Hadapi Takdir Kauny Dengan Takdir Syar’iy
Wawancara dengan Prof. Dr. Nashir Sulaiman al-Umar (2 Habis)
Pembaca yang Budiman, edisi kali ini kami kembali melanjutkan kutipan wawancara majalah al-Bayan dengan Prof. Dr. Nashir Sulaiman al-Umar. Mengingat panjangnya wawancara ini, redaksi hanya mengutip petikan-petikan yang masih sangat relevan dengan waqi’ (realita) kita hari ini. Selamat mengikuti.
Al-Bayan: Shahwah Islamiyah (kebangkitan Islam) telah tersebar ke mana-mana. Tetapi di sana sini masih banyak kekurangan-kekurangan. Di antaranya kurangnya perhatian pada pengembangan potensi demi melayani ummat. Tanggapan Anda?
Syaikh Nashir: Betul, di sana sini masih banyak kekurangan dalam memamanfaatkan potensi yang telah dihimpun oleh ummat ini. Tapi tentu kita tidak boleh meratapi kekeliruan ini. Sikap yang tepat adalah kita bersegera mengejar ketertinggalan itu, memanfaatkan semua peluang agar kita bisa bergerak maju ke depan. Sebab orang mu’min itu pantang terjatuh dua lali pada lubang yang sama. Bukan ungkapan yang bijak “kita dulu begini!” tetapi ucapan yang tepat adalah “kita akan begini!”. Kita memang seharusnya memanfaatkan apa yang telah dicapai oleh musuh-musuh kita dalam memperkuat posisi mereka. Dengan itu mereka menguasai dunia ini meski cita-cita mereka tidak melewati tembok-tembok dunia. Kita ingin menguasai sarana yang mereka gunakan untuk kita manfaatkan sebaik-baiknya sebab kita adalah pemilik sah dunia ini.
Al-Bayan: Realita dakwah kita bertutur bahwa banyak di antara mereka yang terjebak dalam belenggu hizbiyah dan ta’asshub. Bagaimana pandangan Anda tentang masalah ini?
Syaikh Nashir: Ummat ini dalam sejarahnya dipenuhi oeleh sikap ta’asshub (fanatik buta). Sesudah masa-masa ummat terbaik (al-qurun al mufadh-dhalah) lahirlah berbagai firqah bid’ah seperti khawarij, jahmiyah dan berbagai firqah (kelompok) terkenal yang menggerogoti tubuh ummat. Setelah itu tibalah pada fase lain yaitu ta’asshub mazhab dan berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Lalu pada masa kita sekarang ini bermunculanlah berbagai jama’ah dan tanzhim (organisasi) da’wah yang tidak dipungkiri sahamnya dalam mengenyahkan penjajah, mengawal agama ini, mentarbiyah generasi ummat.
Akan tetapi sangat disayangkan banyak di antara kelompok-kelompok dakwah itu terjebak pada sikap ta’asshub buta tadi yang pada akhirnya berimplikasi pada terkotak-kotaknya ummat Islam. Lalu tahun-tahun terakhir ini ummat ini muncu fenomena baru yaitu ta’asshub pada tokoh dan meredupnya kharisma dan pengaruh jama’ah-jama’ah tadi maka musibahpun semakin bertambah-tambah. Betul ta’asshub dan perpecahan ini adalah takdir kauni seperti yang disebutkan oleh Rasulullah tentang berpecahnya ummat ini, akan tetapi wajib bagi ummat ini menghadapi takdir kauni ini dengan takdir syar’i yaitu wajibnya mengumpulkan ummat ini dan mempersatukannya demi mengamalkan firman Allah ta’ala, “Berpegang teguhlah kalian pada tali (agama) Allah dan jangan berpecah belah dan ingatlah nikmat Allah pada kalian ketika kalian masih bermusuh-musuhan. Lalu Allah mempersatukan hati-hati kalian maka dengan itu kalian menjadi bersaudara. Dulu kalian berada di tepi jurang neraka lalu Allah menyelamatkan kalian. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatNya pada kalian mudah-mudahan kalian mendapatkan petunjuk”. (Ali Imran: 103).
Selain tentunya kita tetap mengingatkan ummat ini akan bahaya perpecahan karena demikian besarnya bahayanya. Allah berfirman, “Dan taatlah pada Allah dan RasulNya. Dan janganlah kalian saling berselisih yang menyebabkan kalian gentar dan hilangnya kekuatan kalian. Dan bersabarlah. Sungguh Allah bersama dengan orang-orang yang bersabar”. (al-Anfaal: 46)
Di sini saya ingin menekankan tentang perpecahan seperti yang Anda sebutkan dalam pertanyaan tadi. Pertama, Ikhtilaf tadhaad (perbedaan kontradiktif), ini terjadi dalam masalah manhaj (aqidah). Ikhtilaf jenis ini sangat berbahaya. Dan dikhawatirkan pelakunya terjatuh pada sabda Rasulullah tentang perpecahan. Ini yang banyak diabaikan oleh jamaah-jamah yang ada. Kedua, ikhtilaf tanawwu’(perbedaan variatif). Ini kebanyakanya terjadi pada penggunaan sarana syar’i atau berbagai langkah-langkah teknis sesuai dengan keadaan negara dan tempat tertetu. Perbedaan seperti ini bukan aib. Yang berbahaya dalam masalah ini jika masuk di dalamnya masalah-masalah yang tidak syar’i seperti ta’asshub dan tahazzub (fanatik kelompok), permusuhan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain serta menjadikan masalah ijtihad dalam medan aplikasi al walaa’ dan al-baraa’ (sikap loyalitas dan anti loyalitas).
Sangat penting kerja sama dengan berbagai jama’ah dan kelompok tersebut dengan berbagai jenisnya sesuai dengan manhaj ahlussunnah waljama’ah. Antara satu dengan yang lain ada sikap saling mengalah, membuang jauh-jauh sikap benci dan permusuhan. Selain itu, saya juga melihat ada fase baru yang penting dilalui ummat ini yaitu hendaknya ada kerja-kerja komite yang dijalankan di atas manhaj yang haq dan dakwah kepada ilmu sebagai alternatif baru kerja melalui jamaah dan kelompok.
Tentu tetap harus ditegaskan bahwa kesalahan bukanlah pada pengorganisasian manajemen dan afiliasi person kepada jamaah tertentu. Pengorganisasian ini adalah sesuatu yang masyru’ (disyari’atkan) selama ia bersih dari berbagai unsur bid’ah dan fanatisme. Tentu keduanya harus dibedakan (memenej kerja-kerja dakwah dalam sebuah tanzhim dan ta’ashub kepada tanzhim tertentu: red). Kekeliruan banyak orang selama ini terletak pada mencampurbaurkan keduanya, sampai mengharamkan organisasi karena lemahnya ilmu dan pemahaman. Jalan keluar dari masalah ini adalah hendaknya kita fokus pada sikap jujur bersama Allah disertai dengan ilmu serta betul-betul komit dengan manhaj ahlussunnah serta jauh dari sikap memperturutkan hawanafsu dan menimbang dengan dua timbangan.
Banyak yang mengingatkan ummat akan bahaya ta’asshub dan tahazzub akan tetapi ia sendiri terjatuh pada kekeliruan yang lain dengan mengharamkan tanzhim. Saya ingin mengingatkan kita semua dengan firman Allah, “Wahai orang-orang beriman bertakwalah pada Allah dan bersamalah kalian dengan orang-orang yang benar”. (at-Taubah: 119)
Al-Bayan: Ada sebagian thalibul ‘ilmi (penuntut ilmu syar’i) yang kerjanya mencela ulama serta menyibukkan diri dengan itu. Bahkan ada di antara mereka sudah sampai ‘melukai’ kehormatan orang-orang yang berbeda dengan mereka serta menjatuhkan kehormatan ulama tersebut di mata manusia. Kira-kira apa jalan keluar mengatasi masalah ini dan bagaimana mengurangi dampak buruknya?
Syaikh Nashir: Akhil karim, sepertinya saya tidak sependapat dengan Anda. Saya tidak menganggap mereka sama sekali sebagai thalibul ‘ilmi…! Jika kerja mereka hanya menjelek-jelekkan dan merusak kehormatan ulama maka mereka bukan thlibul ilmi. Bahkan bertambah keherananku ketika Anda mensifati mereka sebagai thalibul ‘ilmi lalu Anda mengatakan mereka sibuk merendahkan kehormatan ulama. Ilmu apa yang disandarkan kepada mereka? Ilmu apa yang dengannya mereka bisa dihormati? Pertanyaan Anda mengandung jawaban sekaligus.
Andai mereka thalibul ‘ilmi sejati pasti mereka tidak disibukkan dengan ini. Hampir bisa dipastikan bahwa mereka telah diperdaya oleh hawa nafsu mereka sendiri dan dipalingkan dari kesibukan mempelajari mirats an-nubuwah (warisan kenabian). Dan ini di antara bencara besar yang melanda ummat ini. Ummat disibukkan dari mencapai tujuannya. Masalah ini semakin menjadi jadi ketika ummat semakin bingung mana kebatilan dan mana yang haq.
Kita tidak akan bisa keluar dari musibah ini jika tidak introspeksi total, jujur dengan Allah, jauh dari sikap egois, menegakkan timbangan keadilan paling pertama terhadap diri kita sendiri sebelum kita mengajak orang yang berbeda dengan kita. Ini sebagai bentuk iltizam (komitmen) kita dengan firman Allah, “Wahai orang-orang beriman jadilah kalian penegak-penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap diri kalian sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabat kalian. Jika ia kaya atau miskin maka, Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutar balikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi maka sesunguhnya Allah Maha Mengetahui segala yang kalian kerjakan”. (an-Nisaa’: 135).
Dan di antara yang kita sayangkan adalah kita belum bisa bersikap adil terhadap orang yang berbeda dengan kita. Allah ta’ala memerintahkan kepada orang-orang beriman agar bersikap adil terhadap orang-orang musyrik yang telah mengusir Rasulullah dari Makkah dan menghalangi beliau memasuki masjidil haram. Allah ta’ala berfirman, “Janganlah karena kebencian kalian terhadap sebuah kaum karena menghalangi kalian dari (memasuki) masjidil haram, mendorongmu melampaui batas. Kerjasamalah kalian dalam kebaikan dan takwadan janganbekerja sama dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah pada Allah, sungguh Allah amat keras siksanya” (al-Maaidah: 2)
Mari kita berterus terang pada diri kita. Sudahkah kita bersikap adil pada orang yang berbeda pendapat dengan kita dari kalalang saurara-saudara kita sendiri sebagaimana Allah memerintahkan kita bersikap adil terhadap musuh-musuh kita? Mana sikap rahmah (penyayang) terhadap orang yang berbeda dengan kita? Sudahkah kita mendoakan mereka dan menampakkan sikap lembut pada mereka? Banyak di antara kita mengeluhkan kezaliman padahal kita melakoni kezaliman itu pagi dan petang. Jika kita dituntut mengakui perbuatan itu maka kita berlepas diri semua itu, persis seperti serigala yang berlepas diri dari darah yang menempel di baju Nabi Yusuf. Maka sangatlah bijak jika mereka mengakui semua itu, “Andai mereka jujur bersama Allah, maka itu lebih baik bagi mereka”. (Muhammad: 21)
Sangat gampang mengkritik orang lain bahkan mungkin itu memang betul. Tapi betapa sulitnya bersikap obyektif dan membebaskan diri dari belenggu nafsu jika masalah itu ada pada diri sendiri.
Al-Bayan: Satu sisi penting yang dijadikan oleh Barat sebagai sasaran serangan ke tubuh ummat ini adalah memerangi institusi keluarga, akhlak yang mulia dan pembaratan wanita muslimah. Bagaimana Anda melihat masalah ini?
Syaikh Nashir: sungguh sangat disayangkan tidak sedikit dari penuntut ilmu atau lembaga-lembaga dakwah yang abai tehadap persoalan ini yaitu kewajiban memberi perhatian terhadap dawah dan pembinaan wanita serta bagaimana memalingkan mereka dari serangan budaya Barat. Meski demikian masih ada di antara ummat ini yang meluangkan waktu guna menyelesaikan persoalan ini dengan mengarahkan membina dan mengajar generasi muslimah.
Sampai-sampai saya mengatakan kalau dulu shahwah masih diwarnai oleh laki-laki maka sekarang ini bisa disebut sebagai era Shahwatun Nisaa’ (kebangkitan wanita). Ini ditandai dengan penerimaan yang luar biasa terhadap hijab. Juga di antara yang saya lihat respon mereka yang luar biasa terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah dalam bentuk program pengajaran, banyaknya organisasi kewanitaan, lembaga penghafal al-qur’an, berbagai daurah dan muhadharah khusus wanita bahkan banyak di antara acara tersebut diisi oleh daa’iyah terkenal.
Karena itu, semua wanita harus mendapat perhatian yang serius dan lebih khusus. Jika wanita ditarbiyah dengan tarbiyah shahihah ia akan menjadi benteng yang kokoh dalam menghadapi pukulan yang diarahkan kepada ummat secara umum dan keluarga muslimah secara khusus. Wanita yang sadar, akan memikul beban dan peran yang sebagai ibu dan istri. Meski mereka berada di shaf belakang. Dalam hadits disebutkan Rasulullah bersabda, “Siapa yang mengurus keluarga mujahid fi sabilillah dengan baik maka ia juga berjihad fi sabilillah”(HR. Bukhari).
Bisa saja dalam perjalanannya ada kekeliruan di satu sisi berkenaan dengan pembinaan kaum wanita maka tetap harus diarahkan dengan baik sambil terus memfokuskan pembinaan mereka dalam hal yang berkaitan langsung dengan tabi’at wanita serta menjauhkan mereka dari hal-hal yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan urusan mereka serta tidak membebani mereka dengan tugas-tugas dimana mereka dicipta bukan untuk itu.
Hal yang tak kalah pentingnya adalah melibatkan langsung para ulama yang wara’ dalam membina dan mengarahkan para wanita muslimah sebagai bentuk pengamalan firman Allah, “Dan tidaklah kami mengutus sebelummu kecuali seorang laki-laki (dari kalangan Rasul) kami wahyukan pada mereka. Maka tanyalah ahludz dzikr (ulama) jika kalian tidak mengetahui” (an-Nahl: 43)
Sekali lagi, kita harus selalu sadar untuk memberikan perhatian pada wanita muslimah kita sebab mereka adalah sasaran paling empuk sekularisme dengan mengoyak-ngoyak kehormatan mereka. Bahkan oleh Barat, para wanita kita dijadikan alat untuk merusak moral kaum muslimin sendiri. Dan jangan lupa jatuhnya Andalus (Spanyol) di tangan pasukan salib disebabkan oleh wanita. Begitu pula kekalahan pasukan Arab dalam perang melawan Israel Juni tahun 1967 karena sehari sebelumnya para komandannya asyik menonton buduan dalam sebuah pementasan. Wallahul musta’an.