Biografi Imam Abu Dawud, Imam Penulis Kitab Hadis

Date:

BIOGRAFI IMAM ABŪ DᾹWŪD (202- 275 H)

Nama dan Kelahiran Imam Abū  Dāwūd

Ia adalah Sulaimān bin al-asy’aṡ bin Ishāq bin Basyīr bin Syaddād bin ‘Amr bin Imrān Abū Dāwūd al-azdī al-Sijistānī.[1]

Ia dilahirkan tahun 202 H di Sijistan. Data ini menunjukan bahwa Imam Abū Dawūd lebih tua kurang lebih dua tahun di atas Imam Muslim (204 – 261 H). Oleh karena itu, Imam Abū Dāwūd memiliki keunggulan dari Imam Muslim dari segi ‘uluwu al-isnād (ketinggian sanad) yang didapatkannya.

Bersama saudaranya, Muhammad bin Al-Asy’aṡ, Abū Dāwūd melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu, hanya saja saudaranya meninggal lebih dulu daripada Abū Dāwūd.[2]

Perkembangan Keilmuan Imam Abū  Dāwūd

Sejak kecil Abū Dāwūd diarahkan oleh orangtuanya untuk mendalami ilmu agama. Ia pun mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Berbeda dari pemuda lainnya, Abū Dawūd tidak menyia-nyiakan masa mudanya dalam kelalaian, akan tetapi waktu baginya bagaikan emas, yang tak boleh dilalui tanpa ada tindakan yang berharga.

Pada tahun 220 H, ketika umur  Imam Abū Dāwūd 18 tahun, ia mulai babak pertama petualangannya menuntut ilmu ke negeri-negeri islam yang menjadi pusat ilmu dan ulama. Tujuan pertamanya adalah negeri Baghdād, bahkan negeri itu diziarahinya berkali-kali, karena guru terbaiknya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H) berdomisili di sana.  Pada tahun 221 H, ia ke kota Kufah.[3] Lalu di tahun 222 H, ia ke Syam (Damaskus), Hijāz (Makkah dan Madinah), Mesir, Irak, Khurasān, Baghlan, Rai, Naisabur dan negeri-negeri lainnya.[4]

Seakan dahaganya akan ilmu belum tersirami, di tahun 238 H,  Bersama anaknya Abū Bakr Abdullah bin Sulaiman bin al-Asy’aṡ yang masih berumur 8 tahun, Imam Abū Dāwūd melanjutkan petualangan babak keduanya dalam menuntut ilmu.[5]

Di saat safarnya ke Mesir, Abū Dawūd membawa anaknya yang masih belia, yaitu Abdullah bin Sulaiman ke majlis seorang ulama senior yang bernama Ahmad bin Shalih al-Misrī. Ulama ini mempersyaratkan yang boleh hadir di majelisnya hanya  orang dewasa yang sudah berjanggut, dan tidak diperbolehkan orang yang tidak berjanggut. Dengan dorongan semangat dan maksud baik, agar anaknya mendapat sanad ‘ālī maka Abū Dawūd membuat janggut palsu untuk anaknya. Ketika Ahmad bin Shalih al-Misrī mengetahui hal itu, ia menegur Abū Dawūd: tidak pantas hal itu dilakukan oleh seorang ahli hadīṡ.[6] Pelajaran yang bisa dipetik di sini adalah semangat baik dan cita-cita mulia orangtua dalam perkembangan studi dan keilmuan anaknya.

Guru, murit dan Karya Ilmiah Imam Abū Dāwūd

Umur Imam Abū Dāwūd (202-275 H) dan Imam Al-Bukhārī (194-256 H) hanya terpaut 8 tahun, olehnya Imam Abū Dawūd sempat berguru kepada guru-guru Imam Al-Bukārī dan Imam Muslim.

Tentang guru-gurunya, Abū Dawūd pernah berkata: banyak guru yang telah aku temui dalam menimba ilmu, dari seluruh guru-guruku yang paling kuat dan banyak hafalan hadiṡnya adalah Yahya bin Ma’īn, yang paling wara’ dan luas pemahaman hadṡnya adalah Ahmad bin Hambal, yang paling mumpuni ilmu ilal hadisnya (penyakit hadīṡ) adalah Ali bin al-Madīnī, aku melihat Ishaq bin Rahawaih memuliakan Ahmad bin Hambal dan mengakui kredibilitasnya.[7]

Dari sekian banyak gurunya, Imam Abū Dawud sangat terisnpirasi dengan Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H). Sifat, akhlak, keilmuan bahkan adabnya banyak tercermin dari guru yang satu ini. Bahkan kitab suanannya belum dipublikasi, kecuali setelah melalui penelitian gurunya, Imam Ahmad bin Hambal.

Setiap diskusinya bersama Imam Ahmad bin Hambal selalu dicatatnya, yang kemudian hasil diskusi itu menjadi sebuah karya ilmiah yang ia beri judul suālāt Abī Dāwūd lil Imam Ahmad bin Hambal fī jarhi al-ruwāt wa ta’dīlihim. Buku ini telah di cetak di tahun 1414 H, oleh maktabah al-‘ulūm wa al-hikam di Madinah al-munawarah.

Di zamannya, Abū Dawūd merupakan rujukan utama para penuntut ilmu hadīṡ, sehingga berbondong-bondong para penuntut ilmu menimba ilmu darinya. Di antara murit terbaiknya adalah, Muhammad bin ‘Isā al-Tirmizi (w. 279 H), Ahmad bin Syu’aib al-nasā’ī (w. 303 H), anaknya sendiri yaitu Abū Bakr bin Abī Dawūd (w. 316 H), Abū ‘Awanah al-isfrāyīnī (w. 316), Abū Bisyr al-Dūlābī (w. 310 H), dan masih banyak lainnya.[8]

Karya ilmiah Imam Abū Dawūd menjadi bukti akan kualitas dan kapasitas keilmuannya, sehingga ia pantas mendapat kedudukan mulia dalam hati kaum muslimin dan menyandang gelar seorang imam di bidang hadīṡ. Jasa Imam Abū Dawūd, Allah ﷻ abadikan sejak abad ketiga hijriah hingga sekarang (abad ke 15 hijriah). Di antara karyanya yaitu, sunan Abī Dawūd, al-marāsīl, suālāt Abī Dāwūd lil Imam Ahmad bin Hambal fī jarhi al-ruwāt wa ta’dīlihim, al-nāsikh wa al-mansūkh, risalah abī dawūd ilā ahli makkah, al-zuhd, kitāb al-rad ‘alā ahli al-qadr, dalā’il al-nubuwah dan lainnya.  

Akhlak dan Wara’ Imam Abū Dāwūd

Imam Ibnu Hajar al-Asqalānī (w. 852 H) menukil riwayat dari Ibnu Abdi al-Bar (w. 463 H) dalam kitabnya fathu al-bārī di bab “lā yusyammat al-‘atisy iża lam yahmadillah”, sebuah kisah tentang Imam Abū Dawūd. Ketika Abū Dawūd berada di atas suatu kapal yang hendak berlayar, ia mendengar di tepi pantai seorang yang bersin dan mengucapkan: alhamdulillah. Dengan semangatnya Abū Dawūd menyewa satu sampan kecil seharga satu dirham, agar ia bisa menepi dan mengucapkan yarhamukallah kepada orang itu. Sekembalinya di kapal utama, orang-orang bertanya padanya: apa motivasinya melakukan hal itu? Dengan santun ia menjawab: boleh jadi do’a orang itu diijabah Allah ﷻ. Di satu malam, orang-orang di kapal itu mendengar suara yang berkata: wahai penumpang kapal, sesungguhnya Abū Dawūd telah membeli surga dengan satu dirham.[9]

Apresiasi Ulama terhadap Imam Abū Dāwūd

Pengembaraan Imam Abū Dāwūd ke berbagai negeri ilmu menjadikannya sebagai seorang ilmuan besar di bidang hadīṡ. Kapasitas dan kualitas keilmuannya diakui oleh ulama-ulama di zamannya, sehingga dapat ditemukan dalam kitab sunannya sanad ṡulāṡiyāt (sanad hadīṡ yang jumlah rawinya hanya 3 orang hingga Rasulullah ﷺ) seperti yang ada pada shahih al-Bukhārī.

Banyak ulama yang memberikan apresiasi, mengakui kedalaman ilmunya.  Ibrahim al-Harbi berkata: telah dilunakkan hadīṡ pada lisan Abū Dawūd sebagaimana Allah ﷻ melunakkan besi dengan suara Nabi Dawud alaihssalām.[10]

Abū Hatim bin Hibban berkata:  Abū Dāwūd adalah salahsatu Imam dunia yang menjadi contoh dalam keilmuan, hafalan, akhlak, wara’, seluruh hidupnya dihabiskan untuk mengumpulkan, menuliskan dan membela sunnah-sunnah Nabi ﷺ.[11]

Wafatnya Imam Abū Dāwūd

Sepanjang hidupnya Abū Dawūd menjadi pembela sunnah-sunnah Nabi ﷺ.  Tenaga, pikiran dan waktunya ia korbankan, mengelilingi negeri-negeri ilmu dalam rangka mengumpulkan, menuliskan, mengajarkan kebaikan-kebaikan dari hadīṡ-hadīṡ Nabi ﷻ kepada kaum muslimin.

Kurang lebih 4 tahun Abū Dawūd membaktikan dirinya untuk kemashlahatan kaum muslimin di Bashrah, sehingga di hari jumat, tanggal 16 bulan syawal tahun 275 H, Abū Dāwūd dipanggil menghadap Penciptanya Allah ﷻ.[12]

Semoga rahmat Allah ﷻ selalu tercurahkan untuknya.

__________

[1] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, (cet. 2, muassasah al-risālah, Beirut, 1405 H/1985 M), vol. 13, h.203

[2] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, vol. 13, h. 221

[3] Abū Bakr Ahmad bin ‘Alī l-Khtīb al-baghdādī, tarīkh Baghdād wa żuyūluhu, (cet. 1, dār al-kutb al-ilmiyah, Beirut, 1417 H),vol. 9, h. 57

[4] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, vol. 13, h. 213

[5] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, vol. 13, h. 222

[6] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, vol. 13, h. 226

[7] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, vol. 13, h.218

[8] Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, tażkirat al-Huffāz, vol. 2, h. 127

[9] Ibnu Hajar al-Asqalāni, fathu al-bāri syarh shahīh al-bukhāri (cet. Dār al-Ma’rifah, Beirut, 1379 H), vol. 10, h. 610

[10] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, tahzīb al-kamāl fī asmā’i al-rijāl, (cet. 1, Muassasah al-risālah, Beirut, 1400 H/1980 M), vol. 11, h. 365

[11] Ibnu Hajar al-Asqalānī, tahżīb al-tahżīb, vol. 4, h. 172

[12] Ibnu Khilkān, wafayāt al-a’yān wa anbā’ abnā’i al-zamān, (cet. 1, dār al-shadīr, Beirut, 1900 M), vol. 2, h. 405

Penulis: Ust. Surahman Yati, Lc
(Alumni UIM Saudi Arabia, Dosen STIBA Makassar, Anggota Dewan Syari’ah Wahdah Islamiyah)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

Ustadz Yusran Anshar Sebut Dakwah dan Tarbiyah Adalah Jihad yang Utama Sekarang

MAKASSAR, wahdah.or.id - Ketua Dewan Syariah Wahdah Islamiyah Ustaz...

Hadiri Mukernas XVI Wahdah Islamiyah, Prof Waryono Dorong LAZ Lebih Optimal dalam Gerakan Zakat dan Wakaf

MAKASSAR, wahdah.or.id – Prof Waryono Abdul Ghafur, selaku Direktur...

Kepala BKSDN Kemendagri: Wahdah Islamiyah Wujud Representasi Civil Society, Jembatan Umat dan Pemerintah

MAKASSAR, wahdah.or.id - Kepala Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri...

Dukung Kemerdekaan Palestina, Wahdah Sulsel dan WIZ Pasangkayu Donasi Milyaran Rupiah

MAKASSAR, wahdah.or.id - Perang antara pejuang Palestina dan Israel...