Hadits Kedua Arbain (Bag. 5)
Lanjutan Penjelasan Hadits Kedua Arbain:
ÃóÎúÈöÑúäöíú Úóäö ÇáÅöÓúÜáÇóãö …ÝóÃóÎúÈöÑúäöí Úóäö ÇáÅöíúãóÇäö¡ …. ÞóÇáó : ÝóÃóÎúÈöÑúäöí Úóäö ÇáÅöÍúÓóÇäö ¡ …
“ . . .Beritahukan aku tentang Islam !……. Beritahukan aku tentang Iman ! …. Beritahukan aku tentang Ihsan ! …”
Islam, Iman dan Ihsan adalah tingkatan-tingkatan dalam Ad-Dien ini. Dan tingkatan yang paling awal adalah Islam.
Islam
Tentang Islam akan dibahas secara lebih terperinci pada hadits ketiga. Namun kaidah yang terkenal bahwa ketika iman dan Islam disebutkan secara bersamaan maka masing-masing membawa maknanya sendiri. Sedangkan jika iman dan islam disebutkan secara terpisah atau disebutkan secara bersendirian maka makna iman dan islam menjadi sama. Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah mendefinisikan Islam dengan Arkanul (penegak/tiang) Islam.
Iman
Defenisi iman maka ada beberapa versi :
o Kaum Murjiah : iman adalah pembenaran oleh hati dan diucapkan dengan lisan (tidak memasukkan amal dalam penamaan iman)
– Ada yang menganggap keberadaan iman konstan, tidak naik dan tidak pula turun.
– Ahlussunnah wal Jama’ah :
Diucapkan dengan lisan ÇáÞæá ÈÇááÓÇä
Dibenarkan oleh hati ÇáÊÕÏíÞ ÈÇáÞáÈ/ ÇáÌäÇä
Diamalkan dengan anggota badan æÇáÚãá ÈÇáÃÑßÇä
Bertambah dengan ketaatan kepada Ar-Rahman íÒíÏ ÈØÇÚÉ ÇáÑÍãä
Berkurang dengan bermaksiat kepada Ar-Rahman æíäÞÕ ÈãÚÕíÉ ÇáÑÍãä
3 unsur ini ; perkataan, pembenaran hati dan pelaksanaan oleh badan adalah satu kesatuan yang dituntut oleh pengakuan keimanan seseorang, jika hilang salah satunya maka tidak sempurna keimanannya. Contoh : jika perkataan tanpa pembenaran hati maka sebagaimana orang-orang munafik
Dalil : Keimanan orang munafiq :
æóãöäó ÇáäøóÇÓö ãóäú íóÞõæáõ ÁóÇãóäøóÇ ÈöÇááøóåö æóÈöÇáúíóæúãö ÇáúÂÎöÑö æóãóÇ åõãú ÈöãõÄúãöäöíä ó
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.(QS. Al Baqarah : 8)
ÅöÐóÇ ÌóÇÁóßó ÇáúãõäóÇÝöÞõæäó ÞóÇáõæÇ äóÔúåóÏõ Åöäøóßó áóÑóÓõæáõ Çááøóåö æóÇááøóåõ íóÚúáóãõ Åöäøóßó áóÑóÓõæáõåõ æóÇááøóåõ íóÔúåóÏõ Åöäøó ÇáúãõäóÇÝöÞöíäó áóßóÇÐöÈõæäó
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. (QS. Al Munafiqun :1)
dan jika membenarkan tanpa mengucapkan maka itu juga tidak menolong seseorang sebagaimana Abu Thalib dan Heraklius
Tentang bertambahnya keimanan seseorang dengan bertaqwa mempunyai landasan dalil baik dalam Al-Quran maupun dalam hadits (tentang cabang iman),diantaranya :
ÅöäøóãóÇ ÇáúãõÄúãöäõæäó ÇáøóÐöíäó ÅöÐóÇ ÐõßöÑó Çááøóåõ æóÌöáóÊú ÞõáõæÈõåõãú æóÅöÐóÇ ÊõáöíóÊú Úóáóíúåöãú ÁóÇíóÇÊõåõ ÒóÇÏóÊúåõãú ÅöíãóÇäðÇ æóÚóáóì ÑóÈøöåöãú íóÊóæóßøóáõæäó
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal,( Qs. Al Anfaal:2)
æóÅöÐóÇ ãóÇ ÃõäúÒöáóÊú ÓõæÑóÉñ Ýóãöäúåõãú ãóäú íóÞõæáõ Ãóíøõßõãú ÒóÇÏóÊúåõ åóÐöåö ÅöíãóÇäðÇ ÝóÃóãøóÇ ÇáøóÐöíäó ÁóÇãóäõæÇ ÝóÒóÇÏóÊúåõãú ÅöíãóÇäðÇ æóåõãú íóÓúÊóÈúÔöÑõæäó
Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. (Qs At Taubah :124 )
åõæó ÇáøóÐöí ÃóäúÒóáó ÇáÓøóßöíäóÉó Ýöí ÞõáõæÈö ÇáúãõÄúãöäöíäó áöíóÒúÏóÇÏõæÇ ÅöíãóÇäðÇ ãóÚó ÅöíãóÇäöåöãú æóáöáøóåö ÌõäõæÏõ ÇáÓøóãóæóÇÊö æóÇáúÃóÑúÖö æóßóÇäó Çááøóåõ ÚóáöíãðÇ ÍóßöíãðÇ
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu’min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, ( QS. Al Fath:4)
Adapun berkurangnya keimanan tidak didapatkan secara nash namun secara logika sesuatu yang bisa bertambah tentu dapat pula berkurang.
Kelezatan dzikir dihalangi oleh kemaksiatan, meninggalkan kebaikan dan hilangnya kebiasaan yang bersifat dzikrullah juga mengurangi keimanan; sebagaimana kaum wanita yang dalam hadits disifatkan bahwa mereka kurang akal dan ad-diennya disebabkan ketika berhalangan /haid maka wanita tidak melakukan sholat dan puasa, meskipun ini adalah hal yang disyariatkan namun tetap menyebabkan berkurangnya keimanan. Adapan dikatakan kurang akal mereka karena mereka terlalu ikut kepada perasaan sehingga kerap melupakan kebaikan orang lain kepadanya.
Dari Hadits Jibril ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendefinisikan Iman dengan Arkanul Iman. Yakni
”…. engkau mengimani Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan beriman kepada takdir baik dan takdir buruk…..”
Ãóäú ÊõÄúãöäó ÈöÇááåö
(1) Iman kepada Allah
Menurut Syaikh Al-Utsaimin ÑÍãå Çááå Iman kepada Allah mengandung empat perkara : [1]
1. Beriman kepada wujudnya Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.
Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara’, dan indra.
a. Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali orang yang di dalam hatinya terdapat sesuatu penyimpangan.
b. Bukti akal tentang wujud Allah adalah proses terjadinya semua makhluk, bahwa semua makhluk yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, dan tidak mungkin pula terjadi secara kebetulan. Tidak mungkin wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat menciptakan dirinya sendiri. Sebelum wujudnya tampak, berarti tidak ada. Adanya makhluk dengan aturan aturan yang indah, tersusun rapi, dan saling terkait dengan erat antara sebab-musababnya dan antara alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak teratur. Kalau makhluk tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, dan tidak tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta alam. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menyebutkan dalail aqli (akal) dan dalil qath’i dalam surat Ath thur :
Ãóãú ÎõáöÞõæÇ ãöäú ÛóíúÑö ÔóíúÁò Ãóãú åõãõ ÇáúÎóÇáöÞõæäó (35) ÓæÑÉ ÇáØæÑ
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? ( QS. At-Thur : 35).
Ketika Jubair bin Muth’im mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang tengah membaca surat Ath-thur dan sampai kepada ayat-ayat ini : Ia-yang tatkala itu masih musyrik- berkata : “Hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku.” (HR. Al-Bukhari).
a. Bukti syara’ tentang wujud Allah Subhaanahu Wa Ta’ala bahwa seluruh kitab samawi(yang diturunkan dari langit ) berbicara tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Robb Yang Maha Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan makhluk-Nya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang dari Robb Yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa yang diberitakan itu.
b. Bukti inderawi tentang wujud Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dapat dibagi menjadi dua:
1. kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya do’a orang-orang yang berdo’a serta penolong-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Alah Subhaanahu Wa Ta’ala.
2. Tanda-tanda para Nabi yang disebut mukjizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang wujud yang mengutus para Nabi tesebut, yaitu Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, karena hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai penguat dan penolong bagi para Rasul. Tanda-tanda yang diberikan Allah, yang dapat dirasakan oleh indera kita itu adalah bukti pasti wujudNya.
Dengan dalil-dalil ini maka jelaslah bahwa mengimani keberadaan Allah adalah sesuatu yang tidak mungkin dingkari jika masih ada yang menolaknya maka sesungguhnya secara fitrah mereka tetap mengimaninya.
æóÌóÍóÏõæÇ ÈöåóÇ æóÇÓúÊóíúÞóäóÊúåóÇ ÃóäúÝõÓõåõãú ÙõáúãðÇ æóÚõáõæøðÇ ÝóÇäúÙõÑú ßóíúÝó ßóÇäó ÚóÇÞöÈóÉõ ÇáúãõÝúÓöÏöíä ó
Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan. (QS. An Naml :14)
2. Beriman kepada Rububiah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.
Beriman kepada Rububiyah Allah maksudnya : beriman sepenuhnya bahwa Dialah Robb satu-satunya, tiada sekutu dan tiada penolong bagiNya. Robb adalah yang berhak menciptakan, memiliki serta memerintah. Jadi, tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada perintah selain perintah dari-Nya. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala telah berfirman:
… ÃóáóÇ áóåõ ÇáúÎóáúÞõ æóÇáúÃóãúÑõ ÊóÈóÇÑóßó Çááøóåõ ÑóÈøõ ÇáúÚóÇáóãöíä
“…Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanya hak Allah. Maha suci Allah, Robb semesta alam.” (QS. Al-A’raf : 54).
Tidak ada makhluk yang mengingkari kerububiyahan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, kecuali orang yang congkak sedang ia tidak meyakini kebenaran ucapannya, seperti yang dilakukan Fir’aun ketika berkata kepada kaumnya :
æóÞóÇáó ÝöÑúÚóæúäõ íóÇÃóíøõåóÇ ÇáúãóáóÃõ ãóÇ ÚóáöãúÊõ áóßõãú ãöäú Åöáóåò ÛóíúÑöí
“Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” ( QS. Al-Qashash : 38)
ÞóÇáó áóÞóÏú ÚóáöãúÊó ãóÇ ÃóäÒóáó åóÄõáÇÁ ÅöáÇøó ÑóÈøõ ÇáÓøóãóÇæóÇÊö æóÇáÃóÑúÖö ÈóÕóÂÆöÑó æóÅöäøöí áÃóÙõäøõßó íóÇ ÝöÑúÚóæäõ ãóËúÈõæÑðÇ
(Nabi Musa berkata kepada Fir’aun) : “Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Robb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai fir’aun, seorang yang akan binasa.” (QS. Al-Isra’ : 102).
Oleh karena itu, sebenarnya orang-orang musyrik mengakui rububiyah Allah, meskipun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah (penghambaan).
æáÆä ÓÃáÊåã ãä ÎáÞ ÇáÓãÇæÇÊ æÇáÃÑÖ áíÞæáä ÎáÞåä ÇáÚÒíÒ ÇáÚáíã
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab, “Semuanya diciptakan oleh yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” ( QS. Az-Zukhruf : 9).
æáÆä ÓÃáÊåã ãä ÎáÞåã áíÞæáä Çááå ÝÃäì íÄÝßæä
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka : “siapakah yang menciptakan mereka?”, niscaya mereka menjawab : “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Az-Zukhruf : 87).
3. Beriman kepada Uluhiyah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.
Artinya : Mentauhidkan Allah dengan meyakini Nya sebagai satu-satunya Ilah yang haq, tidak ada sekutu bagi-Nya dan hanya kepada-Nyalah kita berkewajiban untuk beribadah sesuai ketetapan syariat. Inilah yang kemudian menjadi pembeda antara muslim dan kafirnya seseorang. Al Ilah artinya “al ma’luh”, yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan. Setiap sesuatu yang disembah selain Allah, Uluhiyahnya adalah batil.Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
Ðóáößó ÈöÃóäøó Çááøóåó åõæó ÇáúÍóÞøõ æóÃóäøó ãóÇ íóÏúÚõæäó ãöäú Ïõæäöåö åõæó ÇáúÈóÇØöáõ æóÃóäøó Çááøóåó åõæó ÇáúÚóáöíøõ ÇáúßóÈöíÑõ
“(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Hajj : 62).
Oleh karena itu para Rasul ‘Alaihimussalam berkata kepada kaum-kaumnya :
….. Ãóäö ÇÚúÈõÏõæÇ Çááøóåó ãóÇ áóßõãú ãöäú Åöáóåò ÛóíúÑõåõ ÃóÝóáóÇ ÊóÊøóÞõæäó
“Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan selain daripadanya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa (kepadaNya)?” ( QS. Al-Mu’minun : 32).
æóãóÇ ÃóÑúÓóáúäóÇ ãöäú ÞóÈúáößó ãöäú ÑóÓõæáò ÅöáøóÇ äõæÍöí Åöáóíúåö Ãóäøóåõ áóÇ Åöáóåó ÅöáøóÇ ÃóäóÇ ÝóÇÚúÈõÏõæäö
Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS. Al Anbiya :25)
Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’ala adalah satu-satunya Robb, Pencipta, yang di tangan-Nya kekuasaan segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dialah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi-Nya. Ini mengharuskan pengesaan uluhiyah (penghambaan), sebagaimana mereka mengEsakan Rububiyah (ketuhanan) Allah.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman :
íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáäøóÇÓõ ÇÚúÈõÏõæÇú ÑóÈøóßõãõ ÇáøóÐöí ÎóáóÞóßõãú æóÇáøóÐöíäó ãöä ÞóÈúáößõãú áóÚóáøóßõãú ÊóÊøóÞõæäó(21) ÇáøóÐöí ÌóÚóáó áóßõãõ ÇáÃóÑúÖó ÝöÑóÇÔÇð æóÇáÓøóãóÇÁ ÈöäóÇÁ æóÃóäÒóáó ãöäó ÇáÓøóãóÇÁ ãóÇÁ ÝóÃóÎúÑóÌó Èöåö ãöäó ÇáËøóãóÑóÇÊö ÑöÒúÞÇð áøóßõãú ÝóáÇó ÊóÌúÚóáõæÇú áöáøåö ÃóäÏóÇÏÇð æóÃóäÊõãú ÊóÚúáóãõæäó ÓæÑÉ ÇáÈÞÑÉ
“Hai manusia, sembahlah Robbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orag yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahiu.” ( QS. Al-Baqarah : 21-22).
4. Beriman kepada Asma’ (nama-nama) dan sifat Allah Subhaanahu Wa Ta’ala .
Yaitu menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhaanahu Wa Ta’ala yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya sesuai dengan yang ditunjukkan dalam Al-Qur’an atau sunnah Rasul-Nya dengan cara yang sesungguhnya dan sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif ,ta’thil , takyif dan tamtsil [2]
æóáöáøóåö ÇáúÃóÓúãóÇÁõ ÇáúÍõÓúäóì ÝóÇÏúÚõæåõ ÈöåóÇ æóÐóÑõæÇ ÇáøóÐöíäó íõáúÍöÏõæäó Ýöí ÃóÓúãóÇÆöåö ÓóíõÌúÒóæúäó ãóÇ ßóÇäõæÇ íóÚúãóáõæäó
Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS.Al A’raaf : 180)
áóíúÓó ßóãöËúáöåö ÔóíúÁñ æóåõæó ÇáÓøóãöíÚõ ÇáúÈóÕöíÑõ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Asy Syuro : 11)
Di ayat ini terdapat penafian/peniadaan secara global (An Nafyu Al Mujmal) dan penetapan secara rinci (Al Itsbat Al Mufashshal) sesuai yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, sebab yang mengetahui nama-nama dan sifat-sifat Allah tentu hanya Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam contoh : Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menyebut dalam Al Quran bahwa Dia mempunyai tangan maka kita meyakini bahwa Allah memang mempunyai tangan sebagaimana Allah mempunyai mata dan mempunyai sifat Maha Melihat namun tidak ada yang dapat menyamai-Nya dan tidak pula diketahui kaifiyatnya.
Diantara orang-orang yang menisbatkan dirinya sebagai umat Islam terpecah menjadi 3 kelompok dalam Asma wa Shifat yaitu mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhaanahu Wa Ta’ala secara keseluruhan sebagaimana yang dijelaskan di atas dan inilah kelompok yang selamat yaitu Ahlussunnah wal Jamaah dan ada dua golongan yang tersesat,
1. Golongan Mu’aththilah, yaitu mereka yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah.. Kelompok ini dipelopori oleh Al-Jahmiyah yang dikafirkan oleh sebagian ulama atau mengingkari sebagiannya saja dan menetapkan sebagian sifat saja, ini dipelopori oleh Al Asya‘irah yang menyebar pula di Indonesia.. Mereka hanya menetapkan hanya 7 sifat Allah yaitu Al-Ilmu, Al-Hayyu, Al-Qudrah, Al-Iradah, Al-Bashar, As-Sama’, Al-Kalam. Yang lain seperti wahdaniyah, wujud, mukhalafatu lil hawadits dan lainnya berkembang dari yang ketujuh tadi. Kemudian mereka menafikan sifat Allah yang lain seperti mempunyai tangan, mempunyai mata, al mahabbah dan sifat –sifat lain.
Menurut sangkaan mereka, menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu kepada Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan), yakni menyerupakan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dengan makhluk-Nya. Mereka berkata seperti ini karena berpandangan bahwa jika kita menetapkan sifat Allah maka kita menyamakan-Nya dengan makhluk
Pendapat ini jelas keliru karena :
a. Sangkaan itu akan mengakibatkan hal-hal yang bathil atau salah, karena Allah Subhaanahu Wa Ta’ala telah menetapkan untuk diriNya nama-nama dan sifat-sifat, serta telah menafikan sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbulkan adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam kalam Allah serta sebagian firman-Nya akan menyalahi sebagian yang lain.
b.Kecocokan antara dua hal dalam nama atau sifatnya tidak mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat ada dua orang yang keduanya manusia, mendengar, melihat dan berbicara, tetapi tidak harus sama dalam makna-makna kemanusiaannya, pendengarannya, penglihatannya, dan pembicaraannya. Anda juga melihat beberapa binatang yang punya tangan, kaki dan mata, tetapi kecocokannya itu tidak mengharuskan tangan, kaki dan mata mereka sama. Apabila antara mkhluk-makhluk yang serupa dalam nama atau sifatnya saja jelas memiliki perbedaan, maka tentu perbedaan antara khaliq (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.
2.Golongan Musyabbihah, yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat, tetapi menyerupakan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dengan makhluknya. Mereka mengira hal ini sesuai dengan nash-nash Al Qur’an, karena Allah berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat difahaminya. Anggapan ini jelas keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain :
a. Menyerupakan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang bathil, menurut akal maupun syara’. Padahal tidak mungkin nash-nash kitab suci Al-Qur’an dan sunnah Rasul menunjukkan pengertian yang bathil.
b. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berbicara dengan hamba-hambaNya dengan sesuatu yang dapat dipahami dari segi asal maknanya. Hakikat makna sesuatu yang berhubungan dengan dzat dan sifat Allah adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah saja.
Apabila Allah menetapkan untuk diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum dari segi maknanya, yaitu menemukan suara-suara. Tetapi hakikat hal itu dinisbatkan kepada pendengaran Allah tidak maklum, karena hakekat pendengaran jelas berbeda, walau pada makluk-makhluk sekalipun. Jadi perbedaan hakikat itu antara pencipta dan yang diciptakan jelas lebih jauh berbeda.
Apabila Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberitakan tentang diri-Nya bahwa Dia bersemayam di atas Arsy-Nya, maka bersemayam dari segi asal maknanya sudah maklum, tetapi hakekat bersemayamnya Allah itu tidak dapat diketahui.