Belum Qadha Puasa, Ramadhan Datang Lagi

Date:

Menyegerakan qadha puasa pasca Ramadhan itu lebih afdhal. Hal ini sebagai respon terhadap perintah Allah untuk bersegera kepada kebaikan;

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ

Bersegeralah kalian untuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian. (QS. Ali Imran[3]:133).

Allah juga memuji orang-orang beriman karena kebiasaan mereka yang bergegas dalam melakukan kebajikan;

أُولَٰئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ [٢٣:٦١]

Mereka itu bersegera untuk mendapatkebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun[23]:61).

Namun, kalau tidak sempat mengqadha, entah karena sakit, nifas, safar, atau udzur yang masih berlanjut maka diberi kelonggaran untuk mengakhirkan qadha hingga bulan Sya’ban. Persoalannya adalah bagaimana jika memasuki bulan Ramadhan, dan belum mengqadha puasa pada Ramadhan yang lalu? Tulisan ini akan menguraikan secara singkat persoalan utang puasa yang belum diqadha, lalu masuk lagi bulan Ramadhan.

Bagi yang  menunda mengqadha puasa Ramadhan lalu, kemudian  datang Ramadhan berikutnya, maka  ada dua keadaan dan dua sebab!Pertama, penundaan tersebut  terjadi karena udzur  syari (alasan syar’i) yang masih berlanjut seperti sakit, hamil, nifas, menyusui, atau safar. Maka tak mengapa, ia cukup mengqadha setelah Ramadhan. Demikian menurut seluruh mazhab tanpa ada perbedaan pendapat, sebab orang  yang bersangkutan dimaafkan karena ada udzur yang menyebabkan ia menunda  qadhanya.

Kedua, penundaan itu dilakukan tanpa udzur syar’i. Jika penundaan terjadi tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat maka (menurut mayoritas Ulama) Setelah berpuasa Ramadhan ia harus mengqadha puasa Ramadhannya yang lalu dan membayar kaffarat (denda). Misalnya, si fulanah memiliki utang puasa Ramadhan 1434 H. Ia belum mengqadhanya tanpa ada udzur syar’i hingga masuk Ramadhan 1435 H. Maka, setelah menunaikan puasa Ramadhan 1435 H, ia harus mengqadha puasanya pada ramadhan sebelumnya disertai membayar kaffarat (denda). Hal ini didukung oleh pendapat sejumlah shahabat semisal  Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah  Radhiyallahu ‘anhum. Adapun  kaffaratnya berupa fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari yang  dia  tinggalkan (tidak berpuasa).

Haruskah Berturut-Turut ?

Penulis Kitab Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd rahimahullah dan sebagian Fuqaha (ahli fiqh) mewajibkan qadha puasa dilakukan berurutan seperti pelaksanaannya saat ada’ (dikerjakan pada waktunya). Sebagaimana puasa Ramadhan dilakukan dengan berurut,maka qadhanya pun harus dilaksanakan secara berurutan.Misalnya si fulan memilki utang puasa tiga  hari,ketika mengqadhanya dia harus berpuasa selama tiga hari berturut-turut. Sebagian ahli fiqh yang lain berpendapat bahwa boleh melakukan puasa qadha tanpa berurutan.

Yang rajih –wallahu a’lam– adalah dibolehkan dengan cara tidak berturut-turut, karena ayat mengenai ini tidak menyebutkan harus berturut-turut, tapi Allah menyebutkan secara umum, sehingga hal ini menunjukkan bolehnya mengqadha dengan cara tidak berturut-turut. Namun, lebih utama adalah mengqadhanya secara berturut-turut, karena memang seperti itulah puasa  yang diqadhanya.Hari-hari yang dilewatinya tanpa berpuasa tersebut  secara berturut-turut, maka qadhanya pun berturut-turut pula.

Kalau Tidak mampu samasekali mengqadha?

Permasalahanini pernah ditanyakan kepada Syaikh Bin Baz Rahimahullah.Penanya adalah seorang wanita yang  sakit.Beliau mengatakan,Saya seorang wanita yang sakit. Saya tidak berpuasa beberapa hari pada  bulan Ramadhan  yang lalu.Karena sakit yang saya alami, saya tidak dapat mengqadha puasa. Apa yang harus saya laukan sebagai kaffarah-nya? Dan saya tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan tahun ini, apakah yang harus saya lakukan?”

Syaikh menjawab, orang sakit yang   mengalami kesulitan jika berpuasa  disyariatkan untuk tidak berpuasa. Lalu jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya kesembuhan, maka ia harus mengqadha puasanya,berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala;

وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 185).

Oleh karena itu Anda boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan ini, jika Anda masih dalam kondisi sakit, karena tidak berpuasa merupakan keringanan (rukhshah) dari Allah bagi orang sakit dan  orang sedang dalam perjalanan (musafir).  Allah itu senang  jika rukhshahNya dijalankan, sebagaimana Allah benci jika perbuatan maksiat dilakukan. Kemudian Anda tetap diwajibkan untuk mengqadha puasa. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi anda kesembuhan dan memberi kita semua ampunan atas dosa yang telah kita perbuat.

Meninggal sebelum Qadha

Kalau ada orang yang meninggal dan masih memiliki utang puasa, maka dilihat dengan dua keadaan. Pertama, dia meninggal sebelum memiliki kemampuan dan kesempatan untuk berpuasa. Misalnya karena faktor waktu yang sempit sehingga tidak sempat berpuasa, karena sakit, safar, atau karena tidak mampu berpuasa. Makadia tidak memiliki kewajiban apa-apa begitu pun ahli warisnya. Ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu. Sebab ia meninggal (sebelum qadha) karena sempitnya waktu atau udzur yang masih berlanjut.

Kedua, dia meniggal setelah memilki kemampuan dan kesempatan untuk qadha. Artinya  dia menunda qadha tanpa udzur syar’i. Keadaan seperti ini, wajib bagi keluarga yang ditinggalkan untuk  membayarkan utang puasanya. Hal ini berdasarkan hadits  yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;

من مات وعليه صيام صام عنه وليّه

Barangsiapa yang meninggal dan memiliki utang puasa, maka wali (keluarganya) berpuasa untukya.” (Muttafaq ‘alaihi).

Dalam hadits lain Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan, seseorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, Ibuku telah meninggal, sementara ia masih memiliki utang puasa selama sebulan. Apakah saya meng-qadha-kan puasanya? Nabi menjawab,

أرأيت لو كان على أمك دين أكنت قاضيه؟ اقضوا الله فالله أحق بالوفاء

jika ibumu memilki hutang, apakah engkau membayarkan utangnya? Bayarkanlah (qadhakanlah) hutang puasanya. Karena hutang kepada Allah lebih berhak ditunaikan”. (HR. Muslim).

Demikian penjelasan singkat berekenaan dengan qadha puasa bagi yang memasuki Ramadhan dalam keadaan membawa utang puasa pada Ramadhan sebelumnya yang belum diqadha. Wallahu a’lam bis Shawab. (sym)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

Musyawarah Kerja Ke-XIV, Pejabat Bupati Apresiasi Peran Wahdah Islamiyah Bone di Bidang Keagamaan dan Sosial

BONE,wahdah.or.id - Musyawarah Kerja Daerah (Mukerda) ke-XIV Wahdah Islamiyah...

Dihadiri Hingga 450 Peserta, Muslimah Wahdah Islamiyah Kendari Gelar Daurah Serentak di Depalan Kecamatan

KENDARI, wahdah.or.id - Menyambut bulan suci Ramadan 1446 H,...

Bupati Morowali Melalui Kabag Kesra: Wahdah Islamiyah Mitra Masyarakat dan Pemerintah

MOROWALI, wahdah.or.id - Sukses menggelar Musyawarah Kerja Daerah (Mukerda)...

Departemen Lingkungan Hidup DPP Wahdah Islamiyan Kolaborasi dengan Cyclevalue Adakan Bimtek Kelola Sampah dengan Metode Maggot

PANGKEP, wahdah.or.id - Departemen Lingkungan Hidup Dewan Pengurus Pusat...