Soal:
Bagi orang tua yang baru saja dianugerahi anak mendekati bulan Dzulhijjah sperti saat ini, manakah yang lebih diutamakan atau didahulukan, menyembelih qurban ataukah aqiqah?
Jawab:
Alhmdulillah wassholaatu wassalaamu alaa rosulillah wa ba’ad:
Aqiqah dan qurban adalah dua ibadah yang mulia di dalam agama islam, dan sebagaimana pendapat mayoritas ulama, hukum aqiqah maupun qurban adalah sunnah.
Adapun dalil dari syariat aqiqah adalah sabda Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-:
(كلُّ غلامٍ مرتهن بعقيقته ، تُذبح عنه يوم السابع ويحلق رأسه ويسمَّى)
“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan baginya di hari ketujuhnya, dan dicukur (rambutnya) dan diberikan nama”
Hr.Tirmidzi.
Sedangkan dalil dari disyariatkannya qurban adalah firman Allah ta’ala:
(فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ)
“Dan shalatlah karena Tuhanmu dan berqurbanlah”
[Surat Al-Kawthar 2]
Dalam kasus di atas, terdapat permasalahan fiqih masyhur di kalangan ulama yang perlu kita ketahui, yaitu bagaimanakah hukum menggandengkan dua niat (qurban dan aqiqah) dalam satu sembelihan?
Dalam hal ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama kita yang tersimpulkan kedalam dua pendapat utama,
Pendapat yang pertama, pendapat yang mengatakan bolehnya menggabungkan dua niat (qurban dan aqiqah) dalam satu sembelihan,
Yang mengatakan pendapat ini adalah ulama dari kalangan mazhab Hanafiyyah, mazhab Hanbaliyyah (dalam sebuah riwayat), Imam Hasan Al-Basri, Imam Qotadah dan Imam Ibnu Siirin.
Argumen dari pendapat ini mengatakan, bahwa dua ibadah ini memiliki satu maksud yang sama, yaitu bertaqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan menyembelih hewan.
Imam Al-Buhuti mengatakan dalam kitabnya Syarah Muntahal Iiraadat (1/617) :
(وَإِنْ اتَّفَقَ وَقْتُ عَقِيقَةٍ وَأُضْحِيَّةٍ ، بِأَنْ يَكُونَ السَّابِعُ أَوْ نَحْوُهُ مِنْ أَيَّامِ النَّحْرِ ، فَعَقَّ أَجْزَأَ عَنْ أُضْحِيَّةٍ ، أَوْ ضَحَّى أَجْزَأَ عَنْ الْأُخْرَى..)
“Dan apabila bertepatan waktu aqiqah dengan waktu qurban, yaitu hari ketujuhnya (dan lainnya) termasuk dari hari qurban, maka (aqiqahnya) sudah termasuk di dalamnya qurban, atau bila ia berqurban, maka telah masuk di dalamnya yang lainnya (aqiqah)”
Pendapat yang kedua, pendapat yang mengatakan tidak bolehnya menggabungkan dua niat (qurban dan aqiqah) dalam satu sembelihan,
Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh para ulama dari kalangan mazhab Malikiyyah dan Syafiiyah, serta sebuah riwayat dari mazhab Hanbaliyyah.
Adapun argumen dari pendapat ini mengatakan, bahwasanya dua ibadah (qurban dan aqiqah) ini adalah dua ibadah yang masing masing memiliki maksudnya tersendiri, artinya satu ibadah tidak mewakili ibadah yang lainnya, masing masing berdiri sendiri.
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj Syarhul Minhaj (9/371):
(وَظَاهِرُ كَلَامِ َالْأَصْحَابِ أَنَّهُ لَوْ نَوَى بِشَاةٍ الْأُضْحِيَّةَ وَالْعَقِيقَةَ لَمْ تَحْصُلْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا ، وَهُوَ ظَاهِرٌ ; لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا سُنَّةٌ مَقْصُودَةٌ)
“Dan yang zahir dari perkataan rekan (ulama Syafiiyyah), bahwasanya siapa yang berniat dengan satu kambing untuk aqiqah dan qurban sekaligus, maka tidak sampai kepadanya kecuali untuk satu (ibadah) saja, dan ini zahir, karena masing masing adalah ibadah yang di maksudkan (zatnya)”.
Dalam kasus pertanyaan diatas, bilamana kita mengambil pendapat yang pertama, maka tidak ada masalah bagi kita untuk menggabungkan ibadah qurban dan aqiqah dalam satu sembelihan saja,
Namun bilamana kita mengambil pendapat kedua, yaitu tidak bolehnya menggabungkan dua niat (qurban dan aqiqah) dalam satu sembelihan, maka yang manakah yang mesti kita dahulukan?
Dalam hal ini, bilamana kita memiliki rezki yang cukup untuk menyembelih keduanya sekaligus (qurban dan aqiqah), maka yang afdhal adalah menyembelih keduanya sekaligus,
Namun bilamana kita tidak mampu melakukan kecuali satu saja, maka dalam hal ini, menurut hemat penulis, hendaklah ia mendahulukan qurban terlebih dahulu, hal ini dikarenakan waktu daripada ibadah qurban sangatlah singkat, yaitu sekitar empat hari saja, dari semenjak berakhirnya shalat idul adha, hingga terbenamnya matahari di hari ke tiga belas dari bulan zulhijjah,
Adapun aqiqah, maka waktunya ada sedikit kelonggaran didalamnya, hal ini sebagaimana nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:
(العقيقة تذبح لسبع أو لأربع عشر أو لإحدى وعشرين)
“Aqiqah disembelih di hari ketujuh, atau keempat belas, atau keduapuluh satu”
Hr.Al-Baihaqi.
Bahkan para ulama kita membolehkan mengakhirkan waktu aqiqah sampai waktu yang mudah bagi seseorang untuk melaksanakannya,
Disebutkan dalam fatwah Lajnah Daimah (11/439):
(..وتذبح يوم السابع ، وإذا أخرها عن السابع جاز ذبحها في أي وقت ، ولا يأثم في تأخيرها ، والأفضل تقديمها ما أمكن) انتهى.
“Dan (aqiqah) disembelih di hari ketujuh, dan apabila ia mengakhirkannya dari hari ketujuh, maka boleh diwaktu kapan saja, dan ia tidak berdosa didalamnya, tetapi lebih afdhal adalah mempercepatnya” -selesai-.
Syaikh Shaleh Fauzan -hafizahullah- juga berkata tentang waktu aqiqah:
(لا مانع من تأخير ذبح العقيقة إلى وقت يكون أنسب وأيسر في حق الوالدين أو أحدهما وإنما ذبحها في اليوم السابع أو الحادي والعشرين إنما يكون فضيلة إذا أمكن ذلك وتيسر..)
“Tidak ada larangan untuk mengakhirkan memotong aqiqah sampai waktu yang dirasa mudah dan sesuai bagi kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya, adapun menyembelihnya di hari ketujuh atau duapuluh satu maka sesungguhnya itu adalah fadilah/keutamaan saja bagi mereka yang diberikan kemudahan dalam melaksanakannya..”
[Al-muntaqo min fataawal Fauzan] (5/84).
Wallahu a’lam bisshowab,
Wassalam.
Dijawab oleh:
Muhammad Harsya Bachtiar,Lc
(Mahasiswa Universitas Islam Madinah, Jurusan Ekonomi Syariah)