Bagaimana cara memandikan jenazah yang meninggal karena virus corona (covid-19)?
Jawaban
Menyelenggarakan jenazah adalah diantara hak muslim dengan muslim lainnya, sedangkan memandikan jenazah hukumnya fardu kifayah, Imam al-Syafi’i -rahimahullah- menjelaskan:
حَقٌّ عَلَى النَّاسِ غُسْلُ الْمَيِّتِ، وَالصَّلَاةُ عَلَيْهِ، وَدَفْنُهُ لَا يَسَعُ عَامَّتَهُمْ تَرْكُهُ، وَإِذَا قَامَ بِذَلِكَ مِنْهُمْ مَنْ فِيهِ كِفَايَةٌ لَهُ أَجْزَأَ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى
Artinya
“Merupakan hak wajib seseorang atas manusia lainnya adalah memandikan mayit, mensalatinya, dan menguburkannya, meski kewajiban ini tidak berlaku bagi semua orang. Jika sudah ada pihak yang melakukannya, maka hal itu sudah cukup bagi kewajiban sebagian lainnya, insyaallah ta’ala.”
Imam al-Nawawi -rahimahullah-, salah satu ulama otoritatif dari kalangan Mazhab Syafi’i, menjelaskan:
وَغُسْلُ الْمَيِّتِ فَرْضُ كِفَايَةٍ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ وَمَعْنَى فَرْضِ الْكِفَايَةِ أَنَّهُ إذَا فَعَلَهُ مَنْ فِيهِ كِفَايَةٌ سَقَطَ الْحَرَجُ عَنْ الْبَاقِينَ وَإِنْ تَرَكُوهُ كُلُّهُمْ أَثِمُوا كُلُّهُمْ وَاعْلَمْ أَنَّ غُسْلَ الْمَيِّتِ وَتَكْفِينَهُ وَالصَّلَاةَ عَلَيْهِ وَدَفْنَهُ فُرُوضُ كِفَايَةٍ بِلَا خِلَافٍ
Artinya:
“Memandikan mayit adalah fardu kifayah berdasarkan ijmak kaum muslimin. Makna fardu kifayah ini adalah bahwa bila sudah ada seseorang yang melakukannya, maka gugur tanggungan bagi yang lain. Namun jika sama sekali tidak ada yang melakukannya, maka semuanya berdosa. Ketahuilah, sesungguhnya memandikan mayat, mengafaninya, mensalatinya, adalah fardu kifayah, tanpa adanya khilaf (perbedaan pendapat).”
Sedangkan menurut informasi dari dokter, virus covid-19 ini dapat menular kepada orang yang masih hidup jika interaksi langsung dengan jenazah penderitanya, sehingga sulit memandikan jenazahnya sebagaimana tuntunan yang sempurna. Oleh sebab itu, perlu penanganan khusus dan kehati-hatian dalam memandikannya.
Agama islam adalah agama yang mudah, syariatnya tidak membebankan melebihi kemampuan seseorang. Allah subhana wa taala berfirman:
﴿يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ﴾
Artinya:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah/2:185)
﴿ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا﴾
Artinya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah/2:286)
﴿وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ﴾
Artinya:
“Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.” (Al-Hajj/22:78)
Agama islam juga sangat memperhatikan keselamatan dalam menjalankan syariat. Allah subhana wa taala berfirman:
﴿وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ ﴾
Artinya:
“Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah/2:195)
Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- juga bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Artinya:
“Tidak (boleh) membahayakan (diri sendiri atau orang lain).” (HR. Malik, Ibn Majah, dan al-Hakim, dengan sanad yang hasan)
Berdasarkan dalil-dalil di atas, penyelenggaraan jenazah penderita corona bisa dilakukan dengan cara berdasarkan urutan berikut ini:
1. Memandikan jenazah dengan cara minimal, hanya sekadar melepaskan kewajiban, tidak dengan cara sempurna karena ada uzur yang menghalangi; yaitu hanya dengan sekali siraman air yang membasahi seluruh tubuhnya walaupun tidak menyentuhnya.
2. Jika tidak bisa dimandikan, maka dengan cara ditayamumkan sebagaimana tayamumnya orang yang masih hidup.
Begini penjelasan Ibn Hajar al-Haitami:
وَمَنْ تَعَذَّرَ غَسْلُهُ لِفَقْدِ مَاءٍ أَوْ لِنَحْوِ حَرْقٍ أَوْ لَدْغٍ وَلَوْ غُسِّلَ تَهَرَّى أَوْ خِيفَ عَلَى الْغَاسِلِ وَلَمْ يُمْكِنْهُ التَّحَفُّظُ يُمِّمَ وُجُوبًا كَالْحَيِّ
Artinya:
“Jenazah manapun yang tidak memungkinkan untuk dimandikan disebabkan karena ketiadaan air, atau karena korban kebakaran, atau gigitan ular, yang dimana jika dimandikan maka akan terkoyak, atau dikhawatirkan bahaya atas orang yang memandikan dimana sulit baginya untuk terjaga dari bahaya itu, maka wajib ditayamumkan sebagaimana tayammumnya orang yang masih hidup.”
Al-Kurdi mengomentari penjelasan ibn Hajar al-Haitami di atas:
أو خيف على الغاسل من سراية السمِّ إليه… يدخلُ فيه ما لو خيفَ على الغاسل العدوى، ولم يمكنه التحفُّظِ.
Artinya:
“Atau dikhawatirkan bahaya atas orang yang memandikan tertular racun… termasuk juga jika dikhawatirkan tertular penyakit, dimana sulit baginya untuk terselematkan darinya.”
3. Namun jika tidak bisa tayammum karena tetap khawatir tertular virusnya, maka langsung dimakamkan saja tanpa dimandikan dan tanpa dikafani berdasarkan pendapat muktamad dalam mazhab syafi’i, karena memandikan dan mengkafani jenazah adalah syarat sah menyalatinya. Sedangkan menurut sebagian ulama syafi’iyah tetap disalati.
Al-Haitami menjelaskan:
فَلَوْ مَاتَ بِهَدْمٍ وَنَحْوِهِ كَوُقُوعِهِ فِي عَمِيقٍ أَوْ بَحْرٍ وَ قَدْ تَعَذَّرَ إخْرَاجُهُ مِنْهُ وَغَسْلُهُ وَتَيَمُّمُهُ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ لِفَوَاتِ الشَّرْطِ.
Artinya:
“Jika jenazah itu meninggal disebabkan benturan atau semisalnya, seperti terjatuh di dalam jurang yang dalam, atau tenggelam di lautan, kemudian sulit diangkat (dari jurang atau dalam laut) sehingga tidak bisa dimandikan dan ditayamumkan, maka (jenazah itu) tidak disalati, karena syarat (sahnya) tidak terpenuhi (tidak dimandikan dan tidak dikafani).“
Namun menurut al-Khatib al-Syarbini, jenazah itu tetap disalati walaupun tidak dimandikan dan dikafani, berikut penjelasan beliau:
قَالَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ: وَلَا وَجْهَ لِتَرْكِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْمَيْسُورَ لَا يَسْقُطُ بِالْمَعْسُورِ، لِمَا صَحَّ «وَاذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ» ؛ وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْ هَذِهِ الصَّلَاةِ الدُّعَاءُ وَالشَّفَاعَةُ لِلْمَيِّتِ وَجَزَمَ الدَّارِمِيُّ وَغَيْرُهُ أَنَّ مَنْ تَعَذَّرَ غُسْلُهُ صُلِّيَ عَلَيْهِ. قَالَ الدَّارِمِيُّ: وَإِلَّا لَزِمَ أَنَّ مَنْ أُحْرِقَ فَصَارَ رَمَادًا أَوْ أَكَلَهُ سَبُعٌ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ وَلَا أَعْلَمُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِنَا قَالَ بِذَلِكَ، وَبَسَطَ الْأَذْرَعِيُّ الْكَلَامَ فِي الْمَسْأَلَةِ، وَالْقَلْبُ إلَى مَا قَالَهُ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ أَمْيَلُ، لَكِنَّ الَّذِي تَلَقَّيْنَاهُ عَنْ مَشَايِخِنَا مَا فِي الْمَتْن.
Artinya:
“Sebagian ulama (syafi’iyah) muta’akkhirin berpendapat, tidak ada alasan untuk tidak menyalatinya, sebab perkara yang mudah (dilakukan) tidak gugur disebabkan karena alasan kesulitan, hal ini berdasarkan (hadis) sahih “Jika aku perintahkan sesuatu atas kalian, maka lakukanlah semampunya.” Juga karena alasan salat adalah doa dan syafaat atas si mayat. Al-Darimi dan lainnya juga memastikan bahwa jenazah yang tidak memungkinkan untuk dimandikan, maka tetap disalati. Beliau (al-Darimi) mengatakan: “Sekiranya (jenazah yang tidak dimandikan, tidak perlu disalati) maka seharusnya mayat korban kebakaran yang sudah jadi abu dan atau dimakan hewan buas juga tidak perlu disalati, namun saya tidak menemukan pendapat seperti ini dari ashabuna (ulama syafi’iyah). Al-Adzra’i juga membahas panjang masalah ini. Akan tetapi hati saya (al-Syarbini) lebih condong kepada pendapat sebagian muta’akkhirin, walaupun yang kami pelajari dari guru-guru kami sebagaimana disebutkan dalam matan (Minhaj al-Thalibin karya al-Nawawi).”
Al-Syirwani juga mengarahkan agar mengikuti pendapat sebagaian ulama muta’akkhirin itu, sebagai tindakan menghargai jenazah dan menjaga perasaan keluargannya, berikut penjelasan beliau:
وَيَنْبَغِي تَقْلِيدُ ذَلِكَ الْجَمْعِ لَا سِيَّمَا فِي الْغَرِيقِ عَلَى مُخْتَارِ الرَّافِعِيِّ فِيهِ تَحَرُّزًا عَنْ إزْرَاءِ الْمَيِّتِ وَجَبْرًا لِخَاطِرِ أَهْلِهِ
Artinya:
“Selayaknya mengikuti sebagaian ulama muta’akkhirin itu, apatah lagi jika jenazahnya tenggelam sebagaimana pendapat al-Rafi’i, sebagai tindakan tidak menyia-nyiakan jenazah dan menjaga perasaan keluarganya.”
Kesimpulan:
1. Jenazah korban viruscorona covid-19 tetap dimandikan jika memungkinkan, walaupun hanya dengan sekali siraman yang menyeluruh. Sebaiknya air dicampur desinfektan sesuai anjuran ahli agar sisa airnya tidak menjadi sarana penularan.
2. Jika tidak bisa dimandikan, maka ditayamumkan sebagaimana tayamumnya orang yang masih hidup. Orang yang mentayamumkan hendaknya memakai APD (alat perlindungan diri) sesuai anjuran ahli.
3. Jika tidak bisa ditayamumkan karena tidak adanya APD, maka jenazah tidak dimandikan, tidak dikafani, tapi langsung dibungkus sesuai anjuran ahli, kemudian disalati dan dikuburkan.
Wallahu a’lam
Dijawab oleh ust. Ayub Soebandi, Lc