Jumhur ulama di antara imam yang empat berpendapat : Tidak mengapa bagi orang junub atau wanita yang sudah berhenti dari haid/nifas sebelum terbit fajar, lalu menunda mandinya setelah terbit fajar. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima taubatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar…”(Terjemahan QS al-Baqarah : 187)
Syekh Abdurrahman al-Sa’di rahimahullah berkata : “Ini adalah batas maksimal untuk makan, minum dan jimak,…Di dalamnya juga terdapat dalil bolehnya masuk waktu fajar sedangkan dia dalam keadaan junub dari jimak sebelum mandi, dan puasanya sah, karena kebolehan jimak sampai terbit fajar mengharuskan masuk waktu fajar sedangkan dia dalam keadaan junub, dan keharusan sebuah kebenaran adalah kebenaran” (Taisir al-Kariim al-Rahman)
Juga berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
Dari Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma : “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena jimak, kemudian beliau mandi dan berpuasa”. (Muttafaq ‘alaih) Dalam riwayat Muslim dalam hadits Ummu Salamah terdapat tambahan : “Dan tidak mengqadha”
Para ulama menyamakan wanita haid dengan orang junub dalam hal ini. Syekh al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Jika wanita haid suci sebelum fajar dan mandi setelah terbit fajar, bagaimana hukum puasanya?” Maka beliau menjawab : “Puasanya sah apabila yakin dia suci sebelum terbit fajar, yang penting dia yakin, karena sebagian wanita menyangka dirinya sudah suci padahal belum suci, karenanya para wanita membawa kapas kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha dan memperlihatkan kepadanya tanda suci, maka beliau berkata : “Jangan tergesa-gesa sampai kalian melihat al-qashshah al-baidha’ (lendir putih)” Karenanya wajib bagi wanita untuk berhati-hati sampai yakin bahwa ia telah suci, maka apabila ia telah suci ia berniat puasa meskipun tidak mandi kecuali setelah terbit fajar, tetapi wajib baginya juga memperhatikan masalah shalat, maka hendaknya ia bersegera mandi agar bisa shalat subuh pada waktunya.
Dan telah sampai kepada kami bahwa sebagian wanita suci setelah atau sebelum terbit fajar akan tetapi ia menunda mandi sampai terbit matahari dengan alasan ia ingin mandi lebih sempurna, lebih bersih dan lebih suci. Maka hal ini keliru baik pada bulan Ramadhan ataupun pada selainnya, karena wajib baginya untuk bersegera mandi dan shalat pada waktunya, dan boleh baginya mencukupkan diri dengan mandi yang wajib untuk shalat, dan jika ia ingin lebih bersih setelah terbit matahari maka tidak mengapa (mandi kembali, pent)…” (Fatawa Arkan al-Islam).[]
Oleh: Ummu Hafsah Lc. (Dosen STIBA Makassar)