(Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah)
Thiyarah adalah bernasib sial atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya atau apa saja. Allah Ta’ala berfirman;
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ
Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Ini adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Qs. Al-A‘raf:131)
Dahulu, diantara tradisi orang Arab adalah jika salah seorang diantara mereka hendak melakukan suatu pekerjaan, bepergian misalnya, maka mereka meramal peruntungannya dengan burung. Salah seorang dari mereka memegan seekor burung lalu melepaskannya. Jika burung itu terbang ke arah kanan, maka ia optimis, sehingga ia melangsungkan pekerjaannya. Sebaliknya, jika burung itu terbang ke arah kiri, ia merasa bernasib sial dan mengurungkan pekerjaan yang diinginkannya.
Oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perbuatan tersebut dihukumi syirik. Sebagaimana diterangkan dalam sabdanya,
الطيرة شرك
“Thiyarah itu adalah syirik”. (HR. Ahmad, 1/389, dalam Shahih al-Jami’, no. 3955).
Termasuk ke dalam kepercayaan yang diharamkan dan menghilangkan kesempurnaan tauhid adalah merasa bernasib sila dengan bulan-bulan tertentu. Seperti tidak mau melakukan pernikahan pada bulan Shafar. Juga keyakinan bahwa hari Rabu yang jatuh pada akhir setiap bulan membawa kerugian terus menerus. Termasuk merasa sial dengan angka 13, nama-nama tertentu, atau orang-orang cacat. Misalnya, jika ia pergi membuka tokonya, lalu di jalan melihat orang buta sebelah matanya serta merta ia merasa bernasib sial sehingga mengurungkan niat membuka toko.
Semua hal di atas hukumnya haram dan termasuk syirik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari mereka, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imran bin Hushain;
“Tidak termasuk golongan kami orang-orang yang melakukan atau meminta tathayyur, meramal atau meminta diramalkan –dan saya (Imran) kira beliau juga bersabda- atau menyihir atau meminta disihirkan”. (HR. Ath-Thabrani dalam al-Kabir 18/162, Lihat Shahih al-Jami’).
Orang yang terjerumus melakukan hal-hal di atas, hendaknya membayar kaffarat sebagaimana yang dituntunkan Nabi. Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
مَن رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ من حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ ) قالوا : يا رَسُولَ اللَّهِ ما كَفَّارَةُ ذلك ؟ قال ( أن يَقُولَ أَحَدُهُمْ : اللهم لاَ خَيْرَ إلا خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إلا طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ .
“Barangsiapa yang (kepercayaan) thiyarahnya mengurungkan hajat (yang hendak dilakukannya) maka dia telah berlaku syirik”. “Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apa kaffarat (tebusan) nya?”. Beliau bersabda, “Hendaknya dia mengatakan, ‘Allahumma La Khaira Illa Khairuka Wa La Thaira Illa Thairuka Wa La Ilaha Ghairuka; Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan dari-Mu, tiada kesialan kecuali kesialan dari-Mu, dan tidak ada Ilah (Tuhan yang berhak disembah) kecuali Engkau”. (HR. Ahmad, 2/220).
Merasa pesimis dan bernasib sial merupakan salah satu tabiat jiwa manusia. Suatu saat, perasaan itu menekan begitu kuat, dan pada saat lain melemah. Penawarnya yang paling ampuh adalah tawakkal kepada Allah subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu; “Dan tidak ada seorang pun diantara kita kecuali telah terjadi di dalam jiwanya sesuatu dari hal ini. Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal (kepada-Nya)”. (terj. HR. Abu Daud, no. 3910).
(Sumber: Dosa-Dosa Yang Dianggap Biasa (terj), Karya Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid, Darul Haq, Cet. XX, 1435, hlm. 28-30).