Bolehkah Salat Tahajud dan Witir Setelah Tarawih dan Witir di Awal Malam?

Date:

Meski jumlah rakaat salat lail yang rutin dipraktikkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam di luar bulan Ramadan dan salat tarawih di dalam bulan Ramadan hanya sebelas atau tiga belas rakaat, akan tetapi para ulama menyimpulkan bahwa jumlah rakaat salat lail tidak memiliki batasan tertentu. Kesimpulan in dipahami oleh para ulama dari penjelasan beliau bahwa salat lail itu dua rakaat dua rakaat sebagaimana dalam Ash-Shahihain (HR.Bukhari: 990, dan Muslim: 794).

Karena itu, seseorang ataupun jemaah dapat mengurangi atau menambah jumlah rakaat salat tarawihnya di dalam bulan Ramadan, baik dikerjakan dua rakaat dua rakaat lalu ditutup dengan witir secara runut sekaligus ataupun secara terpisah, yaitu dengan mengerjakan sebagian rakaatnya di awal malam dan sebagiannya di akhir malam. Kedua pilihan tersebut dapat dipilih dan dikerjakan secara individu ataupun secara berjemaah.

Salat tarawih yang dikerjakan secara runut dengan jumlah rakaat lebih atau kurang dari sebelas atau tiga belas rakaat bersama witir telah menjadi pilihan utama mayoritas kaum muslimin di bulan Ramadan. Tetapi tidak sedikit pula di antara kaum muslimin yang memilih pilihan kedua, yaitu mengerjakan sebagian rakaat salat tarawihnya di awal malam tanpa witir lalu dilanjutkan di akhir malam setelah bangun tidur (atau tahajud) plus witir.

orang yang memilih cara kedua  biasanya memisahkan diri dari salat berjemaah sebelum imamnya mengerjakan witir karena ia ingin menutup salat malamnya dengan witir setelah salat tahajud di akhir malam. Cara seperti ini, sekalipun sah menurut kacamata fikih, tetapi ia telah menyia-nyiakan peluang mendapat ganjaran pahala salat semalam penuh yang dijanjikan oleh Nabi dalam hadisnya:

«إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ»

Sesungguhnya apabila seseorang salat bersama imamnya hingga tuntas maka ia terhitung mendapat pahala salat lail semalam penuh”. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasaiy).

Selain kedua pilihan tersebut, terdapat alternatif lain yang pemilihnya juga cukup banyak. Yaitu salat tarawih plus witir di awal malam bersama imam untuk mendapat ganjaran pahala salat semalam penuh yang dijanjikan oleh Nabi dalam hadis di atas, lalu bangun salat tahajud setelah tidur malam.

Secara teknis, pilihan ini dapat dikerjakan dengan memilih salah di antara dua cara yang masing-masing telah dipraktikkan oleh para sahabat, yaitu:

Pertama

Mengerjakan  salat tahajud dua rakaat dua rakaat, sesuai jumlah rakaat yang diinginkan atau disanggupi dalam waktu yang tersedia, tanpa diakhiri dengan witir, dan mencukupkan dengan witir yang telah dikerjakannya bersama imam tarawihnya di awal malam.

Cara ini telah dipilih dan dipraktikkan oleh sejumlah sahabat utama, sebagaimana diriwayatkan antara lain dari Abu Bakar, Abu Hurairah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibnu Abbas dalam salah satu riwayat dari beliau, ‘Ammar bin Yasir, Ummul Mukminin Aisyah, Thalq bin Ali dan A’idz bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhum jami’an.

Cara ini juga merupakan pendapat Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad, ulama Kufah, dan sejumlah ulama salaf lainnya, bahkan dinukil oleh Qadhi Iyadh sebagai pendapat mayoritas ulama. (Lihat: al-Istidzkar, karya Ibnu Abdil-Barr: II/117-118; Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, karya Imam An-Nawawiy: IV/24-25; Fathu al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, karya Ibnu Rajab: IX/171-172).

Cara ini diperkuat dengan beberapa dalil, antara lain:

  1. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

«إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ، فَلْيَفْتَتِحْ صَلَاتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ»

“Jika salah seorang di antara kalian bangun untuk salat di waktu malam, maka hendaklah ia memulai salatnya dengan salat dua rakaat yang ringan” (HR. Muslim: 768).

Bagi mereka, hadis ini berlaku umum, baik bagi orang yang belum salat witir ataupun yang telah salat witir sebelum tidurnya. Di dalamnya Nabi menganjurkan memulainya dengan rakaat genap dan bukan ganjil. Cara ini juga dipraktikkan oleh Nabi. (lihat: HR Muslim: 767).

  1. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

«لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ»

“Tidak ada witir dua kali dalam satu malam”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi, dan An-Nasaiy).

  1. Praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang pernah salat lagi dua rakaat setelah melaksanakan salat witir sebelumnya.

Dalam riwayat Imam Muslim (746), Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan salah satu cara salat Nabi bahwa beliau pernah salat sembilan rakaat. Beliau tidak duduk untuk tahiyat kecuali pada rakaat ke delapan. Setelah melakukan duduk tahiyat dan berdoa pada rakaat kedelapan tersebut, beliau bangkit menambah salatnya satu rakaat menjadi sembilan, kemudian beliau duduk bertahiyat dan berdoa pada rakaat kesembilan kemudian bersalam yang diperdengarkan kepada kami. Setelah itu beliau salat lagi dua rakaat dalam keadaan duduk.

Dalam riwayat Imam Ahmad (22313), Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwitir dengan sembilan rakaat hingga ketika tubuhnya telah gemuk, beliau berwitir dengan tujuh rakaat kemudian salat dua rakaat dalam keadaan duduk.

Kedua

ketika bangun tidur, mengerjakan salat satu rakaat untuk menggenapkan jumlah rakaat salat witir/ganjil yang dikerjakan di awal malam, kemudian salat dua rakaat dua rakaat sesuai jumlah rakaat yang diinginkan atau disanggupi dalam waktu yang tersedia, lalu salat tersebut ditutup dengan salat witir.

Cara ini telah dipilih dan dipraktikkan juga oleh sejumlah sahabat utama, hingga dikatakan oleh Imam Ahmad bahwa cara tersebut diriwayatkan dari dua belas orang sahabat. Di antaranya, diriwayatkan dari Ibnu Umar, Usamah bin Zaid, dan diriwayatkan juga dari Umar bin Khattab, Usman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas dalam salah riwayat dari beliau. (Lihat: Fathu al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, karya Ibnu Rajab: IX/170).

Cara ini diperkuat dengan beberapa dalil, antara lain sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

«اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا»

“Jadikanlah akhir salat kalian di waktu malam dengan witir”. (HR. Bukhari: 998 dan Muslim: 751).

Cara yang dikedua ini dikenal dalam kitab-kitab fikih dan literatur lainnya dengan istilah naqdh al-witr (membatalkan witir pertama).

Namun cara kedua ini  diperselisihkan oleh para ulama.

Dalam kitab Sunannya, Imam Tirmizi menukil perbedaan salaf dalam memilih salah satu di antara kedua cara tersebut: “Para ulama berselisih pendapat tentang cara salat orang yang telah witir di awal malam lalu ia bangun di akhir malam untuk salat. Sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari generasi setelahnya berpendapat bahwa ia perlu me-naqdh (membatalkan) witirnya, yaitu dengan mengerjakan salat satu rakaat, kemudian ia salat tahajud sejumlah rakaat yang diinginkan, lalu ia salat witir di akhir salatnya. Karena tidak boleh ada dua witir dalam satu malam. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ishaq”. (Ibnu Rahawaih).

Sementara sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang lainnya mengatakan: “Jika seseorang telah salat witir di awal malam sebelum tidur lalu ia bangun di akhir malam maka ia dapat langsung mengerjakan salat sejumlah rakaat yang diinginkannya tanpa me-naqdh (membatalkan) witirnya dan membiarkannya seperti semula. Cara ini merupakan pendapat Sufyan Ats-Tsauriy, Malik bin Anas, Ibnul Mubarak, dan Ahmad bin Hanbal”. (Lihat: Sunan al-Tirmidziy: II/333).

Cara kedua ini dikuatkan oleh Imam Tirmizi dengan dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah salat lagi setelah melaksanakan salat witir.

Secara praktis seseorang dapat memilih salah di antara keduanya, karena keduanya memiliki dalil kuat dan masing-masing telah dipraktikkan oleh para sahabat dan salaf saleh setelahnya.

Oleh karenanya, Imam Ahmad berkata, “Seseorang dapat memilih di antara keduanya, karena kedua cara tersebut telah diriwayatkan dari para sahabat”. Pendapat yang menyuruh memilih salah satu di antara keduanya juga diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. (Lihat:  Fathu al-Bari Syarah Shahih Bukhari, karya Ibnu Rajab: IX/172).

Oleh H. Salahuddin Guntung, Lc., M.A

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

Wahdah Islamiyah Terima Kunjungan Wakil Ketua DPD RI di Kantor Pusat Jakarta

JAKARTA, wahdah.or.id — Kantor Pusat Wahdah Islamiyah Jakarta menerima...

7 Tips Menjaga Rumah Tetap Aman dan Nyaman Saat Musim Hujan

Tips Menjaga Rumah Tetap Aman dan Nyaman Saat Musim...

Tutup Mukernas XVII Wahdah Islamiyah, Ustaz Zaitun Rasmin: Terima Kasih Bapak Prabowo Kami Doakan Bapak Sehat Selalu

MAKASSAR, wahdah.or.id - Mukernas ke-XVII Wahdah Islamiyah yang digelar...

Pendidikan Karakter Membangun Generasi Emas 2045: Komitmen Wahdah Islamiyah Mendukung Program Mendikdasmen RI

MAKASSAR, wahdah.or.id - Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik...