BIOGRAFI IMAM AL-TIRMIŻῙ (210 – 279 H)
- Nama dan Kelahiran Imam Al-Tirmiżī
Khazanah keilmuan islam mencatat sosok Imam Al-Tirmiżī sebagai salah satu periwayat dan ahli hadis yang utama. Ketokohannya dikenal dalam deretan enam Imam besar, yaitu Al-Bukhārī, Muslim, Abū Dawūd, Al-Tirmiżī, Al-Nasā’ī dan Ibnu Mājah. Karyanya (jami’ al-tirmiżī) menjadi salah satu rujukan penting berkaitan masalah hadīṡ dan ilmunya, bahkan keberkahannya mengantarkan kitab ini menjadi enam kitab pokok di bidang hadīṡ.
Tokoh penuh zuhud dan wara’ ini adalah Abu Isā Al-Tirmiżī. Nama lengkapnya yaitu Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin al-Dhahāk al-sulamī al-būghī al-tirmiżī. Ia juga dikenal dengan nama kuniyahnya yaitu Abū Isā.
Al-sulamī merupakan nisbatnya ke kabilah bani Sulaim, kabilah ini merupakan salah satu kabilah dari ghailān.
Al-būghī adalah nisbatnya ke kampung kelahirannya, di sana ia menghabiskan masa kecilnya. Jarak kampung ini dari kota tirmiż 6 farsakh, di kampung ini juga ia mengakhiri kehidupannya.
Al-tirmiżī adalah nisbatnya ke kota tirmiż, sebuah kota yang asri, idah dengan kemilau hijau tumbuhannya. Kota ini ditaklukkan oleh Qutaibah bin Muslim al-Bāhilī di masa kekhilafahan Banī Umayyah, yang dipimpin oleh Al-Walid bin Abdil Malik. Kota tirmiż sekarang berada di Uzbekistan.
Sejarawan islam tidak menyebutkan tahun kelahirannya secara pasti, sehingga muncul dua versi terkait hal ini. Ada yang menyebutkan bahwa ia dilahirkan tahun 209 H, sedang Al-Zahabī menyebutkan bahwa Ia dilahirkan tahun 210 H.
Diriwayatkan bahwa ia terlahir dalam kondisi buta, padahal berita yang akurat adalah, bahwa ia mengalami kebutaan pada masa tuanya, setelah ia melakukan lawatan ilmiah ke berbagai negeri, menulis dan mengajarkan ilmunya serta mengabdikan dirinya untuk sunnah Nabi ﷺ, hingga ajal menjemputnya.
- Perkembangan Keilmuan Imam Al-Tirmiżī
Dalam literatur-literatur bografi imam Al-tirmiżī, tidak disebutkan dengan pasti kapan ia mulai menuntut ilmu, akan tetapi tersirat dari beberapa sumber yang menerangkan bahwa ia memulai aktifitas menuntut ilmu setelah menginjak usia duapuluhan tahun.
Walaupun imam Al-tirmiżī mulai menuntut ilmu di usia duapuluhan tahun, akan tetapi ia tekun dan sungguh-sungguh dalam menimba ilmu. Seluruh potensi ia tumpahkan, tiada waktu yang ia sia-siakan, hingga Allah ﷻ mengaruniakannya kedudukan yang mulia dan derajat yang tinggi dalam ilmu islam.
Perjalanan menuntut ilmunya dimulai pada tahun 234 H. Allah ﷻ memberikannya kelebihan dengan kekuatan hafalan di atas rata-rata, cepat menangkap dan memahami pelajaran, sekali mendengar hadiṡ langsung dihafalkannya dengan baik dan benar. Sebagaimana kisahnya menghafalkan puluhan hadīṡ dalam sekali dengar yang baru dibacakan oleh Syaikhnya yang berpapasan dengannya saat perjalanannya menuju Makkah.
Seperti kebiasaan ulama hadīṡ pada umumnya, Imam Al-tirmiżī juga keluar dari negerinya untuk menuntut ilmu, mengunjungi banyak negeri-negeri yang menjadi markaz ilmu di zaman itu. Negeri-negeri yang pernah ia datangi adalah Khurasān, Irak (Kufah dan Bashrah), Hijaz (Makkah dan Madinah), Washit, Baghdād dan Rai.
Di sana ia memperdalam ilmu islam, mendengar dan menghafalkan hadīṡ-hadīṡ dari para ulama yang ia temui. Hanya saja ia tidak berkesempatan mendatangi negeri Syam dan Mesir. Karenanya untuk meriwayatkan hadiṡ dari kalangan ulama Syam dan Mesir, ia riwayatkan melalui perantara.
Kesungguhan dan kerja keras Imam Al-tirmiżī dalam menuntut ilmu, mengantarkannya menjadi seorang ulama besar yang kedalaman ilmunya sulit tertandingi. Hal itu dapat dilihat dari karyanya jami’ al-tirmiżī (sunan al-tirmiżī). Kitab ini hadir dengan metode penjelasan fawa’id hadīṡ dan keterangan derajatnya yang belum dilakukan ulama sebelumnya. Oleh karenanya Abdullah bin Muhammad al-anshārī lebih mengakui keunggulan jami’ al-tirmiżī dari shahihain pada sisi fawā’idnya.
- Guru, Murid dan Karya-karya Imam Al-Tirmiżī
Imam Al-tirmiżī menuntut ilmu dan meriwayatkan hadīṡ dari dari ulama-ulama kenamaan, bahkan ia sempat berguru dari guru-guru Imam Al-Bukhari(w. 256 H), seperti Qutaibah bin Sa’īd al-Baghlānī, Ishak bin Rahawaih, ‘Ali bin Hujr al-Marwazī, Hannad bin Al-Sirrī al-Kūfī, Abū Kuraib Muhammad bin al-‘Alā’ al-Kūfī, Muhammad bin Basyār al-Basrī, Muhammad bin Musa al-Zamin al-Basrī.
Sebagaimana Imam Muslim, Imam Al-tirmiżī juga dikenal dengan kedekatannya dengan Imam Al-Bukhārī (w. 256 H). Mulazamahnya kepada Imam Al-Bukhārī menjadikannya sebagai salah satu murid terbaik. Suatu kebanggaan tersendiri bagi imam Al-tirmiżī, bahwa Imam Al-Bukhārī pernah mengambil satu hadīṡ darinya, sebagaimana keterangan Al-Zahabi dan Ibnu Hajar.
Murid-muridnya banyak yang menjadi ulama besar di zaman mereka, di antara murid-muridnya adalah Ahmad bin Isma’il al-samarqandī, Makhūl bin Fadhl al-Nasafī, al-Husain bin Yusuf al-farabrī, Hammād bin Syakir al-Warrāq, Al-Rabī’ bin Hayyān al-Bāhilī dan lainnya.
Imam Al-tirmiżī hidup di abad ke tiga hijriah, keberkahan karya-karyanya masih didapatkan hingga saat ini. Di antara karyanya ada yang telah dicetak (ditemukan) ada pula yang hanya disebutkan dalam sumber-sumber biografinya namun tidak ditemukan di zaman ini. Karya-karyanya yang telah dicetak yaitu: jami’ al-tirmiżī (sunan al-tirmiżī), kitab al-‘ilal dan al-syamā’il al-muhammadiyah. Adapun karyanya yang tidak ditemukan di zaman ini yaitu: kitab al-tārīkh, kitab al-zuhd dan kitab al-asmā’ wa al-kunā.
- Apresiasi Ulama kepada Imam Al-Tirmiżī
Imam Al-Bukhārī berkata kepada Imam Al-tirmiżī: manfaat ilmu yang aku dapatkan darimu itu lebih banyak dibanding manfaat ilmu yang engkau ambil dariku.
Ibnu Hibbān berkata: Abū Isā al-tirmiżī adalah seorang ahli hadīṡ yang seluruh hidupnya ia dedikasikan untuk mengumpulkan hadīṡ, menuliskannya, menghafalkannya dan mengajarkannya.
Abū Sa’īd al-Idrīsī berkata: Imam al-Tirmiżī adalah seorang imam, yang pakar di bidang hadīṡ, ia menjadi rujukan utama dalam ilmu hadīṡ, ia telah menulis kitab al-jami’, tawarikh dan ilal, semua ini menunjukan akan kedalaman ilmunya dan kekuatan hafalannya, ia adalah ulama yang menjadi contoh dalam hal kekuatan hafalan.
Imam Al-Hakim meriwayatkan bahwa Umar bin ‘Allak berkata: Al-Bukhārī wafat, dan tidaklah ia meninggalkan di Khurasān murid yang unggul dalam kedalaman ilmu, kekuatan hafalan, ketinggian wara’ dan zuhudnya melebihi Abu ‘Isā l-tirmiżī. Ia banyak menangis hingga ia buta beberapa tahun sampai wafatnya.
Abū ‘Alī Mansūr bin Abdillah al-Khālidī meriwayatakan bahwa Abū ‘Isā berkata: aku menyusun karya ini (kitab jāmi’ al-tirmiżī), lalu aku meminta penilaian dari ulama hijaz, Iraq, Khurasan, maka mereka menilainya baik. Barangsiapa kitab ini ada di rumahnya, maka seakan dalam rumahnya ada Nabi Muhammad ﷺ yang berbicara padanya.
Adapun keteledoran Ibnu Hazm (w. 456 H), di mana ia berpendapat bahwa Abū Isā Al-tirmiżī adalah seorang yang majhūl (tidak dikenal), maka ini telah dibantah oleh banyak ulama. Kapabilitas imam Al-tirmiżī tidak terpengaruh dengan statemen Ibnu Hazm tersebut, karena ini merupakan kekeliruan pribadi beliau. Sebagai contoh ada beberapa ulama ṡiqah dan masyhur seperti abū Al-Qāsim al-Baghawī, Ismā’īl bin Muhammmad bin al-Saffār juga tidak dikenalinya.
- Wafatnya Imam Al-Tirmiżī
Setelah Imam Al-Tirmiżī berkhidmat untuk sunnah Nabi ﷺ, di akhir hayatnya Imam Al-tirmiżī mengalami kebutaan. Beberapa tahun ia jalani tanpa penglihatan mata namun tajam penglihatan hatinya hingga ajal menjemputnya. Ia wafat di tirmiż pada malam senin tanggal 13 rajab 279 H dalam usianya saat itu 70 tahun. Semoga keluasan rahmat Allah ﷻ selalu tercurahkan untuknya dan untuk seluruh ulama islam.
Oleh: Ust. Surahman Yatie, Lc
(Lulusan Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah, Dosen STIBA dan Anggota Dewan Syariah WI)