Di Taman Tarbiyah Jama’iyah
“Seandainya di surga itu tidak ada kenikmatan lain selain perjumpaan dengan saudara seiman dan bermajelis dengan mereka, maka itu sudah sangat syahdu nan indah. Lalu bagaimana bila di dalamnya terdapat semua ragam kenikmatan!?” (Abu Laits As-Samarqandi)[1]
Dunia tidaklah indah bila tak bertaman rindang nan lebat dengan hiasan indahnya bunga dan syahdunya kicauan burung. Di sana hati kan tenang, pikiran akan kembali fresh serta semangat akan tumbuh bersemi kembali. Begitulah perumpamaan taman dunia dalam keseharian kita.
Namun, taman yang hakiki bagi seorang mukmin adalah sebuah taman bertanamkan ilmu dan takwa, berhiaskan senyum keikhlasan dan air mata kekhusyuan, berkicaukan senandung ayat-ayat suci, serta bersemi dalam syahdunya iman dan kerinduan pada-Nya. Taman-taman inilah yang disebutkan oleh Sang Murabbi Baginda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam sabda sucinya, dari Anas radhiyallahu’anhu:
إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ
Artinya: ”Jika kamu melewati taman-taman surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya,”Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab,”Halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) dzikir.”[2]
Taman inilah yang seringkali dirindukan oleh Abdullah bin Rawahah radhiyallahu’anhu, beliau seringkali mengajak para sahabatnya untuk memasukinya dengan menyeru mereka:
تعالوا نؤمن ساعة ; تعالوا فلنذكر الله ونزدد إيمانا , تعالوا نذكره بطاعته لعله يذكرنا بمغفرته
Artinya: “Marilah kalian bersamaku, untuk kita beriman sesaat. Kemarilah kalian untuk mengingat Allah Ta’ala dan menambah iman, Kemarilah kalian untuk mengingat-Nya dengan amalan ketaatan semoga Dia mengingat kita semua dengan pemberian ampunan-Nya.” [3]
Taman indah nan syahdu inilah yang selalu diangankan oleh Muadz bin Jabal radhiyallahu’anhu. Al-Aswad bin Hilal rahimahullah mengisahkan:
كان معاذ يقول لرجل من إخوانه: «اجلس بنا فلنؤمن ساعة»، فيجلسان يتذاكران الله ويحمدانه
Artinya: “Dahulu, Muadz berkata pada salah seorang sahabatnya bila bertemu: “Duduklah bersamaku, untuk beriman sesaat.” Lalu mereka pun duduk berdua mengingat Allah dan memuji-Nya.”[4]
Majelis zikir inilah yang merupakan taman ilmu dan imannya seorang muslim di dunia. Di dalamnya ia duduk berdampingan dengan para malaikat, dalam lantunan ayat suci dan mutiara-mutiara sabda Sang Baginda ia tertenangkan, air matanya tercucurkan, rahmat Allah tercurahkan, serta nama-nama indah mereka disebutkan oleh Allah satu per satu di hadapan majelis langit bersama para malaikatnya:
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Artinya: “Tidaklah sekelompok orang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah Allah; mereka membaca Kitab Allah dan saling belajar diantara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapanNya.”[5]
Taman surga dunia ini akan semakin indah bila terbingkai dalam indahnya ukhuwah, suasana saling mengenal dan mengakrabi, terangkai di atas akhlak saling menasehati, memotivasi dan menolong satu sama lain, dengan tujuan utama saling membina dan mempelajari akhlak, saling menambah dan mengontrol hafalan Al-Quran, mentadaburi ayat-ayatnya, meningkatkan iman dan ilmu, memotivasi spirit dakwah dan perjuangan serta menguatkan jalinan persaudaraan. Itulah halaqah tarbiyah jama’iyah. Salah satu taman terindah di dunia.
Dalam bahasa Indonesia Tarbiyah Jama’iyah ini bisa diartikan sebagai tarbiyah atau pengkaderan kolektif, karena ia adalah proses pembinaan atau pengkaderan dalam bentuk kelompok yang anggotanya terdiri dari beberapa person. Syaikh Dr. Nayif Al-Qurasyi hafidzhahullah mendefinisikan Tarbiyah Jama’iyah ini sebagai: “Pembinaan kepribadian islami dalam diri individu tertentu dari berbagai aspek; iman, akal, tubuh, jiwa, dan sosial, lewat komunitas tertentu yang terdiri dari seorang murabbi dan sekelompok mutarabbi, di mana di antara mereka ada komitmen positif dan sharing pengalaman, dengan mengikuti metode dan uslub tertentu, dengan bertujuan untuk menguatkan rasa ukhuwah islamiyah dan kecintaan karena Allah di antara sesama mereka.”[6]
Meskipun Tarbiyah Fardiyah yaitu pembinaan diri sendiri lewat ibadah atau lainnya begitu urgen dalam kehidupan seorang muslim, akan tetapi tarbiyah jenis ini hanya bisa memberikan pembinaan intensif dan kesalehan pada dirinya sendiri, bukan pada orang lain. Bahkan ia tidak akan mewujudkan adanya kesalehan yang berimbang antara individu-individu dalam suatu masyarakat. Padahal, ia dituntut untuk tidak hanya mensalehkan dirinya, namun juga memperhatikan kesalehan orang lain. Hal ini tentunya tak mungkin tercapai kecuali dengan aplikasi Tarbiyah Jama’iyah.
Tarbiyah Jama’iyah ini sesuai dengan keberadaan fitrah manusia, sebab manusia itu makhluk sosial, tidak mungkin hidup tanpa keberadaan orang lain di sisinya atau di masyarakatnya. Bila hidup berjamaah merupakan tuntutan dan konsekuensi kehidupan, maka Tarbiyah Jama’iyah adalah tuntutan tersendiri; karena tidak mungkin pembinaan jiwa, akhlak, dan kepribadian seorang insan bisa terealisasi kecuali dalam lingkup jamaah atau kelompok.[7]
Tarbiyah Jama’iyah inilah yang seringkali kita kenal dalam keseharian kita sebagai halaqah “tarbiyah” tanpa ada penambahan kata “jama’iyah.”
Di taman tarbiyah jama’iyah ini, ada banyak insan berbeda karakter yang menyemai kebersamaan dalam ikatan ukhuwah karena Allah. Di antara mereka ada seorang murabbi, dan di hadapannya adalah para mutarabbi.
Seorang murabbi adalah penggagas utama sebuah halaqah tarbiyah. Selain halaqah ini merupakan karunia yang memuliakan dirinya di hadapan Allah karena ia sedang membawa risalah langit dan mengemban misi para nabi dan rasul, ia juga merupakan amanah yang harus diemban sebaik-baiknya lantaran aktifitas tarbiyah adalah tugas berat yang tidak hanya memerlukan energi dan tenaga yang ekstra, tapi juga waktu dan pengorbanan harta. Apalagi ia adalah sosok yang harus bisa merubah para mutarabbi atau mutarabbiyah binaannya agar bisa menjadi para mukmin sejati, sekaligus mushlih dan mujahid dakwah seperti dirinya terlepas dari berbagai latar belakang dan profesi mereka.
Karena profesi berat murabbi adalah berhubungan langsung dengan jiwa dan akal pikiran para manusia yang harus dirubah dan ditingkatkan kwalitasnya, maka sang murabbi tidak hanya dituntut memiliki kapasitas ilmu syar’i dan wawasan umum yang cukup serta iman yang kuat, namun ia juga dituntut mesti memiliki skill leadership dan pengalaman tarbiyah yang baik; di mana ia harus bisa meyakinkan para mutarabbi, menyelesaikan berbagai problem mereka, juga bisa mengontrol, menilai dan mampu berinteraksi dengan mereka secara konsisten. Tugas-tugas berat seperti ini memerlukan pengorbanan luar biasa, sehingga memang tidak semua orang bisa mengemban amanah ini.
Sebab itu, Syaikh Prof. Dr. Muhammad Ad-Duwaisy hafidzhahullah menegaskan bahwa kemampuan memberikan wawasan dan pemahaman benar, basic keilmuan serta skill dialog dan diskusi; tidak akan cukup menjadikan seorang muslim sanggup mengemban amanah tarbiyah[8], tapi harus memiliki skill lain sebagaimana yang kita sebutkan sebelumnya.
Seorang murabbi hendaknya selalu merasa bahwa para mutarabbinyalah yang berjasa pada dirinya, bukan malah ia sendiri yang berjasa pada mereka. Ibnul-Qayim rahimahullah telah menegaskan hal ini dalam ungkapannya: “Orang yang paling memberimu manfaat adalah orang yang memberimu kesempatan agar menanamkan kebaikan pada dirinya, atau berbuat baik padanya. Karena dirinya adalah sebaik-baik penolong bagi dirimu dalam meraih berbagai manfaat dan menyempurnakan dirimu. Jadi, manfaat yang engkau dapatkan dari dirinya sama dengan manfaat yang ia dapatkan dari dirimu, bahkan mungkin lebih banyak.”[9]
Hal ini juga ditegaskan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah, ia berkata: “Tidak boleh bagi dirinya (guru atau murabbi) merasa bahwa ia berjasa pada murid-muridnya, bahkan hendaknya ia merasa bahwa merekalah yang berjasa pada dirinya, karena mereka telah menyiapkan hati mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan penanaman ilmu (oleh guru) di dalamnya. Jadi, mereka itu laksana orang-orang yang meminjamkan tanah pada orang yang ingin menanamnya (yaitu guru). Sebab itu, seorang guru tidak boleh memohon ganjaran kecuali dari Allah Ta’ala.”[10]
Syaikh Muhammad Sayidi At-Tandagi rahimahullah juga menuturkan: “Setiap orang yang mendatangimu untuk menuntut ilmu darimu, maka yakinlah bahwa dirinya sangat berjasa padamu. Jangan sekali-sekali merasa bahwa dirimulah yang berjasa padanya. Karena ia telah susah payah menyiapkan dirinya dan bersungguh-sungguh hingga rela mempercayaimu sebagai guru dan duduk bersila menimba ilmu di hadapanmu. Sebab itu, berusahalah agar ia terus mencintaimu, rajin belajar darimu dan bersungguh-sungguh menuntut ilmu.”[11]
Sedangkan insan kedua dalam halaqah tarbiyah adalah para mutarabbi. Merekalah yang menjadikan halaqah tarbiyah indah dan menyejukkan. Mereka adalah generasi yang harus dipersiapkan mengemban amanah ilmu dan dakwah islam ini di masa depan. Sebab itu, wajib bagi setiap murabbi untuk terus memperhatikan dan membina kepribadian mereka dari berbagai aspek baik ilmiyah, imaniyah, akal pikiran, akhlak, psikolgi, potensi ataupun skill mereka. Tanpa keberadaan dan keaktifan para mutarabbi ini, halaqah tak akan berjalan dengan baik dan bisa gagal dalam mewujudkan visi misi yang telah dicanangkan.
Para mutarabbi hendaknya selalu aktif, bukan hanya rajin mendatangi halaqah tarbiyah tempat ia dibina, namun juga aktif dalam memberikan saran, menyampaikan pandangan atau kritikan, bisa menyelesaikan berbagai tugas dan amanah halaqah tarbiyah, serta memiliki ikatan hubungan yang baik dengan sang murabbi atau mutarabbi-mutarabbi lainnya. Selain dirinya siap untuk menerima pembinaan dan pengkaderan, ia juga harus siap menerima berbagai amanah dan tugas eksternal halaqah yang diembankan padanya, baik itu tugas dakwah, sosial, kepanitiaan, atau tugas-tugas lainnya. Dalam ucapan sebelumnya, Ibnu Qudamah rahimahullah telah menegaskan pentingnya kesiapan para mutarabbi ini dalam menerima berbagai ilmu, pembinaan dan tanggung jawab dari seorang murabbi, seperti halnya para tuan tanah yang ingin menyiapkan tanah bagi orang lain untuk menanamkan berbagai benih tanaman di atasnya.
[1] . Tanbih Al-Gafilin: 82
[2] . HR Tirmizi: 3510, hasan.
[3] . Mushannaf Ibnu Abi Syaibah: 30426.
[4] . Mushannaf Ibnu Abi Syaibah:30365, dan juga disebutkan Imam Bukhari tanpa sanad dalam Shahihnya: sebelum hadis no. 8.
[5] . HR Muslim: 2699.
[6] . At-Tarbiyah Al-Jama’iyah: hal. 24.
[7] . Lihat: At-Tarbiyah Al-Jama’iyah: hal. 14.
[8] . Lihat: Maqalat fi At-Tarbiyah: hal. 9.
[9] . Al-Fawaid: hal. 336.
[10] . Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin: hal. 22-23
[11] . Rasaail Al-‘Allaamah Taqiyuddin Al-Hilali: 2/976