Abu Jahal bukankah nama asing dalam lintasan sejarah kenabian. Dia salah satu gembong kafir quraisy yang sangat memusuhi dakwah Islam yang dibawah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Shafiyyurrahman al Mubarakfury rahimahullahu menggambarkan dalam al rahiq al makhtum (diantara) karakter Abu Jahal dalam memusuhi dakwah islam, “selagi Abu Jahal mendengar seseorang masuk Islam, maka dia memperingatkan, menakut-nakuti, menjanjikan sejumlah uang dan kedudukan, jika orang tersebut dari kalangan orang yang terpandang. Namun dia akan melancarkan pukulan dan siksaan jika orang masuk Islam dari kalangan orang awam dan lemah.”
Diantara mereka yang disiksa oleh Abu jahal adalah keluarga Yasir radiyallahu’anhum. Yasir dan istrinya Sumayyah dibunuh dengan cara yang keji. Sementara anak mereka Ammar tidak kalah pedih menerima siksaan Abu Jahal.
Karakter lain dari Abu Jahal yang dicatat dalam sejarah, tatkala menjelang wafatnya paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Thalib. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnul Musayyab (tabi’in) dari bapaknya. Beliau menuturkan bahwa tatkala Abu Thalib akan meninggal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya. Saat itu di sisinya telah ada Abdullah bin Abi Umayyah dan Abu Jahal. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada pamannya dengan penuh kelembutan,
يَا عَمُّ قُلْ لَاإٍلَهَ إِلَّا اللهُ كَلِمَةٌ أَحَاجُّ لَكَ بِهَاعِنْدَ اللهِ
Wahai paman, ucapkanlah Laa Ilaha Illallah, satu kalimat yang aku jadikan hujjah untukmu di sisi Allah
Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah menyela, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau tidak menyukai agama Abdul Muththalib?” Keduanya tidak pernah berhenti mengucapkan kata-kata ini, hingga pernyataan terakhir yang diucapkan Abu Thalib, Tetap berada pada agama Abdul Muththalib dan menolak mengucapkan Laa Ilaha Illallah.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu dalam Kitab al Tauhid menyebutkan diantara pelajaran yang bisa dipetik dari kisah di atas adalah, “racun pemikiran yang dilontarkan oleh orang-orang sesat diantaranya dengan mengagung-agungkan para leluhur. Hal ini nampak dari argumentasi yang dikemukakan Abu Jahal.”
Sungguh, argumentasi Abu Jahal telah mematahkan ungkapan cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pamannya yang banyak berkontribusi dalam dakwah Islam. Namun begitulah, hidayah itu datang dari Allah,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. [QS. Al Qashash: 56]
Sampai jaman now, argumentasi Abu Jahal ini masih dilestarikan oleh sebagian orang. Tatkala disampaikan kepada mereka kebenaran (yang bersumber dari al Qur’an dan Sunnah), mereka ngeyel dan menolak dengan mengatakan, “ini ajaran darimana, nenek moyang kami tidak pernah melakukan hal seperti ini, ini ajaran sesat.” Jika yang menyampaikan kepada mereka orang yang lebih muda, ungkapan mereka, “ah kamu baru lahir, tahu apa tentang agama.” Atau argumentasi-argumentasi serupa yang “menuhankan” nenek moyang. Argumentasi seperti ini tidak berbeda dengan argumentasi Abu Jahal yang akan menjerumuskan pelaku dan yang mengikutinya kepada kebinasaan di dunia dan akhirat jika tidak segera bertaubat. Tentang hal ini, Allah subhanahu wa ta’ala juga telah mengingatkan,
إِوَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَـتَّبِعُ مَاۤ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَآءَنَا ۗ اَوَلَوْ كَانَ اٰبَآ ؤُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ شَيْئًـا وَّلَا يَهْتَدُوْنَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” [QS. Al Baqarah: 170]
Standar kebenaran dalam menjalankan syariat islam adalah al Qur’an dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana keduanya merupakan wahyu (yang datang) dari Allah, bukan perilaku nenek moyang.
Semoga Allah senantiasa membimbing kita ke jalan yang lurus!
Wallahu a’lam