Hari itu Rasulullah sedang menunaikan umrah. Tepatnya “umrah yang tertunda” alias umratul qadha’. Disebut tertunda karena tahun sebelumnya kaum muslimin dihadang oleh orang-orang musyrik saat hendak umrah. Hingga disepakati Perjanjian Hudaibiyyah.
Rasulullah baru boleh umrah di tahun berikutnya. Itupun hanya dibolehkan tinggal selama 3 hari saja. Tidak lebih.
Momen ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Rasulullah. Beliau menikahi wanita terpandang dari Quraisy. Maimunah binti Harits radhiyallahu ‘anha.
Satu hal yang menarik, selain menikahi Maimunah radhiyallahu ‘anha, beliau juga “menarget” keponakannya. Pemuda cerdas, ahli berkuda dan siasat perang, Khalid bin Walid.
Ayah Khalid adalah Al Walid bin Mughirah. Miliarder Quraisy yang sekali datang dari Syam, untanya berjumlah 100 ekor penuh muatan memasuki Mekkah. Penyandang dana terbesar renovasi Ka’bah, yang membuatnya keukeuh agar Hajar Aswad menjadi hak Bani Makhzum untuk meletakkannya.
Al Walid bin Mughirah, ayah Khalid, tidak rela ada api lain selain apinya yang boleh memasak untuk jama’ah haji. Kiswah Ka’bah menjadi hak pribadinya dalam satu tahun, dan tahun berikutnya menjadi hak seluruh kabilah.
Ayah Khalid bin Walid ini juga ahli sastra penguasa Pasar Ukadz, hingga dijuluki “raihanah-nya Quraisy”. Namun kecerdasan, kekayaan, dan kekuasaannya justru membuatnya berpaling dari Islam.
Khalid bin Walid adalah satu diantara dua jawara Quraisy yang mampu berkuda sambil memainkan dua pedang. Dua tangan mengayun pedang sedangkan kakinya memacu kuda. Saat itu, yang mampu seperti itu hanya dua orang, Khalid bin Walid dan Az Zubair bin Awwam.
Saat memasuki Makkah dalam umrah kali ini, Rasulullah bertanya kepada saudara Khalid yang telah masuk Islam, Al Walid bin Walid. “Aina Khalid? Dimana Khalid?”, tanya Rasulullah. Rasululullah bertanya sangat singkat, sambil sedikit memuji kecerdasan Khalid.
Mendengar hal tersebut, Al Walid bin Walid tidak menyia-nyiakan kesempatan. Al Walid menulis sepucuk surat kepada saudaranya, Khalid. Menceritakan bahwa Rasulullah sempat menanyakan dan menyebut namanya. Sangat disayangkan jika pemuda secerdas Khalid, tidak bisa menerima Islam. Kira-kira seperti itu isinya.
Membaca surat tersebut, bergejolak pikiran Khalid. Direnungkan, difikirkan, dimusyawarahkan. Nampaknya pernikahan bibinya beberapa bulan yang lalu, sedikit banyak membawa pengaruh. Khalid pun mantab memilih Islam.
Diajaknya Ikrimah bin Abu Jahal, putra sepupunya yang selama ini menjadi kawan baik dan teman berlatih. Diajaknya pula Shafwan bin Umayyah yang sama-sama putra bangsawan dan hartawan Quraisy. Namun mereka semua menolak.
Taqdir Allah mempertemukannya dengan Utsman bin Thalhah. Pemuda hanif yang semasa jahiliyahnya pernah mengantar hijrah Ummu Salamah dengan penuh ‘iffah. Taqdir Allah jua yang mempertemukannya dengan Amr bin Ash. Mereka bertiga pun memacu kuda ke Kota Nabi Madinah Al Munawwarah untuk bersyahadat.
Ini terjadi di awal tahun ke-8 Hijriyah. Setelah malang melintang selama 20 tahun menentang kenabian. Sekitar 2 bulan sebelum Perang Mu’tah yang dikomandaninya sebagai debut pertama jihad fi sabilillah, 6 Bulan sebelum Fathu Makkah.
Berawal dari pertanyaan sederhana Rasulullah “..dimana Khalid?..” dan sepucuk surat dari saudaranya, masuk Islam lah Sang Pedang Allah. Saifullahil Masluul, “Pedang Allah yang Selalu Terhunus”.
Berawal dari sapaan ringan dan sepucuk surat, menjadi jalan hidayah seorang Khalid. Komandan kavaleri yang tidak pernah kalah dalam peperangan manapun. Kelak di Perang Yarmuk, 6 tahun setelah keislamannya, dunia akan menyaksikan bahwa keislamannya telah mengubah jalannya sejarah.
Hanya berawal dari “..dimana Khalid?”, keislamannya menambah kekuatan dan kemuliaan umat Islam. Keislamannya adalah ‘izzah yang mengubah wajah dunia.
Maka, jangan pernah remehkan kebaikan, sekecil apapun.
Murtadha Ibawi
Aktivis dakwah, tinggal di Jakarta