Beberapa orang yang mendapat keringanan (rukhshah) untuk tidak berpuasa :

1. Orang sakit ketika sulit berpuasa.

Untuk orang sakit, terdapat tiga kondisi1 :

Kondisi pertama, apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan. Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk berpuasa.

Kondisi kedua, apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan. Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.

Kondisi ketiga, apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, artinya : “Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An-Nisa’: 29).

2. Musafir ketika sulit berpuasa.

Musafir yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk mengqashar shalat dibolehkan untuk tidak berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah  :

وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Artinya : “…dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah: 185)

Meskipun seorang musafir mendapatkan keringanan tersebut, syariat tetap memberikan pilihan. Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah menyatakan2 bahwa diriwayatkan pada hadits Hamzah bin Amar bahwa ia selalu puasa dan banyak melakukan safar. Ia bertanya kepada Nabi : Apakah ia puasa dalam perjalanan ? Beliau bersabda kepadanya:

إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ

Artinya : “Jika engkau menghendaki maka engkau puasa dan jika engkau menghendaki maka engkau berbuka.”3

Seperti inilah Nabi memberikan pilihan kepadanya. Hadits ini menunjukkan bahwa apabila musafir mampu puasa dan tidak ada kesulitan atasnya, ia boleh puasa, baik puasa wajib atau puasa sunnah. Karena sesungguhnya berbuka dalam safar penyebabnya adalah karena memberatkan dan begitulah biasanya dalam perjalanan.

Jika demikian halnya, manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak?

Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Namun yang lebih tepatnya kita melihat dari kondisi musafir berikut ini :

Kondisi pertama, jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa. Sebagaimana sabda Nabi :

لَيْسَ مِنَ اْلبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ

Artinya : “Tidak termasuk kebaikan berpuasa di saat safar.”4

Kondisi kedua, jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa. Alasannya karena lebih cepat terlepasnya beban kewajiban puasa. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih mudah daripada mengqadha’ puasa sendiri di saat orang-orang tidak banyak yang berpuasa.

Kondisi ketiga, jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa.

3. Orang yang sudah tua renta dan dalam keadaan lemah, juga orang sakit yang tidak kunjung sembuh.

Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qadha baginya. Menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, artinya : “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. al-Baqarah: 184).

Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, dia disamakan dengan orang tua renta yang tidak mampu melakukan puasa sehingga dia diharuskan mengeluarkan fidyah (memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, akan dijelaskan pada Bab selanjutnya).

4. Wanita hamil dan menyusui.

Dalam hal ini, rincian hukum bagi mereka adalah sebagai berikut :

1. Untuk wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan keadaan dirinya saja bila berpuasa.

Bagi wanita, untuk keadaan ini boleh tidak berpuasa dan wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.

Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat, artinya : “Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. al- Baqarah : 184).

Berkaitan dengan masalah ini, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Kami tidak mengetahui ada perselisihan di antara ahli ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.”5.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah)6.

2. Untuk wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan keadaan dirinya dan buah hati.

Sebagaimana keadaan pertama, sang wanita dalam keadaan ini juga boleh tidak berpuasa dan tidak ada kewajiban atas wanita hamil atau menyusui kecuali mengqadha` secara mutlak (tanpa fidyah), baik disebabkan ketidakmampuan atau kekhawatiran terhadap diri sendiri jika bershaum pada bulan Ramadhan, maupun disebabkan kehawatiran terhadap janin atau anak susuannya.

Di antara dalilnya adalah :

1. Firman Allah :

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا

Artinya : “…Barang siapa dalam kondisi sakit …”

Bentuk pendalilan dari ayat ini adalah bahwa wanita hamil atau menyusui yang tidak mampu untuk berpuasa sama dengan orang yang tidak mampu berpuasa karena sakit. Telah kita ketahui bahwa hukum yang berlaku bagi seorang yang tidak bershaum karena sakit adalah wajib mengqadha`. Maka atas dasar itu berlaku pula hukum ini bagi wanita hamil atau menyusui.

2. Dalil mereka yang kedua adalah hadits yang diriwayatkan dari shahabat Anas bin Malik Al-Ka’bi bahwa Rasulullah berkata :

إِنَّ اللهَ وَضَعَ شَطْرَ الصَّلاَةِ أَوْ نِصْفَ الصّلاَةِوَ الصَّومَ عَنِ الْمُسَافِرِ وَعَنِ الْمُرْضِعِ وَ الْحُبْلَى

Artinya : “Sesungguhnya Allah memberikan keringanan setengah dari kewajiban sholat (yakni dengan mengqashar) dan kewajiban bershaum kepada seorang musafir serta wanita hamil dan menyusui.” 7

Sisi pendalilan dari hadits ini, bahwa Allah mengaitkan hukum bagi musafir sama dengan wanita hamil atau menyusui. Hukum bagi seorang musafir yang berbuka (tidak bershaum) di wajibkan baginya qadha`, maka wanita hamil atau menyusui yang berbuka (tidak bershaum) terkenai pada keduanya kewajiban qadha` saja tanpa fidyah sebagaimana musafir.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “… Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).”.

Pendapat ini adalah pendapat yang ditarjih (dikuatkan) oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz8, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin9, dan Al-Lajnah Ad-Da`imah10.

3. Untuk wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan keadaan si buah hati saja.

Dalam keadaan ini, sebenarnya sang wanita mampu untuk berpuasa. Oleh karena itulah, kekhawatiran bahwa jika sang wanita berpuasa akan membahayakan si buah hati bukan berdasarkan perkiraan yang lemah, namun telah ada dugaan kuat akan membahayakan atau telah terbukti berdasarkan percobaan bahwa puasa sang wanita akan membahayakan. Patokan lainnya bisa berdasarkan diagnosa dokter terpercaya -bahwa puasa bisa membahayakan anaknya seperti kurang akal atau sakit -.11

Untuk kondisi ketiga ini, juga dibolehkan tidak berpuasa. Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang proses pembayaran puasa sang wanita. Berikut sedikit paparan tentang perbedaan pendapat tersebut.

  1. Pertama, mewajibkan sang wanita untuk membayar qadha saja.

Dalil yang digunakan adalah sama sebagaimana kondisi pertama dan kedua, yakni sang wanita hamil atau menyusui ini disamakan statusnya sebagaimana orang sakit. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh As-Sa’di rahimahumallah.

  1. Kedua, mewajibkan sang Wanita untuk membayar fidyah saja.

Di antara dalil mereka yaitu :

1. Atsar (riwayat) dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata :

الحَامِلُ وَالمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا عَلَى أَوْلاَدِهِمَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا

Artinya : “Wanita hamil atau menyusui dalam keadaan keduanya takut terhadap anaknya boleh bagi keduanya berbuka ( tidak bershaum ) dan wajib bagi keduanya membayar fidyah”.12

2. Juga atsar (riwayat) Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, ketika ditanya : “jika wanita hamil khawatir terhadap dirinya dan wanita menyusui khawatir terhadap anaknya berbuka di bulan Ramadhan”, beliau berkata : “keduanya boleh berifthar (berbuka) dan wajib keduanya membaya fidyah pada setiap harinya seorang miskin dan tidak ada qadha’ bagi keduanya”.

Juga masih dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata kepada seorang wanita hamil atau menyusui :

Engkau posisinya seperti orang yang tidak mampu (bershaum). Wajib atasmu memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari (yang engkau tidak bershaum), dan tidak ada kewajiban qadha` atasmu.”13

Semakna dengan atsar di atas, juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma oleh Al-Imam Ad-Daraquthni (no. 250).

3. Atsar (riwayat) dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata : “Wanita hamil dan menyusui berbuka (boleh tidak bershaum pada bulan Ramadhan) dan tidak ada (kewajiban) untuk mengqadha` atasnya.”

Dan ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil bahwa wanita hamil dan menyusui hanya membayar fidyah adalah, “Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar diyah (yaitu) membayar makan satu orang miskin.” (QS. al-Baqarah : 184).

Hal ini disebabkan wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan anaknya dianggap sebagai orang yang tercakup dalam ayat ini.

Pendapat ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah14. Juga pendapat ini dipilih oleh murid beliau Syaikh Salim dan Syaikh Ali Hasan hafidzahumallah.

  1. Ketiga, mewajibkan sang Wanita untuk mengqadha dengan disertai membayar fidyah.

Dalil sang wanita wajib mengqadha adalah sebagaimana dalil pada kondisi pertama dan kedua, yaitu wajibnya bagi orang yang tidak berpuasa untuk mengqadha di hari lain ketika telah memiliki kemampuan. Para ulama berpendapat tetap wajibnya mengqadha puasa ini karena tidak ada dalam syari’at yang menggugurkan qadha bagi orang yang mampu mengerjakannya.

Sedangkan dalil pembayaran fidyah adalah para Wanita pada kondisi ketiga ini termasuk dalam keumuman ayat : “…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin…” (QS. al-Baqarah : 184).

Hal ini juga dikuatkan oleh perkataan Ibnu Abbas : Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.”15

Begitu pula jawaban Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma ketika ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya, beliau menjawab, “Hendaklah berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan.

Adapun perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma yang hanya menyatakan untuk berbuka tanpa menyebutkan wajib mengqadha karena hal tersebut (mengqadha) sudah lazim dilakukan ketika seseorang berbuka saat Ramadhan.

Di antara ‘ulama masa kini yang mentarjih pendapat ini adalah Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah dalam Al-Muntaqa jilid 3 hal. 147.16

Maka, sebagaimana permasalahan lainnya yang di dalamnya para ulama kita berbeda pendapat, maka ketika saudara kita menjalankan salah satu pendapat ulama tersebut dan berbeda dengan pendapat yang kita pilih, kita tidak berhak memaksakan atau menganggap saudara kita tersebut melakukan suatu kesalahan.

Semoga Allah memberikan kesabaran dan kekuatan bagi para Wanita untuk tetap melaksanakan puasa ataupun ketika membayar puasa dan membayar fidyah tersebut di hari-hari lain sambil merawat para buah hati tercinta. Wallahu a’lam.

5. Wanita haid dan nifas

Para ulama sepakat bahwa wanita yang tengah menjalani masa haid dan nifas tidak boleh berpuasa. Keduanya dibolehkan berbuka, tetapi harus menggantinya pada hari – hari yang lain. Dan jika keduanya tetap berpuasa, maka puasanya tidak sah.

Catatan Kaki:

1 Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 118-120

2 Syaikh Abdullah bin Jibrin – Fatwa yang beliau tanda tangani pada tanggal 2/11/1423 H

3 HR. Bukhari 1943 dan Muslim 1121

4 HR. Bukhari 1946, ini adalah lafazhnya dan Muslim 1115

5 al-Mughni: 4/394

6 al-Majmu’: 6/177

7 HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, An Nasa’i dan Al-Imam Ahmad]. (Hadits ini dishohihkan oleh Asy Syaikh Al Albaani dalam Shahih Sunan Abu Daud no. 2409 dan Asy Syaikh Muqbil dalam kitab beliau Al Jaami’ush Shohih jilid 2 hal. 390 menyatakan sebagai hadits hasan

8 Dalam kitabnya Tuhfatul Ikhwan Bi Ajwibah Muhimmah Tata’alaqu Bi Arkanil Islam hal. 171

9 Majmu‘ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin

10 Fatawa Al-Lajnah no. 1453

11 Majalah Al-Furqon, edisi 1 tahun 8

12 HR. Abu Dawud no. 2318. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa` no. 912

13 Tafsir Ath-Thabari no. 2758. atsar ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa` IV/19

14 Lihat pembahasan lebih luas dalam kitab beliau Irwa`ul Ghalil jilid IV hal. 17 – 25

15 HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Albani rahimahullah dalam Irwa’ul Ghalil

16 Lihat Fatwa Ramadhan hal. 324 – 326

Artikulli paraprakJangan Sampai Puasamu Sia-sia
Artikulli tjetërBAHAYA MENGIKUTI NAFSU

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini