Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh–Dhahak, “Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir dan orang yang tidur (namun hatinya dalam keadaan berdzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh–Dhahak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.”1
Dari riwayat ini menunjukkan bahwa wanita haidh, nifas dan musafir tetap bisa mendapatkan bagian lailatul qadar. Namun karena wanita haidh dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat ketika kondisi seperti itu, maka dia boleh melakukan amalan ketaatan lainnya, di antaranya membaca Al Qur’an tanpa menyentuh mushaf2, berdzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah) dan dzikir lainnya, memperbanyak istighfar, memperbanyak do’a3 dan amalan lain yang disyariatkan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum menyentuh mushaf Al-Qur’an bagi wanita yang sedang haidh dan nifas, beliau menjawab : “Orang – orang yang berhadats baik janabah, haidh atau nifas, tidak boleh memegang mushaf, hal ini berdasarkan sabda nabi dalam hadits Amr bin Hazm d, artinya : “Tidak boleh memegang kecuali orang yang suci”. Hal ini menurut kesepakatan para imam empat. Oleh karena itu, orang yang berhadats besar tidak boleh memegang mushaf kecuali ada penghalang antara ia dengan mushaf tersebut, baik dengan kantong, sampul atau dari belakang penghalang. Adapun memegangnya langsung maka itu tidak diperbolehkan. Lain halnya jika memegang kitab tafsir yang di dalamnya terdapat ayat – ayat Al-Qur’an , maka hal itu tidak apa – apa, karena ia tidak dinamakan mushaf. Oleh karena itu, orang yang berhadats boleh memegang kitab tafsir dan boleh membacanya, karena ia bukanlah mushaf akan tetapi hanya kitab tafsir”.4
Catatan Kaki :
1 Lathaa-if Al-Ma’arif, hal. 341
2 Dalam at Tamhid (17/397), Ibnu Abdil Barr berkata, “Para pakar fiqh dari berbagai kota baik Madinah, Iraq dan Syam tidak berselisih pendapat bahwa mushaf tidaklah boleh disentuh melainkan oleh orang yang suci dalam artian berwudhu. Inilah pendapat Imam Malik, Syafii, Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, al Auzai, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Merekalah para pakar fiqh dan hadits di masanya.”
3 Lihat Fatwa Al Islam Su-al wa Jawab no. 26753
4 Lihat Fatawa Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fayiz Musa Abu Syaikhah. Maktabah Ibnu Taimiyyah.