Berhari Raya Sesuai Sunnah Nabi

Date:

Hari Raya idul Fitri atau Idul Adha adalah diantara ibadah sekaligus sebagai syiar Islam, maka kita mesti mengetahui bagaimana petunjuk Rasulullah dalam berhari raya. Berikut sunnah yang seharusnya dilakukan seorang muslim pada hari Ied :

1- Mandi sebelum berangkat untuk shalat Ied.

An-Nawawi rahimahullah menyebutkan adanya kesepakatan ulama tentang disunnahkannya mandi untuk shalat Ied.

Alasan yang menjadi sebab disunnahkannya mandi pada hari Jumat dan atau kesempatan lainnya saat kaum muslimin berkumpul secara umum, juga terdapat pada shalat Ied, bahkan boleh jadi pada shalat Ied alasan itu lebih kuat.

2- Makan sebelum shalat Ied pada Idul Fitri, dan sesudahnya pada hari Idul Adha.

Termasuk adab pada hari Idul Fitri, tidak berangkat shalat sebelum memakan beberapa butir kurma, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas bin Malik, dia berkata,

“Adalah Rasulullah ﷺ tidak berangkat pada hari Idul Fitri sebelum memakan beberapa butir kurma, dan dia memakannya dengan jumlah ganjil.”

Disunnahkannya makan sebelum berangkat shalat sebagai penegasan dalam hal larangan puasa pada hari itu dan sebagai pengumuman dibolehkannya berbuka dan selesainya masa puasa.

Ibnu Hajar memberikan latar belakang masalah ini, yaitu untuk menutup celah adanya tambahan dalam puasa, dan padanya terdapat sikap segera menunaikan perintah Allah. (Fathul Bari, 2/446)

Siapa yang tidak mendapatkan kurma, hendaknya dia makan  sesuatu yang dibolehkan.

Adapun pada Idul Adha, maka yang disunnahkan adalah tidak makan sebelum kembali dari shalat Ied. Hendaknya dia makan dari hewan kurbannya jika dia menyembelih hewan kurban, jika dia tidak memiliki hewan kurban, maka tidak mengapa dia makan sebelum shalat Ied.

3- Bertakbir Pada Hari Ied.

Hal ini termasuk sunnah yang agung pada hari Ied, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Terjemahan QS. Al-Baqarah: 185)

Dari Walid bin Muslim dia berkata,

“Aku bertanya kepada Al-Auzai dan Malik bin Anas tentang mengeraskan takbir pada dua Hari Raya. Mereka berdua menjawab, Ya, dahulu Ibnu Umar mengeraskan takbir pada hari Idul Fitri hingga imam datang.”

Ibnu Syihab Az-Zuhri rahimahullah berkata,

“Dahulu orang-orang bertakbir sejak mereka keluar dari rumah-rumah mereka hingga datangnya imam (ke tempat shalat untuk memulai shalat).”

Waktu takbir dalam shalat Idul Fitri dimulai sejak malam Id hingga imam masuk (ke tempat shalat) untuk melakukan shalat Ied.

Adapun dalam Idul Adha, maka takbir dimulai sejak hari pertama Dzulhijjah hingga matahari terbenam pada akhir hari tasyrik.

Tata Cara Takbir

Terdapat dalam mushannaf Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu, bahwa dia bertakbir pada hari-hari Tasyrik (dengan redaksi berikut);

الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد.

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tiada tuhan yang disembah selain Allah, Allah Maha Besar, bagiNya segala puji.

Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan lagi dengan redaksi yang sama, hanya saja takbirnya menjadi tiga kali.

Al-Mahamili meriwayatkan dengan sanad yang shahih juga dari Ibnu Mas’ud (redaksi berikut);

الله أكبر كبيراً الله أكبر كبيراً الله أكبر وأجلّ ، الله أكبر ولله الحمد

Allah Maha Besar, Allahu Maha Besar, Allah Maha Besar dan Agung, Allah Maha Besar, bagiNya segala puji. (Lihat Irwa’ul Ghalil, 3/126)

4- Ucapan Selamat.

Termasuk adab pada hari Ied adalah saling memberikan ucapan selamat yang baik satu sama lain, apapun redaksinya. Seperti ungkapan, taqabbalallahu minna wa minkum, atau, Iedun Mubarak, atau yang semisalnya dalam berbagai bentuk redaksi yang dibolehkan.

Dari Jubair bin Nafir, dia berkata,

“Para shahabat Rasulullah ﷺ, apabila berjumpa pada hari Id, mereka satu sama lain saling mengucapkan, taqabbalallahu minna wa minka.” Ibnu Hajar berkata, sanadnya hasan (Fathul Bari, 2/446)

Pemberian ucapan selamat sudah dikenal di kalangan para shahabat, karenanya para ulama memberikan keringanan dalam hal ini, seperti Imam Ahmad dan lainnya. Terdapat riwayat yang menunjukkan disyariatkannya ucapan selamat pada momen-momen tertentu, dan juga tindakan para sahabat yang memberikan ucapan selamat ketika mendapatkan sesuatu yang membahagiakan, seperti diterimanya tobat seseorang oleh Allah Ta’ala terhadap suatu perkara, lalu mereka berdiri untuk memberikan ucapan selamat karena itu. Adapula riwayat lainnya.

Tidak diragukan lagi bahwa ucapan selamat termasuk kemuliaan akhlak dan fenomena sosial yang baik di kalangan kaum muslimin.

5. Berhias Pada Dua Hari Ied.

Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma berkata,

Umar radhiallahu anhu mengambil (membeli) sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar, lalu dia mendatangi Rasulullah ﷺ, kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengannya untuk Hari Raya dan menyambut tamu.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya ini adalah pakaian orang yang tidak mendapatkan bagian (di hari kiamat)” (HR. Bukhari, no. 948)

Nabi ﷺ menyetujui tindakan Umar untuk berhias pada hari Ied, akan tetapi yang dia ingkari adalah membeli baju tersebut, karena terbuat dari sutera.

Dari Jabir radhialahu anhu, dia berkata,

“Adalah Nabi ﷺ memiliki gamis yang biasa beliau pakai untuk shalat dua Hari Raya dan hari Jumat. (Shahih Ibnu Khuzaimah, no. 1765)

Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu Umar memakai pakaian yang paling bagus pada Hari Ied.

Maka bagi laki-laki, hendaknya memakai pakaian yang paling bagus ketika berangkat untuk shalat Id.

Adapun wanita, hendaknya dia menjauhi perhiasan apabila dia keluar, karena dilarang baginya menampakkan perhiasan di hadapan laki-laki non mahram, demikian pula diharamkan bagi wanita yang hendak keluar untuk mengenakan wewangian atau  mengundang fitnah bagi laki-laki, karena dia keluar semata-mata untuk beribadah dan ketaatan. Jika saja dilarang dalam ibadah maka selain ibadah lebih dilarang lagi.

6- Pergi ke tempat shalat melalui suatu jalan dan kembali melalui jalan yang berbeda.

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma, dia berkata,

“Nabi ﷺ pada Hari Id menempuh jalan yang berbeda.” (HR. Bukhari, no. 986)

Ada yang mengatakan bahwa hikmah dari perbuatan tersebut adalah agar kedua jalan itu menjadi saksi di hadapan Allah pada hari kiamat, sebab bumi akan berbicara pada hari kiamat terhadap kebaikan atau keburukan yang dilakukan di atasnya.

Ada pula yang berpendapat, untuk menampakan syiar Islam pada kedua jalan tersebut. atau untuk menampakkan zikir kepada Allah, atau untuk menimbulkan rasa gentar terhadap kaum munafik atau orang Yahudi dengan banyaknya orang bersamanya, atau untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, apakah untuk meminta fatwa, mengajarkan atau memenuhi segala kebutuhan, atau untuk mengunjungi kerabat dan bersilaturahim.

Wallahu a’lam.

Oleh Ustadz Ayyub Soebandi, Lc. (Anggota Dewan Syariah Wahdah Islamiyah)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

Pelajari Pengelolaan Sampah Dengan Lalat, Wahdah Islamiyah Studi Banding Ke Agro Farm Econesia Cyclevalue

PANGKEP, wahdah.or.id - Dewan Pengurus Daerah (DPD) Wahdah Islamiyah...

Wahdah Islamiyah Kalimantan Tengah Gelar Mukerwil dan Mukerda, Teguhkan Soliditas untuk Dakwah dan Umat

PALANGKA RAYA, wahdah.or.id - Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Wahdah...

Menghadapi Tantangan Dakwah, Wahdah Sulbar Adakan Lokakarya Tuk Tingkatkan Kapasitas dan Komitmen Kader

MAMUJU, wahdah.or.id – Dalam upaya memperkokoh dakwah yang berbasis...

Programkan Gerakan 5T, Mukerwil VII DPW Wahdah Banten Siap Wujudkan Banten yang Maju dan Berkah

BANTEN, wahdah.or.id – Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Wahdah Islamiyah...