“Pada awal abad ke-8, bangsa Arab membawakan salah satu revolusi terbesar dalam kekuasaan, agama, budaya, dan kekayaan sejarah ke Eropa Zaman Kegelapan.” (David Levering Lewis)
Andalusia adalah negeri yang berada di ujung barat daratan Eropa. Di sebelah utara negeri ini dibatasi oleh jejeran pegunungan Pirenia (Pyrenees) yang menjulang tinggi sebelum memasuki kawasan selatan Prancis. Timur dan Tenggaranya diliputi Laut Mediterania. Adapun di bagian selatan, Maghrib (Maroko) menjadi negeri terdekat yang hanya dipisahkan oleh selat.
Negeri yang juga dikenal dengan nama Semenanjung Iberia sebelum kedatangan Islam menjadi simbol tirani. Penguasa bersikap tidak adil dan menindas rakyatnya. Penindasan orang-orang Katolik yang mayoritas terhadap Kristen Arian dan Yahudi yang minoritas. Masyarakat Andalusiapun terbagi menjadi tiga strata dengan para bangsawan serta pemuka gereja berada di pucuknya. Sementara kaum petani dan Yahudi layaknya budak yang ditindas tanpa henti.
Para petani dibebankan pajak yang tinggi untuk kesejahteraan para pemimpin dan pemuka gereja. Sementara orang-orang Yahudi tidak sedikit yang dipaksa untuk meninggalkan agamanya. Jika tidak, mereka akan dihukum bahkan dibunuh.
Di bawah kekuasaan Roderick, raja bangsa Goth yang mengudeta raja sebelumnya disokong oleh para uskup dan pastur yang berafiliasi dengan kekaisaran Romawi, Andalusia layaknya negeri Mesir di bawah Fir’aun yang memperbudak Bani Israil. Penduduk Andalusia berharap akan datangnya “malaikat penolong” yang membebaskan mereka dari penindasan dan ketidak adilan.
Penantian mereka akhirnya menemukan titik terang. Tahun 711 M, “malaikat-malaikat penolong” datang membebaskan mereka dari penindasan yang mereka alami. Bukannya datang dari arah utara maupun barat, para penolong tersebut justru muncul dari selatan, Maghrib tepatnya. Dari ras dan agama yang berbeda dengan mereka.
Terdiri dari 7.000 orang Arab dan Berber di bawah komando panglima Thariq bin Ziyad masuk melalui pantai di selatan Andalusia. Beserta para tentaranya, Thariq kemudian memijakkan kaki mereka di sebuah gunung yang hingga hari ini dikenal dengan namanya, Jabal Thariq. Melalui pertempuran yang menentukan di tepi sungai Guadalete, Thariq bin Ziyad bersama pasukan yang gagah berani berhasil menumpas seratus ribu pasukan Goth. Roderick, raja yang congkak ikut terbunuh.
Musa bin Nusair sebagai gubernur Afrika Utara dan juga atasan Thariq bin Ziyad menyusul ke Andalusia setahun berselang bersama sejumlah pasukan. Mereka berdua kemudian menyempurnakan penaklukkan Andalusia hingga tahun 713 M. Seluruh kawasan Andalusia berhasil ditaklukkan kecuali satu wilayah kecil di bagian utara: Covadonga (Shakhrah versi Islam). Wilayah kecil itu nantinya menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan-kerajaan Kristen yang dikemudian hari bersatu mengusir umat Islam dari Andalusia tahun 1492.
Sejak itu mulailah masa pemerintahan baru Andalusia di bawah kekuasaan Islam. Tidak ada lagi penindasan dan kezhaliman terhadap masyarakat minoritas. Sistem kasta dihilangkan. Orang-orang Yahudi dan Kristen Arian maupun Katolik bebas menjalankan agama dan keyakinan masing-masing. Mereka hidup berdampingan dengan bangsa penakluk tanpa intimidasi sedikitpun.
Menyaksikan umat Islam yang toleran dan berakhlak mulia, tidak sedikit penduduk pribumi yang tertarik untuk memeluk agama Islam. Terhitung pada masa amir Abdurrahman I (756-788) atau hanya sekitar 50 tahun setelah penaklukkan Thariq, 40 persen penduduk Andalusia berpindah agama menjadi muslim. Levering Lewis dalam God Crucible: Islam and The Making of Europe mencatat bahwa pada akhir abad ke-10, jumlah penduduk muslim di Andalusia meningkat menjadi 70 persen dari total populasi. Islam menjadi mayoritas di Andalusia.
Sebagian umat Krisen lainnya tetap memilih agama mereka namun terpengaruh dengan pola dan gaya hidup umat Islam. Mereka disebut sebagai Kristen Mozarab yaitu orang-orang Kristen yang menerapkan pola hidup islami. Tidak memakan babi, berkhitan, menyembelih hewan, memakai surban dan jubah layaknya orang Arab, memiliki nama Arab, hingga berbahasa dengan menggunakan bahasa Arab dan menomor duakan bahasa ibu mereka.
Perlahan tapi pasti, negeri yang pernah diduduki oleh bangsa Vandal ini berubah menjadi negeri yang maju dan tampil sebagai pesaing negeri 1001 malam di Timur: Baghdad. Menakjubkan memang! Di bawah pemerintahan Dinasti Umawiyah sekolah-sekolah dan kampus peradaban dibangun. Cordoba menjadi pusatnya dengan Universitas Cordoba-nya yang popular.
Tidak ketinggalan Toledo, kota kuno yang menjadi ibu kota Andalusia pra Islam, tampil sebagai kota pusat penerjemahan. Buku-buku karangan ilmuwan Muslim berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Orang-orang Eropa ramai mendatangi Andalusia untuk menimba ilmu. Tidak sedikit pula yang datang hanya sekadar melihat dan menyaksikan kemegahan kota-kota dan bangunannya yang megah. Masjid Agung Cordoba ‘Mezquita’, Taman Ar-Rushafa, kota Az-Zahra menjadi tempat yang paling ramai dikunjungi para pelancong.
Para sejarawan berpendapat bahwa selain Sisilia dan Peran Salib, Andalusia menjadi faktor utama berpindahnya ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat. Sarjana-sarjana barat jebolan universitas-universitas di Andalusia ketika kembali ke tanah air, mereka membangun universitas yang serupa.
Di bawah naungan Islam, Andalusia berubah menjadi simbol ilmu dan peradaban. Banyak ilmuwan terkenal lahir dan belajar di sana. Al-Qurthubi, Ibn Hazm, Ibn Abdil Barr adalah sederetan sarjana muslim asal Andalusia yang namanya masih kita dengar dan karyanya masih dapat kita nikmati pada hari ini. Jangan pula melupakan Ibn Firnas (w.878 M) yang melakukan percobaan penerbangan pertama di dunia dari atas menara Mezquita. Jauh sebelum Wright bersaudara menerbangkan pesawatnya selama 12 detik pada tahun 1903 di North Carolina.
Pemimpin-pemimpin Andalusia adalah orang-orang yang peduli terhadap keilmuan dan peradaban. Di cordova banyak didirikan sekolah-sekolah dan universitas serta perpustakaan umum dan khusus sehingga kota ini menjadi kota dengan jumlah buku terbanyak di dunia. Orang-orang miskin mendapat kesempatan belajar di sekolah-sekolah secara gratis yang dibiayai oleh pemerintah. Menakjubkannya, tidak ditemukan seorang pun yang tidak mampu membaca dan menulis di Cordoba.
Abdurrahman I, amir pertama membangun Mezquita pada tahun 786 M yang menjadi sentral belajar mengajar di Cordoba. Keturunan ketujuhnya, Abdurrahman III bergelar “An-Nashir” membangun Universitas Cordoba dan mendirikan banyak perpustakaan. Disebutkan bahwa koleksi buku di perpustakaan Cordoba adalah yang terlengkap di dunia ketika itu, mencapai 400.000 jilid buku.
Penerus Abdurrahman III, khalifah Al-Hakam II dikenal sebagai pemimpin yang cinta terhadap ilmu pengetahuan. Ia juga gemar mengoleksi buku dan manuskrip. Jika ada buku yang sulit diperoleh kecuali dengan melakukan perjalanan jauh, maka Al-Hakam mengirim utusan untuk memperoleh buku tersebut berapapun jarak dan harganya.
Salah satu contoh kesungguhan Al-Hakam untuk mendapatkan buku ketika ia membeli naskah pertama kitab Al-Aghani, sebuah kitab sastra karya Abul Faraj Al-Isfahani (897-966 M) di Isfahan, Iran seharga seribu dinar. Melihat jarak antara Cordoba dan Iran, sulit dibayangkan Al-Hakam bisa mendapatkan buku tersebut di masa itu. Al-Hakam juga mengundang para guru besar dari Timur ke Universitas Cordoba dan menyiapkan anggaran untuk gaji mereka. Di antara para guru besar adalah sejarawan Ibnul Qushiyah yang mengajar tata bahasa dan filologi terkemuka di Baghdad dan Abu Ali Al-Qali yang terkenal dengan karyanya berjudul ‘Amaliy.
Namun, meskipun Andalusia memiliki peradaban yang besar dan maju, pada akhirnya ia bernasib sama seperti Baghdad yang diluluh lantahkan oleh pasukan Mongol pada tahun 1258 M. Bahkan lebih parah lagi karena sejak 1492 hingga hari ini, Andalusia yang kini terbagi menjadi dua negara: Spanyol dan Portugal, tetap berada di tangan kaum Salib. Karena itu, jika ingin melihat bagaimana Islam berjaya maka berkacalah pada Andalusia. Dan jika ingin melihat bagaimana Islam itu runtuh maka berkacalah pula pada Andalusia.
Mahardy Purnama, Pemerhati Sejarah