Salah satu diantara faktor yang mengantarkan seseorang menjadi futur adalah sikap tidak realistis.
Yang dimaksud dengan tidak realistis adalah tidak sesuainya potensi diri dengan kadar ibadah, ilmu, dan dakwah yang dilakukan.
Tidak realistis ini bisa terjadi pada sarana yang diambil, dan bisa juga terjadi pada tujuan yang diharapkan.
Beberapa contoh sikap tidak realistis.
- Ghuluw dan Berlebih-lebihan
Berlebih-lebihan merupakan dampak dan fenomena dari sikap tidak realistis. Hal ini termasuk satu sikap buruk yang diperingatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Banyak ayat dan hadits yang memperingatkan dan melarang sikap ini. Diantaranya:
Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu. (An-Nisa’ [4]: 171)
Mereka mengada-adakan rahbâniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka (yang Kami wajibkan hanyalah) mencari keridhaan Allah, tetapi tidak mereka pelihara dengansemestinya.” (Al-Hadid [57]: 27)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah [2]: 286)
“Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.” (Al-Hajj [22]: 78)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jauhilah berlebih-lebihan dalam menjalankan agama. Hanyasanya berlebih-lebihan dalam menjalankan agama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.
Di hadits lain beliau juga bersabda, “Celakalah orang-orang yang berlebih-lebihan (Tiga kali)”.
Beliau juga bersabda:
Sesungguhnya agama ini mudah. Dan tidaklah seseorang berlebih lebihan di dalamnya kecuali akan dikalahkannya.
Ketika Nabi mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha, saat itu dia bersama seorang perempuan, “Siapa ini” tanya Nabi. “Ini Fulanah. Dia mengadukan shalatnya jawab Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Hmm, hendaklah kalian beramal dengan sekadar kemampuan kalian, Demi Allah Allah tidak akan bosan sehingga kalian bosan Dan amalan agama yang paling dicintai Allah adalah amalan yang dikerjakan secara kontinyu oleh pelakunya”.
BACA JUGA:
Nabi juga pernah mendapati seutas tali yang dibentangkan di antara dua pilar masjid. “Tali apa ini“? tanya beliau. Orang-orang menjawab, Ini tali milik Zainab. lika dia capek, dia berpegangan padanya. Maka beliau bersabda, “Lepaskan tali itu! Hendaklah salah seorang dari kalian mengerjakan shalat selagi dia bersemangat. Jika dia capek hendaklah dia tidur”.
- Semangat yang Tidak Terkendali
Terkadang ada para pemuda yang semangatnya di dalam dakwah dan menuntut ilmu berapi-api. Siang-malam dan sepanjang tahun dia sibuk dengannya. Pada saat yang sama mereka menyepelekan dan tidak mempedulikan hak keluarganya dan hak dirinya sendiri. Dia tidak memenuhi hak kerabat dan saudara-saudaranya. Setelah sekian tahun berlalu, kekurangan itu pun terungkap. Dan mulailah dia mencela dirinya sendiri atas kekurangannya itu, lalu seluruh pikirannya tercurah kepadanya.
Di sinilah setan masuk dan berbisik, “Lihatlah saudara-saudaramu dan teman-temanmu! Mereka telah menikah dan membangun rumah. Mereka memiliki dunia yang tidak kamu miliki karena kamu sibuk dengan aktivitasmu.”
Rasa was-was dan khawatir mulai menyebar. Futur pun mulai menyelusup. Dan perlahan tetapi pasti, dia melambatkan aktivitasnya untuk akhirnya berhenti sama sekali.
Demikianlah, akhir sangat tergantung kepada awal; kekeliruan akan mewariskan kebatilan. Dan sedikit sekali di antara mereka yang meluruskan langkah mereka sesuai dengan manhaj syar’i. Sesungguhnya itu adalah aksi yang diikuti oleh reaksi. Demikianlah umumnya keadaan itu.
- Tujuan yang Tidak Realistis
Sebenarnya tujuan-tujuan itu selaras dengan syariat. Namun saat dihadirkan pada waktu atau tempat tertentu, bisa jadi tujuan-tujuan itu tidak dapat dilaksanakan. Sebab waktu dan tempatnya tidak tepat.
Aktivitas terus berjalan dan tenaga tiada henti dicurahkan. Hari-hari dan tahun-tahun berlalu tanpa menghasilkan sesuatu pun dari tujuan-tujuan itu. Bosan dan jemu mulai mengelilingi. Mimpi-mimpi pun mulai melayang. Dan realita menjadi saksi idealitas tujuan-tujuan ini. Maka, mulailah personal-personalnya berjatuhan satu demi satu. Para mu’allim mereka tidak memiliki keberanian untuk melakukan perbaikan dan pemeliharaan tenaga, waktu, dan personal yang tersisa. Bukan tidak mungkin mereka menjadi orang-orang yang kendur semangatnya. Atau bahkan lari dari medan perjuangan
2. Hanya Fokus Pada Mencari Ilmu
Ketika seseorang menyadari dirinya telah ketinggalan banyak ilmu, dia pun bersungguh-sungguh di dalam menuntutnya Bukannya urut dari kajian sederhana, dia terjun ke samudera ilmu, mempelajari buku-buku induk, dan menelaah buku-buku bahasannya luas dan dalam. Namun ia meninggalkan buku-buku Ushul (Pokok- pokok), Qawa’id (Kaidah-kaidah), dan Mukhtashar (Ringkasan). Perkara -perkara yang aksiomatik tidak diketahuinya.
Begitulah, hari demi hari dia membangun sesuatu tanpa pondasi dan pilar. Belakangan dia tahu kekeliruannya. Dilihatnya apa yang telah dibangunnya berada di tepi jurang kehancuran Sesal pun datang, sedangkan usia telah berlalu sekian musim. Dia terguncang. Lalu langkah terhenti.
Para ulama telah menafsiri kata rabbaniyun dalam firman Allah surat Al-Ma’idah ayat 44, bahwa mereka adalah orang-orang yang mentarbiyah manusia dengan ilmu yang sederhana sebelum yang rumit.
3. Tidak Memperhatikan Kebutuhan Jasmani Sama Sekali
Yakni tidak memperhatikan urusan makan, minum, tidur, dan kesehatan. Dalam hal ini, orang-orang ada yang berlebih lebihan dan ada yang menyepelekan. Kedua-duanya menyebabkan futur dan kelemahan. Memperhatikan makanan, minuman, kesehatan, dan istirahat sebagaimana diwasiatkan oleh Rasulullah dalam hadits Salman , “Sesungguhnya tubuhmu pun punya hak atasmu,”.
Memperhatikan urusan jasmani secara berlebihan atau menyepelekannya, kedua-duanya berefek negatif cepat atau lambat. Contohnya, tidur. Ibnul Qayyim menulis, “Perkara kelima yang dapat merusak hati adalah banyak tidur. Sesungguhnya hal itu dapat mematikan hati, memberatkan badan, menyia-nyiakan waktu, dan mewariskan kealpaan dan kemalasan. Di antara kebanyakan tidur itu ada yang sangat makruh dan ada yang membawa mudharat dan tidak bermanfaat bagi badan”.
Kemudian beliau menyebutkan macam-macam tidur yang berbahaya dan makruh. Di antaranya beliau menulis, “Di antara tidur yang makruh adalah tidur setelah shalat Subuh sampai terbitnya matahari. Sesungguhnya itu adalah waktu yang sangat berharga. Ringkasnya, tidur yang proporsional dan bermanfaat adalah tidur di separuh malam yang pertama dan seperenam yang akhir. Kira-kira itu selama delapan jam. Ini adalah tidur yang paling proporsional menurut para dokter. Lebih atau kurang dari itu akan membawa pengaruh sekadar dengan kelebihan dan kekurangannya. Sebagaimana kebanyakan tidur akan mendatangkan beberapa problem, kurang tidur pun mendatangkan beberapa problem lain yang tak kalah besarnya, seperti ketidakseimbangan metabolisme tubuh, kekurangan darah anemia), penyakit psikis, keringnya potensi pikiran dan kerja, dan penyakit-penyakit lainnya yang membuat seseorang tidak dapat memanfaatkan hati dan badannya sekaligus. Segala sesuatu ada porsinya. Barangsiapa memenuhinya, sungguh dia telah mengumpulkan banyak kebaikan untuk dirinya. Hanya kepada Allah saja kita mohon pertolongan.”
Ini adalah masalah yang besar. Terapinya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah-tidak hanya di satu tempat. Wasathiyah, sikap moderat, adalah terapi yang manjur dan obat yang mujarab. Tawazun, sikap proporsional terhadap seluruh aspek agama ini adalah tuntutan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Mempertimbangkan waktu dan tempat adal bagian dari manhaj syar’i. Berlebih-lebihan dan menyepelekan adalah bala’, musibah, dan akan membawa kebinasaan.
Di sisi lain juga terdapat bahaya sikap negatif atas nama realistis. Ini adalah penyakit lain yang juga khawatirkan. Ada orang-orang yang mendengung-dengungkan ayat,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah [2]: 286)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.” (Ath-Thalaq [65): 7)
Mereka menempatkan ayat tidak semestinya karena tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, atau sekadar mencari dalih. Sekiranya mereka jujur kepada Allah, niscaya mereka mengerti makna jihad dan mujahadah, dan makna sabar dan mushâbarah. Semua itu ada di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. []