Berkah Zaman
Sekali waktu ia terlambat shalat berjamaah di masjid Rasulullah. Gurunya lantas menegurnya tentang keterlambatannya. Tentang kealpaanya shalat di masjid satu kali waktu shalat. Bukan lima waktu. Lalu apa jawabnya?,
“Tadi pembantu saya menyisir rambut saya!”
“Jadi kamu lebih mementingkan menyisir rambut daripada shalat?” Ujar gurunya mencela.
Jauh hari ayahnya telah memesankan kepada guru anaknya agar selalu menyampaikan berita tentang segala sesuatu mengenai putranya. Maka, oleh sang guru peristiwa di atas disampaikan kepaada ayahnya. Maka datanglah perintah ayahnya agar ia segera mencukur gundul seluruh rambut kepalanya. Anak kecil inipun segera memenuhi titah ayahnya. Bukan sekedar bentuk ketaatan kepada ayahnya, tapi sebagai penebus atas kekeliruannya.
Ia bukan sembarang anak. Ia dibesarkan di lingkungan yang penuh kemewahan. Dibesarkan dalam kehidupan yang penuh kemegahan. Di istana Bani Umayyah. Istana yang jamaknya identik dengan kelimpahruahan, hidup enak, santai dengan setumpuk fasilitas. Tapi tidak bagi anak ini. Dalam usia sekecil itu ia sudah harus dikirim oleh sang ayah ke Madinah guna belajar agama kepada seorang guru. Masa kecil bagi kebanyakan anak, adalah usia ceria bersama teman sebayanya dengan setumpuk permainan. Tapi tidak bagi anak ini. Dalam usianya yang masih dini ia sudah harus menghafal al-Qur’an dan hadits Rasulullah serta bermajlis dengan orang-orang dewasa.
Petikan kejadian di atas hanya salah satu tanda-tanda awal kebesaran anak ini. Kecenderungannya kepada kebesaran bertemu dengan guru yang selalu mengarahkannya. Thawus bin Kaisan. Kecondongannya kepada al-haq terbantu oleh ayahnya yang shalih ,Abdul Aziz bin Marwan. Klop dengan situasi zamannya yang penuh dengan orang-orang mulia.
Inilah salah satu diantaranya yang mengantar anak ini, Umar bin Abdul Aziz, menjadi orang besar di zamanya. Meski di masa pemerintahan Bani Umayyah sudah mulai terjadi penyimpangan dari manhaj nubuwah; pengangkatan khalifah dari kalangan keluarga; runtuhnya tembok ka’bah oleh manjanik Hajjaj bin Yusuf; terbunuhnya Husain bin Ali dan Abdullah bin Zubair-radhiyallahu anhum- hanya sebagian kecil di antara penyimpangan itu. Namun, masa ini masih banyak tabi’in yang mengambil ilmu dari para sahabat. Masa ini masih dalam masa-masa awal al-qurun al-mufadh-dhalah.
Demikianlah adanya, zaman adalah petak-petak ruang disediakan Allah untuk diisi dengan karya. Setiap kita diberi pilihan dalam mengisi ruang itu. Kebaikan atau kejahatan. Karya biasa atau karya luar biasa. Atau mungkin tidak ada karya sama sekali. Masalahnya, adakah yang mendukung kita untuk berkarya. Adakah faktor intern dan eksteren yang yang bisa mendongkrak kita berkarya dan menjadi besar. Di sisi lain, fakta tidak bisa dipungkiri. Pada banyak keadaan, zaman sama sekali tidak memberi peluang pada manusia-manusia yang menghuni pelatarannya untuk menjadi besar. Sehingga masa tersebut vakum dari gebrakan dan sepak terjang kebesaran. Seakan rahim zaman itu mandul untuk melahirkan orang besar.
Di lain kesempatan, zaman sangat kondusif untuk melahirkan orang besar. Mungkin orang yang ada pada masa itu biasa-biasa saja, tapi karena pada zaman itu masih banyak zu’amaa, mujahid dan penuntut ilmu, maka kondisi berpeluang melambungkan himmah seseorang sehingga. Dalam suasana seperti inilah Umar bin Abdul Aziz lahir, bertumbuh, berkembang, dan akhirnya memperbaharui penyimpangan di zamannya dan mengembalikannya pada rel sunnah. Karena itu, kiranya tidak berlebihan kalau imam adz-Dzahabi memasukkannya ke dalam deretan al-Khulafaa’ al-Rasyidun yang empat.(Al Bashirah Ed.05 Tahun II Kolom Himmah)