Sifat sombong adalah di antara sifat yang mungkin banyak merusak ukhuwah dan keeratannya di antara peserta halaqah tarbiyah atau suatu majelis ilmu. Sikap ini terdiri dari dua unsur; menolak kebenaran dan meremehkan orang lain, sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam hadis Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu:
لايدخل الجنّة من كان فى قلبه مثقال ذرّة من كبر. فقال رجل: إنّ الرّجل يحبّ أن يكون ثوبه حسنا ونعله حسنة، قال: إنّ اللّه جميل يحبّ الجمال, الكبر: بطر الحقّ وغمط النّاس
Artinya: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sebesar dzarrah dari kesombongan.” Salah seorang shahabat lantas bertanya: “Sesungguhnya seseorang senang jika bajunya bagus dan sandalnya baik?” Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Dzat yang Maha Indah dan senang dengan keindahan, Al-Kibru (sombong) adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR Muslim: 91)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah memaparkan: “Sikap sombong ini jadi penghalang masuk surga karena ia menjadi penghalang antara seorang hamba dengan akhlak berbuat baik kepada mukmin lainnya, sehingga ia tidak bisa mencintai kebaikan bagi kaum mukiminin sebagaimana mencintainya untuk dirinya sendiri.” (Mukhtashar Minhaj Al-Qasidin: 228)
Bila dalam diri murabbi terdapat salah satu dari dua unsur kesombongan ini, maka sangat berbahaya bagi kelangsungan halaqah tarbiyah yang ia bina. Sebab itu, seorang murabbi harus terus mempelajari dan memperbaharui sikap tawadhu agar ia bisa menerima kebenaran dari para mutarabbi dan menunjukkan sikap keteladanan yang luar biasa di hadapan mereka. Sebaliknya, bila sang murabbi suka menolak kebenaran yang berasal dari mereka, atau malah seringkali meremehkan kreatifitas dan kritik-saran mereka, niscaya halaqah tarbiyah tersebut akan menjadi wadah yang merendahkan diri mereka. Ini pasti akan berimbas pada bubarnya halaqah tersebut.
Di samping itu, kadang sikap sombong ini datang dari diri sebagian mutarabbi. Entah karena dirinya merasa lebih pintar, atau lebih kaya, atau merasa bahwa halaqah tarbiyah tersebut tidak memberinya manfaat yang besar baginya. Bila kesombongan ini ada dalam dirinya, lantas melihat bahwa murabbi lebih rendah darinya dari segi wawasan, atau strata sosial, maka ia tak akan tunduk pada kebenaran dan arahan-arahan murabbi yang akan membuatnya tak akan bertahan lama berada naungan tarbiyah tersebut. Biasanya, orang-orang yang seperti ini bila motif keluarnya adalah ketidak puasan dengan wawasan sang murabbi, ia akan menyeret para mutarabbi lain agar turut bersamanya mencari wadah kajian lain yang menurutnya lebih baik dan lebih berkwalitas. Sampai di sini, tentunya tak ada problem, karena setiap muslim memiliki hak untuk belajar dan bertarbiyah di mana saja selama itu masih dalam lingkup kebenaran. Namun, yang menjadi problem adalah klaim menyalahkan atau menyesatkan yang dilakukan oleh sebagian mereka pada halaqah tarbiyah atau kajian ilmu yang dulu sempat ia ambil manfaat darinya.
Sungguh, tidak sedikit murabbi atau ustadz yang mengeluhkan sikap kesombongan dan vonis serampangan yang ditampakkan oleh mantan murid dan mutarabbinya yang ia bina sejak ia belum mengenal hidayah dan berhijrah. Fenomena ini tentunya tak jauh-jauh amat dari ungkapan Abul-Bath-haa’ rahimahullah dalam bait syairnya:
أُعَلِّمُهُ الرِّمَايَةَ كُلَّ يَوْمٍ … فَلَمَّا اشْتَدَّ سَاعِدُهُ رَمَانِي
Saya mengajarkannya panahan setiap hari…
Setelah ia mahir menggunakannya, ia malah memanahku…
(Adab Ad-Dunya wa Ad-Din: Hal, 69)
Padahal, sikap yang tepat adalah seorang mantan murid atau mutarabbi hendaknya tetap menghargai dan menghormati guru atau mutarabbi lamanya. Bahkan bila ia tersalah, hendaknya dinasehati secara baik-baik dan sopan sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa didikan dan tarbiyah yang ia berikan sewaktu dahulu. Ini adalah inti dari perintah Allah dalam Al-Quran:
لَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya: “Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah: 237)
Tidak diragukan, bahwa sebagian mutarabbi yang melakukan sikap buruk ini adalah orang-orang yang ada dalam dirinya sifat kesombongan, menganggap dirinya lebih baik dan dengan nada negatif biasanya membuat-buat fitnah atau kritikan tak membangun terhadap lembaga atau halaqah tarbiyah yang pernah menaunginya. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata: “Di antara jenis kesombongan paling buruk adalah yang menghalangi dirinya dari mengambil manfaat ilmu, menerima kebenaran dan mengikutinya. Bahkan kadang seorang yang sombong mendapatkan ilmu dan pemahaman, namun jiwanya tidak sanggup untuk mengakui dan mengikuti kebenaran…” (Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin: 228)
Dari sini, jelaslah bahwa sikap tawadhu’ atau rendah hati terhadap orang lain sangat memupuk rasa cinta, eratnya kebersamaan dan indahnya persaudaraan. Bahkan adanya sikap tawadhu’ dalam diri mutarabbi menandakan bermanfaatnya ilmu dan nilai-nilai tarbiyah yang ada pada dirinya, karena sanggup menyentuh relung terdalam hatinya lalu mengalirkan ke jiwanya rasa ketenangan, khusyuk dan tawadhu’. (Lihat: Majmu’ Rasaail Ibni Rajab: 1/296)
Dengan efek positif tawadhu’ ini, maka bukan hal ajaib bila Allah Ta’ala mengangkat derajat orang-orang tawadhu’ di sisi-Nya di dunia maupun di akhirat kelak sesuai dengan kadar tawadhu’ ini dalam diri mereka, sebagaimana dalam hadis:
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ
Artinya: “Tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588)
Imam Ayub As-Sakhtiyani rahimahullah menyatakan: “Sesungguhnya ada suatu kaum yang menampakkan diri agar lebih tinggi dari orang lain, namun Allah Ta’ala enggan lalu Dia menghinakan mereka. Sebaliknya, ada kaum yang menampakkan diri dengan sikap tawadhu’, namun Allah Ta’ala enggan lalu Dia memuliakan mereka.” (Shifah Ash-Shafwah: 3/209)
Termasuk sikap tawadhu’ yang mesti ditampakkan oleh seorang mutarabbi adalah tawadhu’ terhadap rekan-rekan mutarabbinya dengan mengambil berbagai faedah dan hal-hal positif dari diri mereka meskipun mungkin dirinya lebih berilmu dan bertakwa. Para salaf telah menasehatkan hal ini dalam nasehat-nasehat mereka: “Seseorang tidak akan baik hingga ia mengambil (ilmu atau faedah) dari orang yang lebih tinggi darinya, dari orang yang selevel dengannya dan dari orang yang lebih rendah darinya.” (Al-Jami’ li Akhlaaq Ar-Raawi: no. 1654)
Wallaahu a’lam.
Oleh Maulana La Eda, Lc, MA.