Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu, izin bertanya ustadz. “Bagaimana kita menyikapi budaya yang bertentangan dengan syariat islam? Seperti pakaian adat yang membuka aurat atau memperlihatkan lekuk tubuh terutama bagi wanita, atau memutar musik dengan suara yang keras saat hajatan biasa di sebut elektone sampai pada kesyirikan yg bertema adat istiadat seperti meberi sesajen atau meminta dan berterimakasih daripada selain Allah dan hal tersebut sangat melekat pada keluarga atau warga sekitar kami. Syukron, jazakallahu khairan atas jawabannya ustadz
oleh Suriadi (Luwu)
Dijawab oleh: Ustaz Syandri Sya’ban, Lc., M.Ag. (Ketua Komisi Akidah dan Pemikiran Dewan Syariah Wahdah Islamiyah)
Dalam prinsip syariat dikenal sebuah kaidah, “Al -Adah Muhakkamah” yang artinya bahwa “adat atau kebiasaan sebuah masyarakat adalah salah satu yang dapat menjadi acuan hukum”.
Meskipun demikian para ulama berpendapat bahwa kebiasaan dan adat yang dapat dijadikan landasan hukum harus memiliki dua syarat:
Pertama: Tidak boleh menyelisihi dalil syariat yang sudah jelas statusnya hukumnya.
Kedua: adat tersebut tidak memiliki kecacatan.
Oleh sebab itu, para ulama membagi adat/kebiasaan ini menjadi dua:
Pertama: adat yang baik atau benar
Kedua: adat yang rusak atau buruk.
Yang baik adalah apa saja yang dikenal dalam masyarakat dan juga sesuai dengan dalil-dalil syar’i, adapun yang rusak adalah apa saja yang dikenal dan dilaksanakan oleh masyarakat namun tidak sesuai dengan prinsip dasar syariat Islam, seperti menghalalkan yang haram atau sebaliknya.
Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa pakaian adat yang menampakkan lekuk tubuh, elekton yang menampilkan biduan-biduan, bahkan persembahan-persembahan sesajen pada acara adat tertentu adalah merupakan perkara yang tidak dibolehkan secara syar’i sehingga tidak bijak jika semua ini dihalalkan atas nama adat atau kebiasaaan masyarakat.
Wallahu a’lam.