(MEDAN-Wahdah.Or.Id) – Hari ini Rabu (28/12), Ketua Dewan Pembina Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) Habib Rizieq Syihab bersama Wakil Ketua GNPF MUI KH Zaitun Rasmin, Sekjen GNPF KH M Al Khaththath, dan Bendahara GNPF M Luthfi Hakim hadir di Medan.
Mereka hadir dalam rangkaian acara Safari Nasional 212 yang direncanakan akan diselenggarakan di 34 ibu kota provinsi. Medan menjadi tuan rumah Safari Nasional 212 kedua setelah Makassar, Sulsel, 18 Desember lalu.
Rangkaian acara dari Konferensi Pers hingga tabligh akbar ini diselenggarakan atas kerjasama GNPF dengan berbagai pihak. Antara lain MUI Sumatera Utara, GAPAI (Gerakan Anti Penistaan Agama Islam) Sumatera Utara, Kapolda dan jajarannya, dan masyarakat Medan secara umum.
Sebelum tabligh akbar dimulai, GNPF mengadakan konferensi pers dengan mengundang awak media lokal dan nasional. Hadir pula dalam acara tersebut Kapolda Sumatera Utara Inspektur Jenderal Polisi Dr. H. Rycko Amelza Dahniel, M.Si.
Selain menjelaskan hal-hal terkait Aksi Bela Islam, para tokoh GNPF juga menjawab berbagai pertanyaan para wartawan terkait isu-isu terkini. Di antara yang menyita waktu cukup panjang adalah pertanyaan dari awak media Sumut Pos tentang status Habib Rizieq sebagai terlapor dugaan penistaan agama.
Soal pelaporan, menurut Imam Besar FPI ini setiap warga negara boleh-boleh saja melaporkan siapapun yang dianggap melanggar hukum. Namun menurutnya pelaporan ini kurang tepat. “Adapun saya secara pribadi yang dilaporkan, saya menilainya ini laporan salah alamat, karena kita sedang bicara soal dogma”, ungkapnya.
Habib yang bergelar Datu Paduka Maulana Syar’i Sulu (DPMSS) ini melanjutkan bahwa antara Kristen dan Islam punya doktrin sendiri-sendiri, “Artinya begini, Islam itu punya doktrin ajaran agama bahwa Tuhan tidak beranak. Sementara umat Kristiani punya doktrin ajaran trinitas. Nah disini biarlah umat Nasrani dengan trinitasnya, biarkan umat Islam dengan ‘Qul Huwallaahu Ahad’-nya.”
Menurutnya, melaporkan keyakinan orang atas agama yang diyakini dan dianutnya adalah satu hal yang keliru. “Kalau nanti ada umat Islam yang mengatakan Allah tidak beranak dan Allah tidak diperanakkan, terus ada umat agama lain tersinggung, kemudian ajaran Islam itu dilaporkan, ini kan jadi lucu kalau dogma dilaporkan?” jelasnya.
Kalau hal seperti ini dibiarkan, menurutnya justru tidak akan ada habisnya saling melaporkan. “Jangan-jangan nanti ada umat Islam melaporkan pendeta karena trinitasnya. Ini jadi kacau kita punya negeri. Nanti kalau ada pendeta mengatakan ada Tuhan bapak ada Tuhan anak, nanti ada umat Islam yang tersinggung. Lhoh kok Tuhan disebut punya anak? Akhirnya umat Islam lapor lagi”, tandasnya.
Imam Besar FPI ini justru menegaskan bahwa Islam adalah agama kasih sayang yang melarang keras menghina keyakinan agama lain. “Yang tidak boleh adalah kita saling menghina antar umat beragama. Jadi, bagi saya, dan kawan-kawan di Front Pembela Islam, begitu juga di GNPF, perlu saya ingatkan bahwa Islam ini adalah ajaran agama yang rahmatan lil alamin”.
Haba’ib asli Jakarta ini menjelaskan lagi bahwa larangan menghina ini jelas termaktub dalam Kitab Suci Umat Islam. “Dan Islam punya ajaran ‘laa ikraaha fid diin’, tidak ada paksaan di dalam agama. Artinya, biarkanlah umat Kristen meyakini agamanya yang paling benar, selain Kristen tidak benar. Itu urusan mereka beragama.”
Soal ini dia lanjutkan lagi, “Makanya dalam Islam ada firman Allah berbunyi ‘Laa tasubbulladziina yad’uuna min duunillah’. Jangan sekali-kali engkau mencaci maki umat beragama yang tidak menyembah Allah.”
Justru yang dia tanyakan adalah, dalam konteks apa dia dilaporkan? Menurutnya tidak tepat jika seorang yang berdakwah di hadapan umat Islam justru dilaporkan menista agama lain.
“Nah maka itu dalam kontek apa yang dimaksud tersebut? Saya sedang melindungi akidah saudara-saudara muslim, yang dipaksa untuk mengikuti acara ritual agama lain. Jadi saya tolak. Apalagi ritual tersebut bertentangan dengan doktrin utama prinsip dalam agama Islam yanjg meyakini ‘Qul Huwallahu Ahad’, apalagi ada doktrin juga ‘Lam Yalid walam Yuulad’.”
Kemudian pendiri FPI ini mengkritik pelapor yang mengedit video sebagai barang bukti. Seharusnya diserahkan utuh dan bukan dinukil sebagian kecil saja. “Nah berikutnya juga sebagai pelapor saya ingatkan kalau melapor itu harus memberikan rekaman yang utuh, bukan diedit. Jadi rekaman 2 jam yang disetor cuman yang 2 menit, ini ada apa?”
Di akhir pertanyaannya Habib Rizieq mengingatkan agar kepolisian berhati-hati dalam menyikapi pelaporan seperti ini. Penanganan yang tidak tepat justru berpotensi menimbulkan masalah baru bagi bangsa Indonesia. “Nah, karena itu kita minta nanti dari pihak kepolisian sendiri, untuk lebih berhati-hati menangani laporan-laporan yang berkaitan dengan penistaan agama, karena salah menangani akhirnya bukan penegakan hukum yang terjadi, yang terjadi akhirnya justru keributan atau kegaduhan nasional.” [jyd/ibw]