Islam adalah Dien yang tidak hanya mengatur urusan ibadah mahdhah ritual saja. Tapi Islam merupakan Dien dan sistem hidup yang menata seluruh sisi dan aspek kehidupan. Karena itu, komitmen kita terhadap Islam tidak hanya pada saat menunaikan ibadah ritul. Tapi dalam aspek kehidupan sehari-hari pun kita dianjurkan untuk menerapkan nilai-nilai Islam. Dan setiap aktivitas hidup yang non ibadah mahdhah, jika dilakukan dengan benar sesuai tuntunan Islam dapat bernilai ibadah.
Salah satu aspek kehidupan yang akrab dalam hidup sehari-hari adalah safar atau melakukan perjalanan jauh. Safar pada asalnya merupakan aktivitas hidup duniawi, namun jika diniatkan ibadah dan dilakukan berdasar panduan Islam dapat bernilai ibadah dan mendatangkan pahala.
-
Ma’na safar dan Batasannya
Secara bahasa, safar bermakna membuka atau menyingkap. Secara istilah Para Ulama mendefiniskkan safar dengan keluar dari negeri tempat bermukim menuju suatu tempat dengan jarak tempuh tertentu yang membolehkan seseorang untuk meng-qasar atau men-jama’shalatnya.
Bepergian dinamai safar karena dapat menyingkap wajah dan akhlaq [asli] para musafir. Sehingga saat safar, sifat-sifat asli yang tersembunyi saat muqim menjadi nampak dan terlihat. (Lisanul Arab 4/368). Makna safar seperti ini diriwayatkan pula dari Amirul Mu’minin Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu.
Mengenai batasan safar seperti dimaksud dalam ta’rif di atas, para ulama berbeda pendapat. Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah menyebutkan sekitar 20 pendapat dalam masalah ini. (Subulus Salam, 3/109). Diantara ulama ada yang mengaitkannya dengan jarak. Adapula mengaitkannya dengan jarak tempuh perjalanan sehari semalam dan tiga hari tiga malam, dan ada yang mengembalikannya pada ‘urf. Pendapat yang disebut terakhir tidak membatasi dengan jarak tempuh tertentu, tapi pada pandangan atau kebiasaan suatu masyarakat. Artinya, selama masyarakat di suatu daerah/negeri menganggap suatu perjalanan tertentu sebagai safar, maka ia tergolong safar syar’i yang membolehkan mengqashar shalat, meski jaraknya dibawah 85 km atau dibawah jarak temph sehari semalam.
Pendapat ini dipilih oleh Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah. Alasannya adalah dalam al-Qur’an kata safar disebutkan secara mutlak tanpa pembatasan dan perincian jarak tempuh tertentu. Beliau mengatakan, “Tidak ada dasar yang jelas untuk menentukan batasan jarak safar. Karena menetapkan batasan jarak safar membutuhkan nash (dalil) yang datang dari Allah Ta’ala atau Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
-
Hukum Safar
Ditinjau dari sisi hukumnya safar terbagi atas tiga, yakni (1) safar Ta’at, (2) safar Maksiat, dan (3) safar Mubah. Safar Ta’at adalah perjalanan yang dilakukan dalam rangka menunaikaan ketaatan kepada Allahdan Rasul-Nya. Diantara contoh safar taa’at adalah perjalanan haji dan umrah, jihad, silaturrahim,1 dan menziarahi (menjenguk) orang sakit.2
Sedangkan safar maksiat adalah perjalanan untuk melakukan sesuatu yang dilarang syari’at. Seperti safar ke suatu tempat dengan maksud untuk berbuat maksiat, atau safar-nya seorang wanita tanpa disertai mahramnya. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إلا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ ولا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إلا مع ذِي مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang pria berkhalwat dengan seorang wanita melainkan disertai mahramnya. Dan janganlah seorang wanita bersafar kecuali bersama mahramnya” (HR. Muslim)
Adapun safar mubah adalah perjalanan untuk melakukan aktivitas duniawi yang dihalalkan secara syar’i. Seperti perjalanan dagang, rekreasi yang tidak ada maksiat di dalamnya, berburu, dan sebagainya. Berkenaan dengan safar dagang, Imam Syafi’i rahimahullah bersenandung;
تغرَّب عن الأوطان في طلب العلى *** وسافر ففي الأسفار خمس فوائد
تَفَرُّج همٍّ واكتسابُ معيشــة *** وعلـمٌ وآدابٌ وصحبةُ ماجد
Berkelanalah dari kampung halaman dalam mencari ketinggian
Bersafarlah, di dalam safar terdapat lima faidah
Menghilangkan kegelisahan, memperoleh penghasilan
Mendapat ilmu, adab, dan teman yang baik
(Diwan Syafi’i)
Dari ketiga jenis safar di atas, hanya safar tha’at dan safar mubah saja yang pelakunya (musafir) mendapatkan berbagai keringanan dalam ibadah (rukhshah). Penjelasan tentang keringanan-keringanan (rukhash) bagi musafir akan diuraikan pada tulisan berikutnya insya Allah. (Sym/Tebet, Jaksel 25 Ramadhan 1435 H)
1 Dalam sebuah hadits dikisahkan bahwa seorang Pria menziarahi saudaranya di kampung lain. Dalam perjalanannya, Allah mengutus kepada satu Malaikat untuk menyertainya. “Anda mau kemana?”, tanya Malaikat tersebut. “saya mau menemui saudara [seiman] saya di kampung ini”, jawabnya. Malaikat itu bertanya lagi, “Apakah kamu memiliki suatu nikmat (baca: barang) yang kamu urusi padanya?” “Tidak, hanya saja aku mencintainya karena Allah ‘Azza wajalla”. Lalu Malaikat itu berkata, “Sesungguhnya saya adalah utusan Allah kepadamu untuk mengabarkan bahwa Allah telah mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu karena-Nya‘.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lain beliau bersabda, “Maukah kuberitahukan kepadamu dengan orang-orangmu yang di surga?”. Kami menjawab, “Mau ya Rasulullah”. Beliau bersabda”…….dan orang yang mengunjungi saudaranya sampai ke kota yang dia tidak mengunjunginya kecuali karena Allah berada di surga.” (HR. Al-Thabrani)
2 “Siapa yang menjenguk orang sakit atau mengunjungi suadaranya seiman, maka ada seorang yang menyeru dari langit: kamu adalah orang baik, dan langkahmu juga baik dan engkau berhak menempati suatu tempat di surga.” (Terj. HR. Al-Tirmidzi, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani)