil adalah ahlul bid’ah), banyak perzinahan dll
2) Tanda kiamat besar (Asyrathus Sa’ah Al Kubro), yang jika telah nampak maka jarak hari kiamat telah sangat dekat, antara lain: diutusnya binatang melata, matahari terbit dari sebelah barat.
Ketika Jibril telah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan berbagai pertanyaan maka beliau pergi.
Pelajaran dari hadits ini:
o Ini menunjukkan secara umum bahwa hendaknya seseorang setelah selesai hajatnya hendaknya segera pulang dan mencari pekerjaan yang lain. Inilah makna firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala pada QS. 94:7
Dan ini dalam semua masalah, termasuk bagi orang yang menghadiri walimah, firman Allah QS. 33:53
Bahkan dalam masalah ibadah demikian pula Allah mengingatkan, dalam surah Al Jumu’ah ayat:10
Demikian pula dalam hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
o Inilah hikmah bahwa setiap muslim hendaknya memanfaatkan waktunya dengan baik tidak menghabiskan waktunya untuk hal yang tidak penting dan tidak ditutup dengan hal yang tidak bermanfaat.
ÝáÈËÊ ãáíÇ
"Maka saya terdiam dalam waktu yang lama"
Pelajaran dari hadits ini:
o Adab dari tholibil ‘ilmi untuk bersabar dan tidak mendahului gurunya
Ini menunjukkan adab seorang penuntut ilmu ketika ingin bertanya, yakni Umar Radhiyallahu ‘Anhu yang sebenarnya ingin bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang hal yang barusan mereka alami dimana datang seorang tamu yang tak dikenal yang mengajukan berbagai pertanyaan berikut sikap-sikapnya yang dianggap aneh oleh para sahabat, peristiwa yang sangat menakjubkan itu ingin sekali ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam namun mereka tidak bertanya karena adab kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam .
Dikatakan dalam sebuah riwayat “saya menunggu hingga 3 hari”, mereka diam sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri menjelaskan
Inilah makna firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala QS. 49:1.
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah jangan kamu membuat suatu hukum yang tidak disebutkan dalam Al Quran dan Assunnah dan sebagian mengatakan jangan membuat sesuatu sebelum diizinkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Sehingga para sahabat kadang mengetahui sesuatu dan mau menyebutkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam namun karena adab kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dia tidak mau menyampaikannya sebagaimana hadits tentang haji wada’ dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya. Pada saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bertanya : “Hari apa ini?, negeri apa ini?”.
Semua pertanyaan ini telah jelas jawabannya bahwa saat itu hari jumat tanggal 9 Dzulhijjah dan mereka berada di Arafah dan hal ini telah diketahui oleh para sahabat namun mereka tidak mau mendahului Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Mereka khawatir jika mereka menyebutkan sesuatu yang ternyata akan diganti oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sampai mereka berkata “kami khawatir jangan-jangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ingin mengganti nama hari ini, tanggal dan nama kota Mekkah ini”. Mereka tidak ingin mendahului Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam membuat keputusan dan hanya mengatakan “Wallahu wa Rasulullah a’lam.[12]
Dan inilah adab para sahabat dan sekaligus para penuntut ilmu kepada gurunya dan tidak mendahului guru dalam arti tidak berbicara yang belum dikatakan oleh gurunya.
o Tidak bertanya sesuatu yang dikhawatirkan meyusahkan atau tidak disenangi oleh Syaikh/guru kita. Sebagaimana Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma ketika bersama Umar Radhiyallahu ‘Anhu dalam sebuah perjalanan pada suatu kali sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang ingin disampaikannya tetapi karena adab kepada gurunya maka beliau sangat berhati-hati dan dipendam karena khawatir menyampaikannya pada moment yang kurang tepat.
o Ini menunjukkan kesabaran dalam menuntut ilmu sangat dituntut. Mungkin dengan kesabaran, ilmu kita menjadi banyak. Kadang tanpa kesabaran ilmu yang bisa diperoleh tidak didapatkan, sebagaimana Nabi Musa Alaihissalam ketika menemani Nabi Khidr Alaihissalam . Disebabkan beliau tidak bersabar sehingga beliau hanya mendapatkan 3 ilmu, seandainya bersabar menurut ulama kita mungkin mendapat ilmu yang lebih banyak.
Ini memberikan pelajaran bahwa:
o Pentingnya berwasiat kepada penuntut ilmu meski tidak diminta terutama yang sangat dibutuhkan. Seperti kisah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika berdua dengan Muadz di atas keledai yang bernama ‘Ufair, beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bertanya kepada Muadz Radhiyallahu ‘Anhu untuk mengajarkan hal tersebut kepadanya tanpa diminta oleh Muadz Radhiyallahu ‘Anhu :
Juga kisah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan Muadz ketika beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu,wahai Muadz. Muadz pun berkata kepada Rasulullah "Aku pun sangat mencintaimu wahai Rasulullah lalu Rasulullah bersabda kepadanya, "Wahai Muadz , janganlah kamu tinggalkan pada (sebelum mengakhiri) sholatmu untuk berdo’a :
Mengenai jawaban ini ada beberapa masalah :
1) Sebagian ulama kita berpendapat bahwa jawaban ini kita berikan bila pertanyaan mengenai masalah-masalah syariat. Jika masalah duniawi dan ghoib maka cukup kita berkata Allahu a’lam .
2) Ada juga yang mengatakan Allahu wa rasuuluhu a’lam dikatakan pada zaman Rasulullah dan setelah wafat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka dikatakan Allahu a’lam
3) Ada juga yang mengatakan kalau Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang bertanya maka dikatakan : Allahu wa Rasuluhu a’lam
. Wallahu a’lam bish shawab.
Ada beberapa pelajaran yakni :
o Salah satu cara untuk mengajari ilmu adalah metode tanya jawab
o Bolehnya bertanya sesuatu yang telah diketahui jawabannya untuk mengajarkan kepada orang lain.
o Pelajaran lain yang berharga dari akhir hadits ini bahwa hendaknya kita menyeleksi syaikh/guru yang akan kita ambil manfaatnya tidak berprinsip semua majelis ilmu kita hadiri dan setiap faedah akan diambil. Hal ini benar kalau kita mampu menyeleksi dan membedakan antara haq dan bathil namun jika tidak, maka kita kembali kepada hukum asal bahwa kita mengambil ilmu dari orang yang kita yakini kemurnian aqidahnya, dan sekaligus dapat kita ambil manfaatnya dari segala hal.
Seseorang yang ingin mencari ilmu memperhatikan syaikhnya/gurunya dan menyeleksi syaikh yang akan dia tempati untuk menuntuit ilmu. Tidak boleh kita bertanya masalah ad-dien ini kepada setiap orang namun hendaknya kepada ahlinya. Sebagaimana perkataan Muhammad bin Sirin rahimahullahu :
Maka terutama jangan menuntut ilmu kepada ahlul bid’ah. Sebagaimana perkataan beliau bahwa dulu para sahabat dan tabi’in ketika menuntut ilmu tidak pernah bertanya masalah sanad, karena semua orang masih berada pada garis ahlissunnah wal jama’ah, namun ketika telah tersebar fitnah dan bid’ah merekapun berhati-hati dan sebelum berilmu mereka bertanya dari manakah kamu mengambil ilmu untuk kemudian meninggalkannya jika orang tersebut dari ahlul bid’ah.
Imam Malik Rahimahullah juga pernah berkata:
“Sesungguhnya Ilmu adalah bagian dari Ad-dien, maka hendaklah kalian melihat kepada siapa kalian mengambil dien kalian, Sesungguhnya saya telah menemui 70 orang di tiang-tiang mesjid ini (beliau menunjuk mesjid nabawi) yang mengatakan berkata fulan : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda namun saya tidak mengambil sedikitpun hadits dari mereka , padahal sesungguhnya jika seseorang diantara mereka diamanahkan menyimpan sesuatu harta maka niscaya dia amanah namun mereka bukan ahli ilmu"[16]
o Menunjukkan hendaknya kita mencari ilmu adalah kepada orang yang lebih afdhol,sebagaimana Jibril (malaikat termulia) yang mengajarkan ilmu kepada shahabat Dalam Al Quran Allah telah mengisyaratkan kepada siapa kita menuntut ilmu dan kepada siapa kita tidak pantas menuntut ilmu.
Ibnu Qayyim al Jauziyah Rahimahullah menjelaskan dari ayat ini tentang yang pantas diambil ilmunya dan yang tidak boleh diikuti. Beliau berkata : "Maka jika seorang hamba mau bberqudwah kepada seseorang maka hendaknya dia melihat ; apakah orang tersebut adalah orang yang senantiasa berdzikir atau termasuk orang-orang yang lalai ? Dan apakah yang mengendalikan dirinya hawa nafsu atau wahyu ? Jika hawa nafsu dan dia termasuk orang-orang yang lalai serta urusannya melampaui batas maka dia tidak berqudwah kepadanya dan tidak mengikutinya karena orang tersebut akan menggiringnya kepada kehancuran…maka sepantasnya bagi seseorang memperhatikan kepada gurunya, qudwah(panutan) dan orang yang diikutinya, jika dia mendapatkan orang tersebut demikian maka hendaknya dia menjauhkannya dari dirinya , dan jika dia mendapatkannya termasuk orang yang banyak berdzikir kepada Allah dan senantiasa mengikuti sunnah …maka hendaknya dia berpegangteguh dengan ikatannya" [17].
Jadi hendaknya kita betul-betul menyeleksi syekh (guru) yang akan kita ambil ilmunya. Jika kita mendapati seseorang yang berbicara mengikuti hawa nafsunya menghalalkan apa yang diharamkan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala , meski ilmunya banyak maka tidak pantas kita ambil ilmunya. Inilah yang dipraktekkan oleh para sahabat dan tabi’in. Kalau menuntut ilmu mereka perhatikan dulu ibadah, akhlak dan adabnya. Maka kita menuntut ilmu kepada seseorang yang betul-betul melaksanakan ilmunya, bukan orang yang sekedar pandai berbicara, menukil atau memindahkan maklumat yang ia miliki melainkan kepada orang yang bisa kita teladani ilmu dan amaliahnya, adab dan ibadahnya serta orang yang betul-betul bersih masalah aqidahnya.
Dan kini banyak yang terjadi orang yang menuntut ilmu kepada ahlul bid’ah dan meninggalkan ahlusunnah wal jama’ah dan inilah tanda dekatnya hari kiamat sebagaimana hadits yang disebutkan oleh Imam Al Laalikaai dalam syarah Ushulu i’tiqad ahlusunnah wal Jama’ah, dan disebutkan oleh Imam Abdullah bin Mubarak Rahimahullah dalam kitabnya “Az-Zuhud” bahwa diantara tanda hari kiamat ilmu sudah dituntut dari anak kecil
Sebagian ulama kita mengatakan yang dimaksud adalah menuntut kepada anak muda yang hanya berbekal semangat lalu juga mau mengajarkan ilmu namun ini makna yang tidak tepat , tapi maksud anak kecil dalam hadits ini menurut Abdullah bin Mubarak Rahimahullah å adalah ahlul bid’ah.
o Pentingnya talaqqi (mengambil ilmu lewat guru) karena dengan cara ini selain seseorang akan mendapat ilmu maka dia juga memperoleh adab guru. Ulama kita yang terdahulu bukan sekedar mencari ilmu saja tetapi juga adabnya. Bahkan diantara 5000 orang yang menghadiri majelis Imam Ahmad hanya 500 orang yang menulis (untuk mengambil ilmu beliau) selebihnya hanya mau mengambil adab dan akhlak beliau saja masalah ilmu adalah masalah berikutnya.[18]
Inilah fungsi talaqqi menuntut ilmu lewat majelis bukan hanya lewat kitab, sebab dengan buku yang hanya kita ambil hanya segi ilmu saja dan menukil maklumat yang termuat dalam kitab tersebut. Dan ini kurang jika dibandingkan dari fadhilah menuntut ilmu lewat majelis karena kita juga mendapat manfaat adab dan akhlak dari yang memberikan ilmu. Maka hendaknya kita melaksanakan ilmu, sehingga ilmu yang kita ambil adalah ilmu yang hidup yang dapat mengubah adab dan akhlak kita. Sebagaimana kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang wali-wali Allah:
“Ketika dilihat kita mengingat Allah ”. (HR. At-Tirmidzy)
Maksudnya bahwa jika kita memperhatikannya maka kita akan termotivasi unutuk banyak mengingat Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan beribadah kepada-Nya. Sehingga ada yang mengatakan melihat wajah Imam Ahmad lebih afdhal dari beribadah 1000 tahun meski perkataan ini ada kesan terlalu berlebihan (ghuluw) namun sebagian mengatakan bahwa maknanya dengan mengambil manfaat dari adab dan akhlak Imam Ahmad seorang termotivasi untuk banyak beribadah kepada Allah
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini hadits shohih dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu
Imam-imam yang lain meriwayatkan hadits ini diantaranya:
1. Imam An-Nasaai dalam As-Sunan
2. Imam Ibnu Majah dalam As-Sunan nomor 4034
3. Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad
4. Abu Dawud di As-Sunan
5. At Tirmidzi di As-Sunan
6. Al Ajurri di kitabnya Asy Syari’ah
7. Ibnu Hibban di kitabnya Ash Shohih,
Dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sanad sahabat Abu Hurairah dengan redaksi yang sedikit berbeda.
[1] Lihat : Qathful Azhar Al Mutanatsiroh Fii Al Akhbar Al Mutawatiroh (hal 43)
[2] Jami’ Al Ulum wal Hikam (1:126)
[3] Al Faqih wa Al Mutafaqqih (2:349 no. 1076)
[4] Diriwayatkan oleh Imam Darimi dalam Sunannya (1:56-57 no. 135), Al Khathib Al Baghdadi dalam Al Faqih wa Al Mutafaqqih (2:23 no. 640), Abu Khaitsamah dalam Kitab Al ‘Ilm (no. 21), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilm (2:1121 no. 2201) dan Muhammad bin Sa’ad dalam Ath Thobaqat Al Kubro (6:110)
[5] Sunan Ad Darimi (1:66 no. 174), Jami’ Bayanil ‘Ilm (2:843 no. 159)
[6] Jami’ Bayanil ‘Ilm (2:838 no. 1573)
[7] Jami’ Bayanil ‘Ilm (2:839 no. 1576)
[8] I’lamul Muwaqqi’in (1:70)
[9] Lihat : Syarah Al Aqidah Ath Thohawiyah (2 : 548)
[10] Sunan Ad Darimi (1:67 no. 184)
[11] Subulus Salam (4:317)
[12] Atsar ini disebutkan oleh sebagian ahli tafsir dalam menjelaskan ayat pertama dari surat Al Hujurat tadi
[13] Shohih Sunan Nasa’I, 1236, hal yang sama juga pernah terjadi pada Ibnu Abbas t sebagaimana yang –insya Allah- akan dijelaskan dalam hadits yang ke-19
[14] Muqaddimah Shohih Muslim (1:44)
[15] Ibid
[16] Al Faqih wal Al Mutafaqqih (1:195 no. 851)
[17] Al Wabil Ash Shoyyib ) 82-83)
[18] Siyar A’lam An Nubala