Pertanyaan:
[arabic-font]بسم الله الرحمن الرحيم.
السلام عليكم ورحمه الله وبركاته، وبعد:[/arabic-font]
Pertanyaan saya adalah tentang seseorang yang melakukan safar selama tiga hari. Dalam perjalanan kembali ia makan sahur di suatu tempat 400 km sebelum kota dimana ia tinggal, dan berniat akan puasa pada hari itu. Tetapi ia terlambat dan sampai di rumahnya pada pukul 9 pagi. Di samping itu perjalanan tersebut melelahkan dan ia belum tidur pada malam harinya. Ketika sampai di rumah beliau disambut oleh istrinya, dan setelah memastikan keadaan anak-anaknya mereka melakukan hubungan suami istri, dengan alasan bahwa ia (suami) tidak puasa karena sedang safar, namun setelah itu ia tetap menyempurnakan puasanya. Mohon berikan jawaban kepada kami, jazakumullahu khairan.
Jawaban:

[arabic-font]إن الحمد لله، نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن نبينا محمد عبده ورسوله، اللهم صل على محمد وعلى آله وسلم تسليماً، أما بعد:[/arabic-font]
Orang yang memiliki udzur sepeti safar dan sakit dibolehkan berbuka (tidak puasa). Lalu jika udzurnya telah hilang pada pertengahan siang, seperti sembuh dari sakit atau kembali dari perjalanan, maka ada dua pendapat ulama tentang masalah ini;
Imam Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa tidak wajib imsak (menahan diri dari makan dan minum serta pembatal puasa lainnya pada sampai waktu berbuka.
Sedangkan Hanafiyah dan Hanabilah dalam suatu riwayat berpendapat bahwa ia harus imsak.
Jika salah satu dari pasangan suami istri termasuk yang memiliki udzur untuk tidak puasa dan yang lainnya tidak memiliki udzur, lalu terjadi hubungan intim, maka pada masing-masing berlaku hukum tersendiri. (Maksudnya yang punya udzur tidak berdosa dan tidak berkewajiban bayar kaffarat. Sebaliknya yang tidak punya udzur untuk berbuka wajib bayar kaffarat).
Oleh karena itu, jika dikatakan bahwa keduanya wajib imsak, maka suami dan istrinya wajib membayar kaffarat berupa puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin.
Adapun yang disebutkan dalam pertanyaan ini, maka ia tidak dapat dihukumi sebagai orang yang tidak puasa. Selain itu udzurnya telah hilang, bahkan ia memasuki waktu pagi dalam keadaan berpuasa. Ia juga telah sampai di tempat dimana dia muqim, dan ia sampai dalam keadaan berpuasa. Sehingga ia tidak boleh berbuka meskipun merasa letih. Karena yang dibolehkan berbuka hanya mereka yang dikhawatirkan akan sakit dan atau bertambah parah sakitnya. Oleh karena ia menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan, maka wajib baginya membayar kaffarat berupa puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin.
Ia juga telah melakukan kesalahan dengan merusak puasa istrinya. Oleh karena itu hendaknya ia bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya. Istri juga wajib membayar kaffarat jika ia melakukan hal itu secara sukarela (tanpa paksaan). Adapun jika dipaksa oleh suaminya, maka yang membayar kaffarat hanya suaminya. Wallahu a’lam.
Oleh syekh DR. Muhammad al-Arus Abdul Qadir (Dosen Universitas Ummul Qura); http://www.islamtoday.net/fatawa/quesshow-60-13162.htm, terjemah Oleh Syamsuddin Al-Munawiy)

Artikulli paraprakFATWA RAMADHAN (18): Menggauli Istri Pada Siang Hari Ramadhan Setelah Terlebih Dahulu Membatalkan Puasa dengan Makan
Artikulli tjetërLa’allakum Tattaqun

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini